Ads

Minggu, 03 Januari 2016

Suling Naga Jilid 033

Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang ia pernah alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja. Pernah ia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas.

Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja. Dan diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanyalah kebengisan nafsu berahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita.

Karena itu ia kagum melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu. Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka iapun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu.

Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan iapun duduk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.

Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda yang bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurang ajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan. Juga ilmu silatnya hebat, apalagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, juga berwatak pendekar, gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu? Ia tidak tahu!

“Aku suka padanya....“ demikian ia mengeluh.

Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, suka bersahabat dengannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah. Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandalkan.

Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka? Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu.

Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walaupun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat, suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta tentu lebih mendalam lagi, bantahnya dan ia akhirnya menjadi bingung sendiri dengan perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.

Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu. Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui sucinya dengan penuh ketekunan. Kalau tidak sayang kepadanya, tak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau memperdulikan dirinya yang yatim piatu. Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari tiga orang suhunya, mereka berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan.

Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhunya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana keadaannya sekarang andaikata Sam Kwi berhasil memperkosanya, andaikata tidak ada sucinya yang menolongnya. Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, melainkan lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakinan akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi ke dua oleh Sam Kwi.

Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itupun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng? Benarkah pemuda itu mencintanya? Akan tetapi ia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena ia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, akan tetapi pengakuan cinta itu membuat ia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.

Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah makin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perutnya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya.

Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan makan minum, iapun ingin mengaso di dalam rumah, biarpun gubuk kecil sekalipun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.

Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hatinya girang melihat dari jauh beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama. Tentu sebuah dusun kecil, pikirnya dan iapun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah.

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, ada beberapa pasang mata mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar menantinya. Dengan tenang ia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah terbesar.

Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.

“Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?”






Kakek itu tertawa.
“Heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kalau engkau suka, silahkan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku.”

Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biarpun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap.

Tentu saja ia merasa heran sekali. Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap baunya. Agaknya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.

“Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang. Ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri. Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu.”

“Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?”

“Ooh? Kau maksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi.”

Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikitpun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.

“Silahkan duduk, nona, silahkan makan. Heh-heh, sungguh girang sekali hatiku mendapatkan seorang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini.”

Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, kemudian iapun duduk di atas kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,

“Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekalipun untuk menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali.”

“Heh-heh, mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki orang paling tak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang tua renta seperti aku, bukan? Nah, terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!”

Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana ia dapat menolak desakan kakek itu? Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan iapun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,

“Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja. Kalau engkau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon.”

“Heh-heh, engkau lucu sekali, nona,” kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu.

Namun, gadis itu tetap menghabiskan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.

“Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!” kata Bi Lan menolak.

Ketika Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetulan ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pandang matanya dan terkekeh seperti tadi.

“Silahkan, silahkan....“ katanya.

Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam memiliki kepandaian tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan iapun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.

“Ihhhh....!”

Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya. Perlu diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun.

Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya.

Tadi, ketika ia menyuapkan potongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang amat kuat! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.

“Siapakah engkau?”

Bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap matapun.

Kakek itu tersenyum lebar dan kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah putih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya dan nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.

“Kau....! Keparat busuk!”

Bi Lan sudah memaki, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki ini cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya. Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan saputangannya.

“Tenanglah, sumoi....“

“Cih! Aku bukan sumoimu!”

Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak kemudian berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.

“Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan sucimu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiripun makan.“

“Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!”

“Bi Lan, pertemuan ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncangkan hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang malam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu.“

“Tutup mulutmu!”

Bentak Bi Lan dan iapun menendang kursi yang menghalang di depannya lalu melompat keluar dari ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berbahaya dan jahat ini.

Akan tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang!

Dan Bhok Gun juga mengejar dari luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu. Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari duapuluh orang, semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.

“Bhok Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!“

Bhok Gun tersenyum.
“Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang kau serahkan pedang pusakamu itu kepadaku.“.

“Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!” bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang.

Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang bersama sambil mengepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat lincah, Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan.

Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu seperti dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur. Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang amat ganas.

Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sin-kang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggauta Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam!

Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak,
“Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menyerang!”

Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para anggauta Ang-i Mo-pang yang memang sudah gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan.

Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan, sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.

Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang amat diinginkannya itu, Bhok Gun memandang heran. Dia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pakaian itu.

“Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu? Keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!”

Katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.

“Manusia jahanam tanpa senjatapun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!”

Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya. Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat kesamping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan saputangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan.

Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya. Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh!

Padahal, debu pembius yang berada di saputangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biarpun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk menjaga diri dari serangan racun.

Karena terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri, akan tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat, dia terkejut dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun!

Guru pemuda ini juga seorang ahli racun maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun dari Bi Lan itu dan diam-diam diapun terheran-heran mengapa gadis ini dapat memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari ilmu pukulan beracun?

Bi Lan juga merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, sucinya yang lihai itu. Kalau sucinya muncul dan ia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri, apalagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya. Akan tetapi, sucinya tidak juga muncul maka jalan terbaik adalah cepat-cepat merobohkan dulu Bhok Gun. Kalau tidak dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun maupun sucinya.

Maka iapun cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari sucinya atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun.

Akan tetapi Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya sucinya juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapapun. Dugaannya benar karena Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya dan pemuda itu terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan.

Bi Lan memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut!

Biarpun senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke dua,

“Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi musuh!”

Terdengar teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggauta Ang-i Mo-pang.

Maka iapun mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan sambaran tangan, ia berhasil merobohkan seorang anggauta Ang-i Mo-pang dan merampas pedangnya. Dengan pedang ini ia lalu menghadapi pengeroyokan lima orang perwira dan Bhok Gun!

Gadis ini memang hebat sekali. Semangatnya besar, memiliki keberanian dan ketenangan sehingga biarpun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja ia dapat mengamuk seperti seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut.

Terdengar suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para pengeroyoknya dan lewat tigapuluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang dengan amat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi Lan.

“Krakkk....!”

Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang menyerang dengan pedang mereka.

“Haiiiittt!”

Bi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan seperti terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang dipelajarinya dari Koa Kok Cu!

Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah menggunakkan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.

Desss....!”

Pinggang Bi Lan terkena tendangan sehingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling! Sementara itu, empat orang perwira yang roboh, sudah bangkit kembali dan Bi Lan terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun.

Pinggangnya terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan tak bergerak seperti patung, melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini menjadi marah sekali.

Lima orang perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk mengundang Bhok Gun dan para anggauta Ang-i Mo-pang untuk memperkuat kedudukan guru itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!

Kini bukan hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan tetapi di bagian luarpun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang.

Melihat ini, Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apalagi tendangan Bhok Gun masih terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi menyerah!

Pada saat itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak,

“Sekumpulan laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, sungguh memalukan sekali. Hanya laki-laki berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!“

Bhok Gun terkejut dan cepat memandang. Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya. Dan kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk menolongnya!

Beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.

“Keparat, berani kau mencampuri urusan kami?”

Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala. Serangannya ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.