Ads

Senin, 28 Desember 2015

Suling Naga Jilid 014

Kakek ini bukan orang biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Di dunia persilatan, dia dijuluki Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nama julukan ini tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nama julukan para pendekar keluarga Pulau Es!

Nama pendekar tua ini adalah Kao Kok Cu. Adapun nenek itu adalah isterinya yang dahulu bernama Wan Ceng atau juga Candra Dewi karena wanita ini diangkat saudara oleh seorang puteri Bhutan dan wanita inipun bukan orang sembarangan karena ia masih terhitung cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Apalagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Gurun Pasir, ilmu kepandaian wanita ini meningkat dengan pesat dan kini ia juga termasuk seorang tokoh yang sakti.

Di dalam KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES telah diceritakan bahwa putera tunggal suami isteri sakti ini yang bernama Kao Cin Liong, sejak muda menjadi panglima yang amat terkenal di kota raja, telah menikah dengan Suma Hui, cucu Pendekar Super Sakti dan atas desakan isterinya, Kao Cin Liong telah mengundurkan diri dari kedudukannya dan tidak lagi menjadi panglima.

Kao Kok Cu dan isterinya yang merasa sudah tua, menghendaki agar Kao Cin Liong dan isterinya tinggal di tempat mereka, yaitu jauh di utara, di sebuah dataran yang indah dan subur di tengah-tengah padang pasir di mana mereka mempunyai sebuah gedung istana kuno yang dinamakan Istana Gurun Pasir.

Akan tetapi kedua suami isteri muda itu tidak mau karena merasa tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Mereka memilih tinggal di dekat kota raja di mana keduanya berdagang rempah-rempah dan keadaan mereka cukup makmur.

Suami isteri tua Kao Kok Cu tidak dapat memaksa dan mereka merasa kesepian. Oleh karena itu, mereka berdua lalu banyak melakukan perjalanan merantau, menikmati tempat-tempat indah di seluruh tanah air.

Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berdua merantau sampai di sebuah di antara puncak Pegunungan Thai-san di mana mereka melihat Bi Lan. Malam tadi mereka bermalam di lereng gunung dan pagi itu pagi-pagi sekali mereka sudah naik ke puncak untuk menikmati keindahan matahari terbit.

Akan tetapi, mereka melihat Bi Lan dengan gerak-geriknya yang amat aneh, membuat suami isteri tua itu tertarik dan diam-diam mereka membayangi gadis muda yang cantik namun gerak-geriknya aneh itu.

Ketika melihat Bi Lan memoncongkan mulut menirukan suara burung-burung yang sedang berkicau, nenek Wan Ceng menutupi mulutnya menahan ketawa, dan sepasang suami isteri itu ikut merasa gembira, menganggap hahwa gadis itu manis dan lucu sekali, dapat menikmati keindahan alam di tempat sunyi seperti itu, kenikmatan yang sudah jarang terdapat dalam batin kebanyakan manusia.

Kemudian, melihat betapa Bi Lan mengejar-ngejar kelinci sambil tertawa-tawa, hanya mempermainkan kelinci bukan sungguh-sungguh menangkap, melihat gerakannya yang demikian cepatnya, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang yang lumayan, mereka tercengang. Mereka terus membayangi gadis itu dan ketika Bi Lan mulai berlatih silat, nenek itu mencengkeram lengan suaminya.

Keduanya bengong mengamati setiap gerakan gadis itu, dengan mata terbelalak karena mereka mengenal ilmu silat yang tinggi dan aneh, walaupun mereka berdua maklum bahwa ilmu-ilmu yang dimainkan gadis itu termasuk ilmu yang sesat, penuh dengan gerak tipu dan mengandung hawa pukulan yang aneh-aneh.

Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran adalah ketika mereka melihat betapa makin lama wajah gadis itu menjadi semakin merah, kemudian tiba-tiba menjadi pucat dan pernapasan gadis itu terengah-engah tidak karuan. Akhirnya gadis itu menghentikan gerakan-gerakan silatnya dan segera berjungkir balik, berdiri dengan kepala di atas tanah dan mengatur kembali pernapasannya.

