Ads

Sabtu, 26 Desember 2015

Suling Naga Jilid 007

Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi dan penuh dengan hutan liar.

Dia tidak sangat muda lagi. Usianya sekitar duapuluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang mata yang mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian.

Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berhahaya dan kalau tidak dengan rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan memandang ke kanan kiri, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran.

Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti kalau berada di tempat ramai yang penuh orang. pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya, setiap anggauta tubuh menjadi amat pekanya.

Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahanpun nampak! Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada yang sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang manapun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya seperti tarian yang menakjubkan.

Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.

Pemuda itu amat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang panjangnya kira-kira tiga kaki, terbungkus oleh sarung dari kain kuning.

Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan bekal sedikit kepandaian silat untuk melindungi dirinya.

Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga!

Bagi para pembaca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES, pemuda ini pasti dapat diduga siapa orangnya, karena dia merupakan seorang di antara para tokoh dalam kisah itu. Pemuda ini adalah Sim Houw. seorang pemuda gemblengan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).

Ilmu yang pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pegunungan Himalaya. Adapun ilmu yang ke dua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya akan tetapi perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencinta orang lain.

Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu telah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Juga ibunya telah tewas sehingga dia hidup sebatangkara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu. Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu.

Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga dan kayu yang sudah ribuan tahun usianya dan direndam ramuan obat itu menjadi keras seperti baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang.

Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman. Dia teringat bahwa yang tadinya bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri.

Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik, yang pertama adalah Cu Han Bu, yaitu ayah ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang sekarang telah meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya.

Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini seorang wanita bernama Yu Hwi yang memiliki kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka diapun berangkatlah ke Pegunungan Himalaya.

Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari lembah oleh seorang murid keluarga Cu, Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka.

Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain amat indah juga tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu.

Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid, selain untuk menjadi teman puteranya, juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka. Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu. Ketika Sim Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang.






Sim Houw mempergunakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur lebur.

Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya,

“Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?”

Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali.
”Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw.”

“Sim Houw....?” Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian.

Juga kakek itu bangkit duduk.
“Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?” tanya kakek yang kini usianya sudah limapuluh tiga tahun itu.

Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu.
“Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua.”

Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali.
“Kun Tek, lihat, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang encimu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek.”

Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu mempunyai seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih duabelas tahun yang menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.

“Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan.”

Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Sim Houw, maka diapun membalas penghormatan itu.

“Harap kau tidak terlalu sungkan, karena walaupun aku terhitung pamanmu, akan tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu.”

Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.

“Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?” tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.

“Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru sekarang saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit.... kalau tidak salah, menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?”

Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menjawab,

“Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke manapun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari perkara. Dan sekali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila.“

Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan seorang kakek gila demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam

“Cek-kong, apakah yang telah terjadi?”

Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang.
“Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khi-kang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh.”

“Bagaimana usulnya itu?” Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.

“Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Dia mengatakan bahwa dia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang mampu mengalahkannya. Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini.”

“Gila....”

Sim Houw berseru heran dan penasaran. Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!

“Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main.” Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Karena ancamannya yang gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biarpun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus, kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Akan tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan dan dia minta agar aku berlatih dan memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi.”

“Orang itu agaknya memang gila dan dia bisa berbahaya sekali”, kata Yu Hwi. “Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan akupun sudah melawan mati-matian. Kami hanya mampu mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga akhirnya kami terluka.“

“Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?” Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.

“Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipnn tidak tahu di mana dia tinggal,” jawab Cu Kang Bu. “Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya.”

Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu disusul kata-kata yang lembut,

“Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku datang berkunjung!”

“Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!”

Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.

“Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai? Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?”

Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk.
“Tentu saja, paman kecil.”

Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat dan jelas nampak betapa mereka ini cemas sekali.

“Suhu, kakek gila itu datang lagi.“ kata mereka.

“Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini,” kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah.

Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu berarti mengundang kematian. Akan tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani merentangkan jembatan.

“Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang,” kata seorang murid yang tinggi besar.

“Brakkkk!” Cu Kang Bu menggebrak dipannya dengan mata melotot. “Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari batinmu!”

Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk.
“Baik, teecu menerima perintah dan hukuman.”

Lalu dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.

“Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!” katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Kemudian pendekar itu berkata kepada isterinya dan puteranya. “Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya.”

“Akan tetapi engkaupun masih belum sembuh!” seru isterinya dengan khawatir.

Sim Houw cepat maju berkata,
“Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimanapun juga, saya adalah anggauta keluarga di lembah ini.”

Cu Kang Bu mengangguk.
“Akan tetapi, engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya.”

“Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentu seorang sakti.”

Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek.

Ketika mereka tiba di luar gedung, tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat, datang dari depan dan diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka. Segera nampak seorang kakek berdiri di depan mereka.

Kakek itu memang nampak sudah tua sekali, sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus dan saking kurusnya, nampak tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya, Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning.

Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal,

“Aih, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, dan siapa lagi yang dapat kuharapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh.... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tdak mau.” Dan suara kakek itu berobah seperti suara orang menangis!

Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas,

“Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga, tidak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Kalau locianpwe memaksa, terpaksa sayalah yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!”

Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.

“Heh-heh, kau gagah juga....! Apakah kau murid mereka?” Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.

“Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan datang berkunjung.”

“Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!”

“Locianpwe yang sombong, seolah-olah locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apalagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapakah locianpwe dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?”

Kakek kurus kering itu terkekeh.
“Heh-heh-heh, kau bocah kemarin sore tapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu.”

Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan.

“Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku takkan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku.”

“Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Kalau memang locianpwe tidak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apapun juga.”

Kakek itu menghela napas panjang.
“Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah kau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!”

Sim Houw menjadi marah.
“Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!”

Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling dicabut, nampak sinar emas berkelebat dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.

“Ihhh....? Itu.... itu senjatamu? Sebatang suling emas?” tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu.

Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong, sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dipergunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.

“Aneh....!” Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum, wajahnya yang tadinya keruh nampak berseri penuh harapan. “Lihat seranganku!”

Tiba-tiba kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Hoaw merasa betapa ada angin yang amat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri dan dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat!

Akan tetapi, yang diserang oleh Pek-bin Losian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya. Pemuda inilah merupakan satu-satunya orang yang telah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong!

Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es.

Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya.

Ketika mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, bekas calon mertuanya, sebaliknya Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Keduanya kini telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri.

Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya kekanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam kedua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah pergelangan tangan. Kalau dilanjutkan serangan kakek itu, sebelum kedua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas!