Ads

Minggu, 03 Januari 2016

Suling Naga Jilid 035

“Bagaimana kalau orang yang dicinta tidak membalas?” Dara ini teringat akan Hong Beng yang mengaku cinta kepadanya dan yang tidak dibalasnya. “Apakah dia tidak akan merasa kecewa dan marah seperti halnya Bhok Gun itu?”

“Hemm, tentu saja kecewa dan patah hati, akan tetapi tidak marah dan tidak membenci orang yang menolak cintanya. Mungkin yang ada hanya duka dan kecewa. Kalau dia marah-marah lalu memusuhi orang yang dicintanya seperti yang dilakukan Bhok Gun itu, jelas dia itu tidak mencinta dan dia jahat sekali!”

Bi Lan menahan ketawanya melihat betapa pemuda itu menarik muka seperti seorang guru besar memberi kuliah.

“Dan bagaimana kalau engkau sendiri yang jatuh cinta? Bagaimana kalau engkau mencinta orang? Apa yang akan kau lakukan kalau orang yang kau cinta itu tidak membalas cintamu, Kun Tek?”

“Aku tidak akan jatuh cinta!” Jawab Kun Tek dengan singkat dan tegas, dan mukanya berubah merah.

“Begitukah? Akan tetapi seandainya engkau yang jatuh cinta, bagaimana sikapmu terhadap orang yang kau cinta itu kalau ia tidak membalas cintamu?”

“Aku akan tetap mencintanya, melindunginya dengan taruhan nyawa, aku ingin melihat ia berbahagia.”

“Biarpun ia tidak menjadi isterimu dan biarpun ia hidup di samping laki-laki lain?”

“Ya.”

“Dan engkau akan merana selama hidupmu, kecewa dan putus asa?”

“Tidak, aku.... aku… ah, aku tidak akan jatuh cinta! Jatuh cinta itu suatu kebodohan!”

“Wah, ini sesuatu yang baru bagiku!”

Bi Lan berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ternyata Kun Tek merupakan orang yang penuh kejutan dalam membicarakan soal cinta.

“Jatuh cinta itu suatu kebodohan? Mengapa?”

“Karena jatuh cinta itu sama dengan mengundang datangnya duka nestapa dan kesengsaraan. Sekali orang jatuh cinta, berarti ia telah terperosok dengan sebelah kakinya ke dalam jurang yang akan membuat hidupnya merana.”

Bi Lan sengaja menarik mukanya seperti orang merasa ngeri.
“Ihhh! Jadi, menurut pendapatmu, tidak ada orang berbahagia karena mencinta dan dicinta?”

Kun Tek teringat akan keadaan ayah ibunya. Dia tahu bahwa dalam banyak hal, ayahnya selalu mengalah kepada ibunya, dan ayahnya telah banyak menyimpan kedongkolan hatinya karena kekerasan hati dan kerewelan ibunya, dan semua itu dilakukan ayahnya karena dia mencinta isterinya. Dia menggeleng kepala.

“Tidak ada! Cinta mendatangkan ikatan yang membuat orang selalu menderita duka. Dan kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya sekali waktu akan teruji dan runtuh, dan sang pria yang akan menderita patah hati karena cinta, tenggelam dalam duka.”

Bi Lan merasa tersinggung dan menahan kemarahannya. Ia masih tersenyum ketika bertanya,
“Jadi, menurut pendapatmu, semua wanita itu tidak setia dan karenanya engkau tidak mau jatuh cinta?”

“Begitulah. Aku hanya akan jatuh cinta kalau ada wanita yang setia sampai mati, yang lemah-lembut dan baik budinya, cantik jelita lahir batin, yang mencinta suaminya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, yang selalu menyenangkan hati suaminya, tiada cacat celanya.“

“Perempuan begitu bukan manusia! Harus di pesan langsung ke surga, di antara bidadari dan malaikat! Pendapat seperti itu adalah pendapat orang gila yang tolol, sombong dan keras kepala.”

Melihat Bi Lan sudah bangkit berdiri, membanting kaki dan mukanya membayangkan kemaraharan itu, Kun Tek terkejut dan terheran-heran.

“Kau.... kau marah-marah, Bi Lan? Kenapa?”

Bi Lan segera teringat akan keadaan dirinya dan ia sadar kembali. Kenapa ia harus marah-marah? Biarlah pemuda ini berpendapat apa yang disukainya, walaupun pendapat itu tolol dan merendahkan kaum wanita. Hemm, ia ingin sekali membuat pemuda itu kecelik, membuat pemuda itu tersandung pendapatnya sendiri dan bertekuk lutut! Iapun menarik napas panjang dan duduk kembali.

“Maaf, aku lupa diri.... ah, aku sudah mengantuk, aku ingin tidur.”

“Tidurlah, beristirahatlah, biar aku yang berjaga di sini.”

Bi Lan lalu merebahkan dirinya miring di dekat api unggun, berbantal buntalan pakaiannya. Melihat ini, Kun Tek cepat membuka buntalan pakaiannya.

“Aku, membawa selimut tipis, kau pakailah ini,” katanya sambil menyerahkan selimut itu.

“Tidak, aku tidak perlu selimut. Api itu sudah cukup hangat,” kata Bi Lan.

Suaranya masih ketus karena hatinya masih panas. Kalau ia memaksa diri untuk tidur, hal itu hanyalah untuk mencegah agar ia jangan sampai lupa diri dan marah-marah lagi.

“Terserah kepadamu, Bi Lan,” kata Kun Tek yang duduk kembali termenung memandang api unggun, menambahkan kayu bakar yang tadi dikumpulkannya.

Dia melirik ke arah tubuh Bi Lan. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Karena rebah miring, nampak jelas lekuk lengkung tubuh gadis itu yang bagaikan serangkai bunga sudah mulai mekar. Rambutnya yang tadinya dibiarkan terurai menutupi sebagian lehernya, dan di antara celah-celah gumpalan rambut nampak kulit leher yang mulus dan kuning lembut, seperti mengeluarkan kehangatan yang lebih nyaman dari pada kehangatan api unggun. Rambut itu terus menyelimuti pundak dan punggung.






Tiba-tiba Bi Lan membuka mata dan cepat Kun Tek memutar leher mengalihkan pandangannya kembali kepada api unggun. Dia tidak mau gadis itu melihatnya memperhatikan.

“Kun Tek, benarkah engkau takkan jatuh cinta kecuali kalau ada gadis.... yang.... bagaimana tadi? Gadis yang setia sampai mati, yang lemah lembut dan baik budi, yang cantik lahir batin, yang mencinta dengan tubuh dan nyawa. Bagaimana kalau ada gadis seperti itu turun dari kahyangan dan menjumpaimu? Engkau akan jatuh cinta kepadanya?”

“Mungkin ya, mungkin juga tidak.”

“Lho! Kok mungkin juga tidak? Bagaimana pula ini?”

Bi Lan kembali bangkit duduk saking herannya mendengar jawaban itu. Kantuknya hilang seketika dan ia duduk memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

“Tergantung cocok atau tidaknya seleraku.”

Hampir saja Bi Lan memukul pemuda itu, akan tetapi ia masih menahan perasaannya dan berseru,

“Engkau memang orang gi....“ ia masih sempat menahan makiannya.

Pemuda ini baru saja dikenalnya, belum ada satu hari, tidak baik kalau ia mengeluarkan kemarahannya secara terbuka.

“Apa.?”

“Orang aneh sekali, belum pernah aku jumpa orang seaneh kau. Hemm, aku mau tidur!”

Dan dengan keras Bi Lan membanting tubuhnya lagi di atas tanah berumput, membalikkan tubuh, miring membelakangi pemuda itu dan selanjutnya tak mau menengok lagi. Begitu mengkal rasa hatinya, gemas dan dongkol tapi ditekan dan ditahannya.

Sementara itu, Kun Tek duduk termenung memandang api. Hati dan pikirannya penuh dengan diri Bi Lan. Gadis yang aneh sekali, pikirnya, aneh dan menarik. Baru saja mengenalnya sudah berani memaki-makinya. Gila, tolol, sombong dan keras kepala!

Kalau saja dia dimaki seperti itu oleh orang lain, tanpa sebab tertentu, agaknya dia tidak akan dapat menahan diri dan akan menghajar orang itu. Akan tetapi sungguh aneh. Kenapa dia dimaki-maki oleh gadis ini dan sama sekali tidak ada rasa marah di hatinya, melainkan bingung dan menyesal? Apakah karena mendengar akan nasib gadis ini yang ayah bundanya mati terbunuh orang ketika masih kecil membuat dia merasa kasihan dan mengalah?

Sementara itu, Bi Lan yang tidur miring membelakangi pemuda itu, merasa mendongkol sekali. Biarpun Kun Tek tidak menujukan pandangannya tentang perempuan itu kepada dirinya, akan tetapi ia merasa mendongkol dan seperti mewakili semua perempuan yang dipandang rendah oleh Kun Tek. Sombongnya! Iapun merasa penasaran. Hampir semua pria yang dijumpainya, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan suka, akan tetapi Kun Tek bersikap seolah-olah ia hanya terbuat dari angin saja!

Dianggap angin lalu! Tidak memperlihatkan kemarahan, tidak pernah memuji, apalagi kelihatan tertarik. Bahkan jelas-jelas memandang rendah kepadanya ketika mengatakan bahwa dia takkan jatuh cinta kecuali kepada perempuan khayalnya tadi. Tanpa cacat cela! Serba sempurna! Phuahhh! Dengan hati penuh kemurungan dan kesebalan, akhirnya Bi Lan tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidur pulas.

Rasa dongkol itu agaknya tidak juga terhapus oleh tidurnya. Begitu ia terbangun dari tidurnya, Bi Lan sudah teringat lagi dan merasa tak senang dan dongkol. Akan tetapi, ketika ia bangkit duduk dan melihat kain yang menyelimuti tubuhnya, rasa panas dongkol itu menjadi agak dingin. Semalam Kun Tek telah menyelimuti tubuhnya! Ia menoleh ke kanan kiri. Pemuda itu tak nampak, akan tetapi buntalan pakaiannya masih berada di situ.

Sinar matahari pagi telah mengusir kegelapan malam dan api unggun sudah padam, baru saja padam karena masih berasap, agaknya padam setelah ditinggalkan pemuda itu.

Bi Lan menggeliat, seperti seekor kucing betina baru bangun dari tidurnya. Dan iapun menyeringai karena ketika ia menggeliat, terasa pinggangnya masih nyeri. Keparat Bhok Gun, ia memaki dalam hatinya, dilipatnya kain selimut itu dan diletakkannya di atas buntalan pakaian Kun Tek, lalu ia duduk melamun.

Pemuda macam itu yang demikian sombong, perlu apa didekati, pikirnya. Menurut hatinya yang panas, ia ingin pergi sekarang juga tanpa pamit. Akan tetapi, pikirannya mengatakan lain. Terlalu enak bagi Kun Tek kalau dibiarkan mengembang kempiskan hidungnya dengan sombong, melanjutkan pendapatnya yang memandang rendah kaum wanita. Pemuda seperti itu harus diberi pelajaran, harus dibuktikan bahwa pendapatnya itu hanya timbul sebagai suatu kepongahan, kesombongan, dan gertakan atau bualan belaka. Ia harus dapat membuat dia bertekuk lutut untuk membuktikan kepalsuan pendapatnya yang sombong itu.

“Bi Lan, kau sudah bangun? Nih, lihat apa yang kudapatkan!”

Tiba-tiba terdengar suara Kun Tek dari jauh dan nampak pemuda itu berlari-lari datang sambil memanggul seekor kijang muda yang sudah mati. Binatang itu dia turunkan di depan kaki Bi Lan dan dia berkata,

“Bi Lan, ketika aku mandi, nampak binatang ini turun minum air di hulu sungai maka aku berhasil merobohkannya dengan lemparan batu. Apakah kau dapat memasak dagingnya?”

Tadinya Bi Lan hendak menolak, akan tetapi ia teringat akan niat hatinya, maka ia tersenyum manis dan menjawab,

“Tentu saja bisa. Tapi bumbu-bumbunya.“

“Jangan khawatir. Buntalan pakaianku itu merupakan sebuah almari yang cukup lengkap. Lihat ini, ada garam, ada bawang ada kecap, bahkan aku membawa sebuah panci,” katanya gembira dan ketika dia mengangkat muka menatap wajah gadis itu, hampir saja Kun Tek terpesona.

Wajah itu, wajah yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka, namun begitu manis luar biasa. Rambutnya yang kemarin riap-riapan itu kini sudah kering dan awut-awutan, akan tetapi menambah kemanisannya. Apalagi gadis itu tersenyum dan nampak lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dengan bibir yang merah basah dan kedua pipi yang kemerahan, sepasang mata yang begitu bening dan bersinar tajam. Bukan main!

“Kau kenapa, Kun Tek?”

“Tidak apa-apa....“ pemuda itu agak panik. “Hanya.... sayang sekali aku tidak mempunyai beras atau gandum.”

“Kijang muda ini cukup gemuk dan kurasa dagingnya cukup untuk mengenyangkan kita, malah takkan termakan habis.”

“Biar sebagian kubikin dendeng agar dapat dibawa sebagai bekal.”

“Aku mau mandi dulu,” kata Bi Lan.

“Pergilah, aku akan mengulitinya. Mandinya di tempat kau membersihkan tubuh dan pakaianmu semalam, Bi Lan. Airnya jernih dan sejuk.”

“Baik, akan tetapi kau jangan ke sana selagi aku mandi,” kata Bi Lan sambil mengerling dan menahan senyum, sikap yang manja dan menarik sekali. Kembali Kun Tek melongo, kagum melihat segala keindahan wanita yang berada di depannya itu.

“Mau apa ke sana? Aku.... aku tidak sekurang ajar itu, Bi Lan.”

“Siapa tahu? Laki-laki biasanya suka mengintai, biasanya memang kurang ajar,” kata Bi Lan dan tanpa menanti jawaban Kun Tek, sambil terkekeh ia lalu lari menuju ke anak sungai yang berada tak jauh dari tempat itu, namun tidak nampak terhalang oleh sekelompok pohon.

Sambil mandi, Bi Lan mengepal tinju.
“Akan kujatuhkan kau, manusia sombong!” katanya.

Ia teringat betapa sucinya, Bi-kwi pernah bercakap-cakap tentang pria dengannya, pada saat hati sucinya itu sedang puas dan senang. Mula-mula ia yang menegur sucinya mengapa sucinya suka bermain-main dengan pria, berganti-ganti pria.

“Aku suka mempermainkan pria, siapa saja yang menarik hatiku.”

“Ah, bagaimana kalau ada yang menolakmu, suci? Bukankah engkau akan malu sebagai wanita ditolak pria?“

“Hemm, laki-laki mana yang mampu menolak? Kalau diusahakan, kita kaum wanita, asalkan tidak cacat atau buruk sekali rupanya, akan mampu menundukkan laki-laki yang manapun juga. Betapapun gagah dan kuatnya pria, akan mudah bertekuk lutut kalau kita hadapi dengan senyum, dengan kerling mata memikat, dengan gerak-gerik yang luwes dan menggairahkan.”

Mengingat akan ucapan sucinya itulah Bi Lan kini mengambil keputusan untuk menjatuhkan Kun Tek, hanya untuk membuktikan bahwa pendapat Kun Tek tentang wanita tidak benar, bahwa Kun Tek dapat jatuh cinta kepada seorang wanita, bukan seorang perempuan khayal. Ia merasa penasaran dan ingin memberi pelajaran kepada pemuda yang dianggapnya membual dan sombong itu.

Setelah selesai mandi, Bi Lan membereskan pakaiannya, mematut-matut diri dan menyisir rambutnya. Ia nampak semakin segar dan cantik jelita walaupun pakaiannya sederhana ketika dengan langkah perlahan ia kembali ke tempat di mana Kun Tek sibuk menguliti kijang tadi.

“Sudah selesaikah engkau menguliti kijang itu?” tanya Bi Lan dengan suara halus dan manis.

Kun Tek yang sedang berjongkok dan sibuk itu menoleh dan mengangkat mukanya. Dengan girang dan diam-diam mentertawakan pemuda itu, Bi Lan melihat betapa sepasang mata pemuda itu kini kehilangan sinar yang dingin dan acuh itu. Sinar mata itu kini penuh semangat memandang kepadanya, penuh kekaguman.

Dan memang Kun Tek terpesona. Karena Bi Lan datang dari arah timur, maka sinar matahari pagi nampak di belakang gadis itu, seperti cahaya keemasan mengantar dara manis itu, membuat ia nampak gilang-gemilang seperti seorang dewi pagi turun dari kahyangan menyeberang ke bumi melalui cahaya matahari!

“Kau.... kenapa, Kun Tek?”

Bi Lan menegur, menahan tawanya dan hanya tersenyum manis melihat betapa pemuda itu berjongkok seperti patung memandang kepadanya, tangan kanan memegang pisau berlumur darah, tangan kiri memegang sepotong tulang.

“Mau diapakan tulang itu?”

“Apa....? Tu.... tulang....?” Kun Tek tergagap dan baru dia melihat bahwa dia masih memegang tulang dan baru ia sadar bahwa dia melongo seperti orang bodoh, terlongong seperti orang bengong. “Eh, ini.... aku sudah selesai menguliti kijang dan sedang menyayati dagingnya. Kau.... kau nampak....“

“ Ya....?” Senyum itu semakin manis. “Nampak bagaimana.?”

“Anu.... nampak.... segar sekali!”

Bi Lan tertawa renyah dan menghampiri pemuda itu. Pesona itu membuyar dan Kun Tek menyerahkan potongan-potongan daging kepada Bi Lan.

“Cukupkah sebegini? Kalau cukup, lainnya akan kubuat dendeng.”

“Cukup, kita berdua menghabiskan daging sebeginipun sudah akan kenyang sekali,” jawab Bi Lan.

Kun Tek sudah menyalakan lagi api unggun dan sudah menyiapkan semua keperluan masak seperti panci, bumbu-bumbunya dan dia lalu membawa kulit, tulang-tulang dan sebagian daging yang akan dibuatnya dendeng, lalu pergi agak menjauh.

Tak lama kemudian, setelah keduanya bekerja tanpa bicara, merekapun menghadapi masakan daging kijang yang dibuat oleh Bi Lan. Sejak kecil, Bi Lan yang melayani gurunya memang sudah biasa memasak, bahkan biasa masak bahan-bahan yang sederhana menjadi masakan yang cukup enak.

Dengan bumbu seadanya, ia telah membuat dua macam masakan saja, yaitu daging panggang dan masakan yang ada kuahnya. Dan karena mereka berdua merasa lapar sekali, ditambah suasana yang amat menyenangkan hati, keduanya makan dengan lahap. Apalagi Kun Tek. Dia makan dengan lahap dan kelihatan nikmat sekali.

“Lunak sekali masakanmu, Bi Lan. Daging kuah ini gurih dan sedap, dan panggang dagingnya juga enak. Kau memang pandai memasak!” puji Kun Tek sambil meggerogoti daging panggang.

Bi Lan tersenyum.
“Terima kasih atas pujianmu, Kun Tek. Bagaimana dengan wanita khayalmu itu, Kun Tek?”

“Wanita khayal....? Apa.... apa maksudmu, Bi Lan?” Kun Tek benar terkejut mendengar pertanyaan yang tak diduga-duganya itu.

“Wanita khayalmu yang tanpa cacat itu, Apakah diapun pandai masak?”

Bi Lan menatap tajam wajah Kun Tek yang kulitnya menjadi semakin gelap ketika dia teringat akan makna pertanyaan itu.

“Tentu saja.... tentu saja seorang wanita harus pandai masak, kalau tidak, ia tidak lengkap menjadi seorang wanita, bukankah begitu?”

Kun Tek dibesarkan di daerah barat di mana kaum wanita bertugas di dapur, tidak seperti suku bangsa di selatan yang kedudukannya terbalik, yaitu kaum prianya yang biasa memasak di dapur sedangkan para wanitanya biasa pula memikul air dan bekerja di sawah.

Mereka selesai makan dan ketika Bi Lan hendak mencuci tangannya, ia mengeluh. Ketika bangkit dari duduk di atas tanah itu, gerakan ini mendatangkan rasa nyeri yang menusuk pada pinggangnya.

“Aduhhh....“

Kun Tek terkejut dan cepat menghampiri.
“Kau kenapa, Bi Lan?” Melihat gadis itu menekan-nekan pinggangnya yang kiri, dia bertanya, “Apakah pinggang yang kena tendang lawan itu masih terasa nyeri”

Bi Lan mengangguk dan menyeringai kesakitan.
“Nyeri sekali kalau aku memutar pinggang, seperti tertusuk rasanya.”

“Wah, jangan-jangan ada yang terkilir di situ. Kalau terkilir harus cepat-cepat dibetulkan letak otot-ototnya, Bi Lan, kalau tidak bisa membengkak dan semakin berbahaya.”

Bi Lan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam.
“Kau mau mengobati pinggangku? Malam tadi engkau mengobati kakiku yang terkilir, engkau tentu ahli membetulkan otot yang terkilir.”

Kun Tek tersenyum dan mengangguk.
“Aku pernah mempelajarinya dari ayah. Kalau engkau mau, tentu saja aku suka sekali mencoba untuk memeriksa dan membetulkan letak otot yang terkilir”.

“Tentu saja aku mau, kenapa kau bertanya lagi. Siapa orangnya diobati sampai sembuh tidak mau?”

“Tapi.... untuk memeriksa dan membetulkan bagian yang terkilir, aku harus melihatnya, menyentuhnya dan membetulkannya dengan pijatan-pijatan dan urutan-urutan, aku harus.... menangani bagian pinggangmu yang terkilir itu.”

Diam-diam Bi Lan tertawa dalam hatinya.
“Kalau begitu mengapa? Nah, kau lakukanlah cepat agar nyerinya segera hilang.”

Tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan lalu agak menurunkan celananya di bagian kanan dan menarik ke atas bajunya bagian itu juga sehingga nampaklah kulit pinggangnya yang putih mulus, ke bawah sampai di lekuk pinggul dan ke atas sampai pada permulaan bukit dada.

Biarpun jantung berdebar seperti diguncang-guncang keras, Kun Tek menekan perasaannya dan dengan sikap biasa seolah-olah dia hanya akan mengobati lengan atau kaki saja, dia mulai memeriksa bagian pinggang itu dengan jari-jari tangannya yang terlatih. Setelah memijit sana mengelus sini, tak lama kemudian dia dapat meraba dan menemukan bahwa memang ada otot yang terkilir, akan tetapi tidak berapa parah dan mungkin rasa nyeri itu hanya karena memar saking keras dan kuatnya tendangan.

Akan tetapi, cukup lama baginya meraba-raba itu sehingga mukanya penuh keringat, dan terasa jelas oleh Bi Lan betapa jari-jari tangan itu gemetar dan panas dingin! Bi Lan menahan senyumnya, senyum kemenangan melihat betapa pemuda itu kini mulai mengobati pinggangnya dengan tekanan dan pijatan jari-jari tangannya yang gemetar dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa pemuda itu telah memejamkan kedua matanya!

“Aduhh.... jangan kuat-kuat.... di situ nyeri....!” Bi Lan sengaja merintih, lalu bertanya dengan nada suara heran, “Kun Tek, kenapa engkau memejamkan kedua matamu?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan Kun Tek dan dia cepat membuka matanya, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu, yang seolah-olah sinarnya menusuk dan menjenguk ke dalam jantungnya, dia cepat memejamkan kembali kedua matanya.

“Ah, aku sudah terbiasa, ketika belajar dulu. Dengan memejamkan kedua mata, jari-jari tanganku lebih peka.”

“Tapi ketika engkau mengobati kakiku yang terkilir, matamu tidak kau pejamkan! Jangan-jangan engkau memejamkan matamu agar tidak melihat pinggangku!”

“Ah, kenapa?” bantah Kun Tek tanpa membuka matanya.

Bi Lan tertawa dalam hatinya.
“Siapa tahu, pinggangku buruk.”

“Pinggangmu bagus sekali!”

“Kulitnya kasar dan hitam.”

“Tidak, halus dan putih mulus.”

“Mungkin bau keringatku tidak enak sehingga kau muak.”

“Bau keringatmu sedap, Bi Lan.”

Hampir Bi Lan tak mampu menahan ketawanya dan ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia telah menjalankan siasat seperti yang pernah didengarnya dari sucinya, si ahli pemikat laki-laki itu dan ternyata baru sebegitu saja, ia sudah merasa dapat menguasai Kun Tek!

Memang pinggangnya masih terasa agak sakit, akan tetapi tidaklah begitu nyeri dan sebetulnya tidak perlu disembuhkan dengan pijat. Tadi ia hanya berpura-pura saja untuk memancing Kun Tek dan ternyata siasatnya itu berhasil baik. Ia berhasil membuat pemuda ini berpeluh dan gemetar, bahkan lalu memuji-mujinya.

“Sudah cukup, Kun Tek, sekarang tidak terasa nyeri lagi. Terima kasih.”

Ada dua macam perasaan menyelinap di hati pemuda itu ketika Bi Lan berkata demikian. Ada rasa lega karena dia seperti terbebas dari ketegangan yang membuat dia berpeluh dan gemetar, akan tetapi ada rasa kecewa pula bahwa jari-jari tangannya harus meninggalkan buah pinggang yang ramping, gempal, lunak, halus dan hangat itu.

“Tidak perlu berterima kasih, Bi Lan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik dan sudah sepatutnya kalau kita saling menolong?”

Bi Lan mau melanjutkan siasatnya untuk mencoba dan menjatuhkan Kun Tek agar ia dapat memberi pelajaran kepada laki-laki yang sombong ini. Ia lalu bangkit dan mengemasi buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung kembali.

“Sekarang tiba saatnya aku melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, Kun Tek. Engkau baik sekali dan terima kasih.” Berkata demikian, Bi Lan lalu meloncat pergi.

“Eh, Bi Lan, nanti dulu.” Kun Tek berseru dengan kaget. Keputusan Bi Lan yang tiba-tiba untuk meninggalkannya itu sungguh mengejutkan hatinya. “Engkau hendak ke mana?”

“Aku hendak melanjutkan perjalananku.”

“Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”

“Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali!“

“Aku akan membantumu, Bi Lan, sampai engkau berhasil dalam urusan itu!”

Bi Lan tersenyum manis.
“Engkau memang seorang yang baik budi, Kun Tek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak kalau harus mengganggumu selalu. Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa.”

“Kita sahabat baik!”

Bi Lan mempermanis senyumnya sehingga nampak lesung pipit di kanan kiri. Manis sekali.
“Memang, engkau seorang sahabatku yang baik sekali. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau harus bersusah payah selalu untukku. Nah, selamat tinggal!”