Melihat hal ini, tentu saja kedua orang suami isteri itu terkejut dan khawatir sekali. Mengatur pernapasan selagi terengah-engah dan kelelahan dengan cara membalikkan tubuh seperti itu amatlah berbahaya! Akan tetapi aneh, gadis itu agaknya sudah terbiasa dan sebentar saja pernapasannya normal kembali dan gadis itu kini berjungkir balik, berdiri lagi, lalu duduk di atas rumput hijau sambil tersenyum-senyum, akan tetapi mukanya masih pucat.

“Anak baik, caramu mengatur pernapasan terbalik!”

Wan Ceng tidak dapat lagi menahan kekhawatiran hatinya dan nenek ini sudah meloncat ke luar dan menghampiri Bi Lan.

Gadis itu mengangkat mukanya, terkejut sekali. Senyumnya tiba-tiba menghilang dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan tiba-tiba ia meloncat bangun lalu menyerang dengan tangan kanannya ke arah nenek itu, mencengkeram ke arah dada dengan gerakan yang ganas dan dahsyat sekali.

“Hemmm....!” nenek Wan Ceng dengan mudah mengelak.

Akan tetapi gadis itu menyerang terus sebagai lanjutan serangannya tadi dan serangkaian serangan yang terdiri dari pukulan dan cengkeraman yang ganas dilancarkan ke arah lawan. Nenek Wan Ceng terkejut, akan tetapi dengan tenang ia menghindarkan diri dengan loncatan ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis dengan kibasan tangannya.

Melihat betapa gadis itu menyerang isterinya seperti orang mengamuk, kakek Kao Kok Cu juga meloncat dekat dan berkata dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh wibawa,

“Nona, tenanglah, kami datang bukan dengan niat buruk!”

Akan tetapi tiba-tiba saja Bi Lan berbalik menyerang kakek itu kalang-kabut, dan kini ia menggunakan tendangan-tendangan berantai yang ganas sekali. Tentu saja serangan-serangan yang masih mentah itu tidak ada artinya bagi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, tendangan-tendangan itu hanya mengenai angin belaka. Ketika kakek itu menggerakkan kakinya, kaki Bi Lan yang tidak menendang kena disapu dan tubuhnya terpelanting jatuh ke atas rumput lunak.

Akan tetapi, gadis itu meloncat bangun lagi dan kini ia menyerang lagi dengan lebih dahsyat, mengeluarkan semua ilmu yang dipelajarinya dengan menonton sucinya berlatih. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu ilmu yang hebat, ilmu silat yang menjadi kebanggaan Sam Kwi, kini dikeluarkan semua oleh Bi Lan untuk menyerang kakek dan nenek itu !

Karena tertarik akan keistimewaan ilmu-ilmu itu, kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng sengaja membiarkan gadis itu menerjang kalang-kabut. Baru setelah melihat betapa pernapasan gadis itu memburu dan terengah-engah, mereka merasa kasihan dan sebuah totokan jari tangan kakek itu membuat Bi Lan roboh dengan tubuh lemas, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.






Bi Lan berusaha untuk bangkit, akan tetapi setelah maklum bahwa kaki tangannya tidak dapat digerakkan, ia memandang kepada nenek Wan Ceng dan berkata,

“Jangan pukul aku lagi, ahhhh.... aku sudah lelah sekali.“

Kakek dan nenek itu merasa kasihan sekali dan mereka lalu berjongkok dekat tubuh Bi Lan. Kakek Kao Kok Cu bertanya, suaranya halus dan penuh kesabaran,

“Nona, kenapa engkau menyerang kami?”

“Kenapa....?” Bi Lan memandang bingung. “Aku tidak tahu kenapa tapi suci yang menyuruhku, ia bilang bahwa kalau ada orang-orang datang ke tempat ini harus kubunuh mereka, karena kalau tidak, merekalah yang akan membunuhku. Karena itu aku menyerang kalian.”

Suami isteri itu saling lirik.
“Dan kau lihat bahwa kami sama sekali tidak mengganggumu tadi, bukan? Kami tidak ingin membunuhmu, menyerangmupun tidak. Adalah engkau yang menyerang kami dan sekarang terpaksa kami merobohkanmu. Nah, lihat, kami membebaskanmu,” kata Wan Ceng sambil membebaskan totokan dari tubuh Bi Lan.

