Ads

Minggu, 03 Januari 2016

Suling Naga Jilid 038

Dusun Hong-cun merupakan sebuah dusun yang makmur di luar kota Cin-an. Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Akan tetapi pada musim-musim lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi penduduknya.

Ada sebuah rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an. Rumah ini adalah rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini. Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es.

Suma Ceng Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada seorangpun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun.

Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis, yaitu Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar yang kini sudah berusia tigapuluh dua tahun itu.

Seperti kita ketahui, kurang lebih tigabelas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Enq. Isterinya inipun, yang usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita gemblengan yang sukar dicari tandingannya.

Setelah setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini diberikan karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap!

Pada waktu itu, Suma Lian telah berusia duabelas tahun, seorang gadis cilik yang mungil, akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari ayah ibunya.

Biar pun baru berusia duabelas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidak adilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.

Padahal yang diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri. Untuk menolong orang-orang miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang lain.

Selain ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula seorang nenek yang usianya sudah enampuluh enam tahun. Ia juga bukan nenek sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibu dari Suma Ceng Liong! Setelah suaminya meninggal dunia dan menjadi janda, Teng Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah memanjakan cucu itu.

Dusun Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an. Karena tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai. Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini.

Semenjak neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu berlatih ilmu silat! Bahkan ia sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya amat sayang kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!

“Terlalu berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau ia sudah dewasa,” demikian pesannya kepada ibunya.

“Ayaaaa.... kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur sebaik-baiknya,” jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol.

Ibunya ini galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah berusia tigapuluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan latihan silat yang tertutup.

Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di tempat udara terbuka. Suma Lian yang berusia duabelas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri, akan tetapi bukan hanya jungkir balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang.

Itulah gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendang Soan-hong-twi yang amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimanapun juga. Kaki lebih panjang dari lengan, maka, jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan berbahayalah bagi lawan.

Bentakan-bentakan itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk dan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Suma Lian itu memang seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu menggunakan banyak tenaga dari otot-otot bagian perut sehingga perlu dikeluarkan teriakan-teriakan itu untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang selain menciptakan tenaga dalam, juga melindungi isi perut.

“Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. kepalamu jangan diangkat, melainkan didongakkan dan dilempar ke belakang sehingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!”

Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enampuluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.






Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar yang wajahnya menyeramkan karena wajah itu penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.

“Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahu di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?”

Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab,

“Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apalagi seorang suci seperti lo-suhu.”

“Omitohud....! Suma....? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.

Orang itu tersenyum.
“Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es.”

“Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?”

“Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini.”

Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarsa Pulau Es.

Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam dia sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.

Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.

Akan tetapi, ketika dia tiba di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khi-kang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali.

Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalaupun ada orang di atas jalan depan rumah itu, tidak akan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang. Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali.

Ketika Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya. Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan kepadanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi “kekasih” kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai limabelas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat.

Usianya tentu baru duabelas atau tigabelas tahun, dan memiliki wajah yang cantik manis, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai “oleh-oleh” kedatangannya. Andaikata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu berahinya seperti yang akan dilakukan pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya.

Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apalagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan. Dia akan bangga kalau diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es.

Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu. Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan dia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi.

Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itupun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!

Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk.
“Untuk melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau lebih dulu harus menendangkan kaki kiri ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu tertangkis, tenaga tangkisan dapat kau sambut dan kau pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil.

Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk.”

“Wah, gerakan itu amat sukar, nek!” Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh.

Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih silat, ia memang keras sekali.

“Apa? Baru begitu saja engkau mengeluh, ingat, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimanapun juga! Tahu?”

Sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, iapun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!

Melihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dahulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya kini diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.

“Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?”

Suma Lian juga sudah luluh kekerasan hatinya melihat senyum neneknya.
“Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadipun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek.”

“Baik, kau lihat baik-baik, cucuku!“

Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!

“Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau.?”

Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok. Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok.

Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.

Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.

Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan diapun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!

Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walaupun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekalipun!

Dia lalu mempergunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya. Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walaupun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali.

Dengan sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia enampuluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu. Setelah puas meneliti, ia lalu membentak,

“Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!”

“Omitohud....!”

Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona. Bukan main wanita ini, pikirnya. Biarpun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!

“Omitohud apa! Orang macam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau sebelum kau mampus tanpa nama!”

“Omitohud.... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua.”

“Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!” bentak Teng Siang In dan ia sudah menerjang dengan hebatnya.

Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sin-kang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tigabelas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!

Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung kebelakang. Dia tidak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat dan sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.

“Haiiittt....!”

Tiba-tiba dia berteriak dan tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sin-kangnya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sin-kang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.

Akan tetapi nenek itu tertawa.
“Heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!”

Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandang mata Sai-cu Lama! Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu.

Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.

“Omitohud, kiranya engkau siluman betina....!”

Bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu.

Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan iapun terbelalak melihat pedang itu.

“Ban-tok-kiam....! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?” bentaknya dengan terheran-heran.

Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?

“Ha-ha-ha, anggap saja pinceng ini Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!” kata Sai-cu Lama dan dia memutar lagi Ban-tok-kiam lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.

Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjatapun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka cepat ia menyambar sebatang ranting dan berteriak sambil memutar rantingnya,

“Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!”

Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujungnya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.

“Omitohud....!”

Kakek itu berseru dan kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya, sambil mengerahkan tenaga diapun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar.“

Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi.

Mulai khawatirlah nenek Teng Siang In. Lawan ini terlalu tangguh, tak dapat ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)! Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini.

Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya, sedangkan Sai-cu Lama dapat menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu.

Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka diapun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andaikata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walaupun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.

“Lumpuhlah kau! Kakimu keduanya lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!”

bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh!

Kalau saja tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.

“Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!”

“Jahanam busuk lepaskan cucuku!” dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi dan menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti.

Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!

“Ayaaaa!”

Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut. Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu dan dalam keadaan yang demikian berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan.

Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnnya dan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!”