Begitu terbebas, Bi Lan berjungkir balik dan mengatur pernapasan seperti tadi. Melihat ini Wan Ceng hendak mencegah, akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan memberi isyarat agar isterinya jangan mengganggu gadis itu. Mereka berdua hanya memandang penuh perhatian kepada Bi Lan dan tak lama kemudian secara aneh sekali gadis itu telah mampu memulihkan pernapasannya walaupun mukanya masih pucat sekali.

“Nah, sekarang engkau percaya bahwa kami tidak berniat buruk kepadamu, bukan ?”

Bi Lan menatap wajah nenek itu dan agaknya wajah dua orang tua itu mendatangkan kesan baik di dalam perasaannya karena ia merasa aman berada di dekat mereka. Ia menggeleng bingung,

“Aku tidak tahu, suciku yang menyuruhku.”

“Siapakah sucimu itu?”

“Ia disebut Bi-kwi.”

“Setan Cantik?” Nenek Wan Ceng bertanya, alisnya berkerut mendengar julukan seperti itu.

Kini Bi Lan sudah merasa gembira kembali, ia tersenyum dan nampaklah oleh suami isteri itu betapa manisnya wajah gadis ini kalau tersemyum, dan nampak pula bahwa pada dasarnya gadis ini memiliki wajah yang membayangkan kelembutan walaupun dipenuhi dengan bekas-bekas penderitaan batin.

“Hi-hik, memang suci cantik sekali, akan tetapi iapun jahat seperti setan.”

“Nona, siapakah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?” tiba-tiba Kao Kok Cu bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan suci,” jawabnya pasti.

Kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan heran. Kalau sucinya yang mengajarkan, berarti suci itu lebih gila lagi dari pada nona ini. Ataukah suci itu sengaja menyelewengkan pelajaran-pelajaran itu untuk mencelakai gadis ini? Munkinkah seorang suci berbuat demikian? Akan tetapi mengingat akan nama julukannya, yaitu Bi-kwi (Setan Cantik), jelas bahwa suci itu tentu seorang tokoh golongan sesat, dan tidaklah aneh kalau seorang tokoh sesat melakukan perbuatan sejahat itu.

“Kemana guru kalian? Kenapa sucimu yang mengajarmu, bukan gurumu?”

Kao Kok Cu yang merasa tertarik sekali melanjutkan pertanyaannya. Kini Bi Lan sama sekali tidak merasa curiga lagi kepada kakek dan nenek yang bersikap manis itu, dan iapun menjawab sejujurnya.

“Tiga orang guruku sedang bertapa, yang mewakili mereka mengajarku adalah suci Bi-kwi.”

“Tiga orang? Siapakah guru-gurumu itu?”

Kao Kok Cu bertanya lagi, makin heran mendengar bahwa gadis ini mempunyai tiga orang guru. Pantas ilmu silatnya tadi bermacam-macam dan aneh-aneh, jelas membayangkan sifat ilmu silat kaum sesat.

“Guru-guruku adalah orang-orang hebat!” kata Bi Lan bangga.

Memang gadis ini, biarpun dalam keadaan terganggu pikirannya karena salah latihan, tak pernah dapat melupakan budi kebaikan tiga orang gurunya ketika menolongnya, ketika membalaskan dendam ayah bundanya dengan membunuh semua orang jahat yang mengakibatkan tewasnya orang tuanya itu, dan membantunya mengubur jenazah mereka, juga mengambilnya sebagai murid

“Mereka terkenal dengan julukan Sam Kwi.”

“Hemm, Tiga Iblis?”

Nenek Wan Ceng bertanya, heran karena ia dan suaminya belum pernah mendengar nama ini. Memang sesungguhnyalah, dua orang kakek dan nenek ini sejak muda jarang berkecimpung di dalam dunia persilatan, hidup terpencil di gurun pasir di utara, maka mereka tidak banyak tahu tentang tokoh-tokoh kaum sesat.

Apalagi karena Sam Kwi juga menyembunyikan diri dan bertapa selama sekian tahun setelah mereka dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti dan baru sekarang mereka muncul ketika mereka ingin menguasai Liong-siauw-kiam, Pedang Suling Naga yang tadinya berada di tangan susiok mereka.

“Ya, ya, Tiga Iblis!” kata Bi Lan dengan nada suara gembira walaupun pandang matanya agak kecewa melihat betapa nenek itu tidak mengenal nama guru-gurunya. “Tiga orang guruku itu adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup. Kepandaian mereka hebat sekali!”

Suami isteri tua itu saling pandang dan Kao Kok Cu memancing dengan ucapan halus,
“Nona, kami melihat bahwa nona adalah seorang yang baik, akan tetapi mengapa menjadi murid tiga orang yang menurut julukannya adalah tokoh-tokoh golongan sesat?”

Bi Lan mengerutkan alisnya.
“Aku tidak mengerti pertanyaanmu, aku tidak tahu apa itu yang kau namakan golongan sesat, akan tetapi tiga orang guruku amat baik kepadaku, menolongku dari tangan gerombolan orang jahat yang telah membunuh ayah ibuku, bahkan membunuh semua gerombolan itu dan membantuku mengubur jenazah ayah ibuku.”

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu dan isterinya kini dapat mengerti bahwa gadis ini adalah seorang diantara sekian banyaknya korban perang pemberontakan di selatan, dan dapat menduga bahwa gadis ini diselamatkan oleh tiga orang tokoh sesat itu dan kemudian menjadi murid mereka.

Akan tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras. Mungkin hal ini bukan kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-Kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh, maka mereka pun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesat yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.

“Siapakah namamu, anak yang baik?” tanya Wan Ceng dengan suara yang mengandung iba.

Ia melihat gadis ini seperti setangkai bunga indah bersih yang karena keadaan terpaksa hidup di tengah-tengah lumpur kotor.

Bi Lan tersenyum memandang wajah nenek itu.
“Tiga orang Suhuku bersama suci menyebutku Siauw-kwi. Hi-hik sebetulnya sekarang aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan? Namaku sendiri adalah Can Bi Lan.”

“Bi Lan, dengarlah baik-baik, apakah engkau percaya kepada kami? Engkau lihat, kami sama sekali tidak berniat buruk dan tidak melakukan apa-apa yang buruk terhadap dirimu.”

Bi Lan tersenyum dan memandangi dua orang tua itu, lalu mengangguk-angguk.
“Aku percaya kepada kalian. Aku belum pernah bicara panjang lebar seperti ini dengan orang lain, dan kalian baik sekali.”

Wan Ceng menjadi gembira dan makin bersemangat mendengar ucapan gadis itu. Ia memandang suaminya dan suami yang sudah bergaul selama limapuluh tahunan dengan isterinya ini, sudah maklum apa yang terkandung dalam hati isterinya tanpa si isteri mengatakannya itu mengangguk sebagai tanda setuju.

“Bi Lan, kami melihat bahwa engkau menderita luka dalam, menderita keracunan yang amat membahayakan kesehatanmu karena engkau telah keliru dalam latihan ilmu silat, terutama sekali dalam latihan sin-kang dan pernapasan. Kami bermaksud untuk mengobatimu sampai sembuh. Maukah engkau?”

Bi Lan memandang ragu dan bingung.
“Aku tidak sakit apa-apa,” katanya, “dan andaikata sakit tentu suhu-suhuku dan suci akan mampu menyembuhkanku. Pula, bagaimana aku bisa keliru berlatih kalau suci sendiri yang mengajarku?”

Nenek itu adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tadi ketika bicara dekat dengan gadis itu, ia melihat bekas-bekas pukulan yang masih meninggalkan tanda-tanda membiru pada leher dan pipi gadis itu, mungkin pada bagian tubuh lain yang tertutup pakaian. Karena ia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan sang suci yang katanya jahat dan kejam itu, ia lalu tiba-tiba bertanya,

“Bi Lan, siapa yang memukulimu sampai engkau menderita babak-belur dan ada bekas-bekas di leher dan mukamu?”

Ditanya secara mendadak itu, Bi Lan yang memang pada dasarnya berwatak jujur dan polos, masih belum ternoda oleh pengaruh lingkungan masyarakat, bahkan pada hakekatnya belum ketularan watak jahat para gurunya dan sucinya, menjawab terang-terangan sambil tersenyum,

“Ah, suci yang melakukan ini. Katanya ini perlu dalam latihan, ia memukuli dan menendangku dalam latihan-latihan silat.”

Kini Kao Kok Cu yang berkata,
“Nona telah tertipu oleh sucimu itu. Ia telah memukulimu, mungkin karena benci hanya tidak berani membunuhmu, maka ia melatihmu secara terbalik dan tersesat. Dengan latihan-latihan ini, kalau kau teruskan, engkau mungkin akan mati dalam satu dua tahun ini.”

“Mati adalah suatu hal yang menyenangkan.”

Bi Lan menjawab sambil menahan ketawanya, dan sikap ini jelas membayangkan sikap orang yang pikirannya tidak waras.

“Eh, mengapa begitu ?” tanya Wan Ceng mendengar ucapan yang biasanya hanya diucapkan oleh para pendeta yang berlagak sudah tahu akan keadaan sesudah mati.

“Hi-hik, aku sendiri tidak tahu, nek, yang berkata demikian adalah suci.”

“Sucimu lagi!” kata Wan Ceng, diam-diam merasa marah terhadap orang yang menjadi suci gadis ini. “Coba, kau bernapas yang dalam, lalu tahan sebentar.”

Bi Lan masih tersenyum-senyum, akan tetapi menuruti permintaan nenek itu. Setelah menarik napas panjang dan dalam, ia menahan hawa itu di dalam dadanya.

“Cukup, apa yang kau rasakan? Bukankah ada kelainan dan rasa nyeri di punggungmu?”

Nenek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya tentang keracunan dan luka di sebelah dalam tubuh. Ia sendiri pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), maka dapat dikata ia adalah seorang ahli tentang keracunan.

Bi Lan memandang heran dan mengangguk.
“Benar, ada rasa seperti ditusuk di punggungku. Nenek apakah engkau bermain sihir sehingga tahu apa yang kurasakan?”

“Tidak, Bi Lan. Itu tandanya bahwa engkau benar-benar menderita luka dalam yang kalau tidak cepat disembuhkan akan membahayakan nyawamu. Dan kami yakin bahwa hal itu timbul karena kesalahan dalam latihan dan agaknya sengaja sucimu itu mengusahakan agar engkau tewas, karena latihan-latihanmu. Maukah engkau kami obati sampai sembuh?”

Gadis itu mengamati wajah kedua orang tua itu dengan sikap ragu-ragu. Akhirnya ia berkata,
“Tiga orang suhuku adalah orang-orang yang paling sakti di dunia ini, kemudian disusul oleh suci Bi-kwi. Apa yang kalian dapat lakukan, tentu dapat dilakukan pula oleh mereka. Coba perlihatkan dulu kepandaian kalian, baru aku akan percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih pandai dari mereka, dan aku mau kalian obati.”

Kao Kok Cu dau isterinya mengerti bahwa pengaruh Sam Kwi dan Bi-kwi sudah demikian dalam terutama di dalam hati gadis ini sehingga gadis ini percaya sepenuhnya kepada mereka. Maka, perlu untuk diyakinkan hati gadis ini dengan demonstrasi kepandaian agar dapat percaya dan mau ditolong. Mereka saling pandang dan kakek itu mengangguk.

“Bi Lan, bukankah tadi kami sudah memperlihatkan bahwa kami jauh lebih pandai dari padamu?”

“Kalau hanya mengalahkan aku, sucipun dapat seribu kali mengalahkan aku.”

“Baiklah. Kau lihat pohon di depan itu? Apakah kau kira guru-gurumu atau sucimu akan dapat merobohkan pohon itu tanpa memukul keras, tanpa menggugurkan setangkaipun daunnya?”

Bi Lan memandang. Pohon itu besarnya seperti tubuh manusia. Ia tahu bahwa tiga orang gurunya, juga sucinya, amat lihai dan tentu akan mampu merobohkan pohon itu. Akan tetapi tanpa memukul keras? Tanpa menggugurkan daunnya? Mana mungkin? Iapun lalu menggeleng kepala.

“Nah, kau lihat!” kata Wan Ceng dan nenek ini lalu menghampiri pohon yang dimaksudkan itu.

Sebentar ia mengerahkan tenaga, mengumpulkan tenaga sinkang di kedua tangannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya pada batang pohon itu. Tidak kelihatan ia memukul dan pohon itupun tidak terguncang sama sekali. Akan tetapi, diam-diam nenek ini sudah mengerahkan hawa pukulan Selaksa Racun, pukulan kaum sesat yang amat hebat dan yang selama ini tidak pernah ia pergunakan walaupun nenek ini selama puluhan tahun telah menghimpun tenaga sin-kang yang amat kuat. Hanya nampak tubuhnya sendiri yang tergetar keras dan kemudian nenek itu meloncat mundur dengan muka agak pucat dan peluh membasahi dahi dan leher.

Melihat ini, Bi Lan terkekeh.
“Hi-hik, apakah yang telah kau lakukan tadi, nek ? Aku sama sekali tidak melihat pohon itu roboh.”

“Bi Lan, coba kau dorong pohon itu,” kata Wan Ceng sambil tersenyum.

Bi Lan maju dengan tangan kirinya mendorong batang pohon dan tiba-tiba pohon itupun tumbang dan ternyata batang di mana nenek tadi menempelkan tangannya telah remuk dan kehitaman seperti terbakar! Bi Lan terkejut dan melompat ke belakang, matanya terbelalak. Akan tetapi ia lalu mengerutkan alisnya.

“Nek, mungkin kau bermain sihir, akan tetapi kepandaianmu itu tidak kelihatan hebat.”

Nenek itu nampak tak senang dan penasaran, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan pandang mata, lalu pendekar tua itu berkata,

“Nona, tadi hanya main-main. Kau ingin menyaksikan kehebatan kami berdua? Nah, lihat, dengan kaki dan tangan kami, kami akan membersihkan sekitar tempat ini.”

Berkata demikian, kakek itu dengan sebelah lengannya lalu menerjang sebatang pohon besar. Terdengar suara “kraaakkk!” dan pohon itupun tumbang. Wan Ceng mengerti akan maksud suaminya. Seorang gadis yang masih belum berpengalaman seperti Bi Lan ini tentu akan lebih tertarik melihat kekuatan yang kasar dan kelihatan dahsyat. Maka iapun menerjang sebongkah batu besar, ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar jauh.

Suami isteri ini lalu mengamuk, menumbangkan pohon-pohon di situ, melempar-lemparkan batu besar, bahkan Wan Ceng mencabut sebatang pohon berikut akar-akarnya dan melemparkan sampai jauh. Sebentar saja, terbukalah tempat yang cukup luas, telah ditumbangkan tujuh batang pohon besar dan belasan bongkah batu.

Melihat ini, Bi Lan terbelalak lalu bertepuk tangan, tak habisnya memuji kedahsyatan sepasang suami isteri tua itu.

“Hebat, kalian hebat! Mungkin tidak kalah oleh guru-guruku dan suci!” katanya.

“Nah, engkau sudah percaya ? Sekarang kami akan berusaha mengobatimu. Duduklah bersila di sini, Bi Lan,” kata Wan Ceng. “Tempat terbuka ini akan kami jadikan tempat tinggal kami untuk sementara agar dalam waktu beberapa lama ini kami dapat mengobatimu.”

Bi Lan tidak membantah lagi dan iapun duduk bersila di atas rumput. Kakek dan nenek itu juga duduk di depan dan belakangnya, bersila seperti ia sendiri.

“Kendurkan semua urat syarafmu, dan sama sekali jangan melawan. Ingat saja bahwa kami bermaksud baik, bahwa kami kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu,” kata Wan Ceng yang duduk di depannya.

Tiba-tiba Bi Lan merasa betapa tengkuknya ditepuk dari belakang oleh kakek itu dan iapun tidak ingat apa-apa lagi.

Kakek dan nenek yang sakti itu lalu bekerja keras. Mereka menotok jalan-jalan darah di kepala gadis itu, membuka jalan-jalan darah yang tersumbat karena akibat salah latihan, dan menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung gadis itu, menyalurkan tenaga sin-kang untuk memulihkan kesehatan di dalam dada Bi Lan.

Sementara itu, dengan pengetahuannya tentang keracunan, Wan Ceng mengusir hawa beracun yang berada di dalam tubuh gadis itu. Mereka berdua tidak berani tergesa-gesa, tidak berani sekaligus mengobati gadis itu karena hal ini akan berbahaya sekali bagi Bi Lan.

Tubuh gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan tercekam hawa beracun yang dihimpunnya sendiri melalui latihan-latihannya yang tersesat, dan kalau sekaligus dibersihkan, perobahan ini akan menimbulkan guncangan yang membahayakan.

Oleh karena itu, mereka mengambil keputusan untuk mengobati gadis itu secara bertahap. Mereka lalu menghentikan pengobatan itu dan dengan urutan tangan, Kao Kok Cu memulihkan jalan darah dan gadis itupun siuman dari pingsannya.

Begitu siuman, Bi Lan mengeluh, lalu memegangi kepala dengan kedua tangan. Ia membuka mata memandang kepada kakek dan nenek yang kini sudah duduk di depannya, dan teringatlah ia bahwa mereka adalah dua orang yang kasihan kepadanya, yang mengobatinya karena menganggap ia menderita luka dalam.

“Aduhh.... kepalaku berdenyut-denyut, nyeri rasanya!” Ia mengeluh.

Nenek Wan Ceng menaruh tangannya di pundak gadis itu, suaranya menghibur,
“Bi Lan, jangan khawatir, hal itu bahkan membuktikan bahwa kini jalan darahmu ke arah kepalamu mulai membaik. Tadinya, banyak jalan darah ke kepalamu tidak lancar jalannya, terhambat oleh hawa beracun yang timbul karena kesalahan latihanmu. Kami berani memastikan bahwa setelah pengobatan beberapa kali, jalan darah itu akan lancar kembali.”

Bi Lan percaya dan iapun tersenyum.
“Kalau benar omonganmu, aku beruntung sekali bertemu dengan kalian.”

Dan dengan girang iapun meloncat ke atas. Akan tetapi ia segera mengeluarkan seruan kaget. Dan dipandangnya kakek dan nenek itu dengan sinar mata penuh keraguan.

“Aihh....! Tubuhku terasa berat dan kedua kakiku kehilangan tenaga, juga tubuhku tidak dapat bergerak ringan seperti biasa!”

Ia lalu mencoba untuk meloncat ke atas, akan tetapi belum juga tinggi tubuhnya sudah meluncur turun kembali.

“Ah, bagaimana ini? Aku tidak mampu meloncat tinggi lagi!”

Kini Kao Kok Cu yang bangkit dan berkata dengan suara tenang, halus dan berwibawa, mengundang kepercayaan bagi pendengarnya.

“Nona, jangan khawatir. Memang, untuk menghalau hawa beracun dari tubuhmu, otomatis tenaga khi-kang yang berada di tubuhmu ikut pula berkurang. Tenaga sin-kangmu sudah keracunan, dan kalau kami membersihkan hawa beracun itu, berarti tenaga sin-kangmu juga akan ikut terusir. Akan tetapi jangan kau khawatir, kami akan menggantikannya dengan tenaga sinkang yang murni. Dengan dasar tenaga sin-kang murni, engkau akan mampu memainkan ilmu-ilmu silatmu tadi secara tepat dan baik, juga tangguh dan tidak akan merusak kesehatanmu sendiri. Percayalah, kami berdua berniat baik dan mungkin engkau akan terkejut dengan perobahan-perobahan pada dirimu dan engkau tidak akan mengerti. Percaya sajalah dan engkau tidak akan menderita kerugian bahkan selain mendapatkan kesembuhan, juga akan memperoleh ilmu yang benar.”

Lambat laun keraguan lenyap dari dalam batin Bi Lan walaupun tadinya masih bingung. Apa lagi ketika nenek itu merangkulnya dan berbisik,

“Bi Lan, engkau pantas menjadi anakku, bahkan cucuku. Bagaimana kami dapat timbul niat mencelakaimu? Kami suka sekali kepadamu.”