Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 045

“Locianpwe berdua, kami menerima dengan gembira anak keluarga Suma itu, akan tetapi untuk sementara saya titipkan dulu ia di sini. Terutama locianpwe Kim Hwa Nio-nio harap menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri. Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar. Mengertikah, locianpwe?”

Kim Hwa Nio-nio mengangguk-angguk.
“Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaganya.”

Wajah pembesar itu nampak lega dan diapun berkata gembira.
“Sekarang, harap keluarkan hidangan dan hiburan untuk menjamu Lo-suhu dari Tibet sebagai sambutan selamat datang dari kami.”

Kim Hwa Nio-nio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintupun terbuka. Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya muda-muda dan berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik masuk dengan sikap gesit dan terlatih baik. Mereka lalu mengatur masakan-masakan di atas meja dan bagaikan sekumpulan burung dara delapan orang pelayan ini pulang pergi mengambil masakan-masakan dari dapur dan ruangan itupun menjadi sedap baunya oleh uap masakan-masakan yang masih panas itu.

Rombongan ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu sehingga hampir menyerupai kedok-kedok.

“Taijin, rombongan ini sengaja saya undang dari kota raja,” kata Kim Hwa Nio-nio memperkenalkan enam orang itu.

Hou Sen mengangguk-angguk.
“Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar.”

Enam orang itu berlutut menghadap pembesar itu, akan tetapi sebelum mereka menjawab, dari pintu yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa Nio-nio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang hebat telah terjadi. Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang alis Kim Hwa Nio -nio.

“Kalian ada laporan apa!“ bentaknya marah.

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu, melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman yang masih berlutut di situ.

“Mereka.... mereka ini.... palsu! Mereka membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka menyamar.”

“Apa....?” Hou Taijin membentak dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam orang seniman palsu itu. “Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?”

“Mau membunuh kau laki-laki cabul!”

Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat musik dan pakaian!

Akan tetapi, belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat menyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nio-nio lalu dibawa ke pinggir dan dilindunginya.

Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja, malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan orang pengawal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka, hidup atau mati.

Akan tetapi, ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang! Hal ini membuat Hou Taijin menjadi ketakutan, akan tetapi Kim Hwa Nio-nio menenangkannya.

“Jangan khawatir, Taijin, ada saya di sini,” kemudian ia berkata kepada Sai-cu Lama. “Lama, apakah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang? Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!”

Sai-cu Lama bangkit dan menghampiri arena perkelahian, lalu dari mulutnya menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan, akan tetapi yang membuat semua orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal maupun para penyerbu, terpaksa mundur karena mereka tidak dapat membuka mata terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk kulit muka!

“Para pengawal, mundurlah dan bawa pergi teman-temanmu yang terluka keluar dari sini, agar gerakan pinceng tidak terhalang!” kata kakek gendut itu tenang-tenang saja.

Para pengawal lalu menolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou Taijin.

“Kalian sudah bosan hidup dan datang untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi.”

Tentu saja enam orang itu menjadi marah. Dengan semburan arak tadipun mereka sudah tahu bahwa pendeta gendut ini lihai sekali, akan tetapi karena mereka berenam dan mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan serentak mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang.






Enam batang pedang dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu dari segala jurusan. Enam orang itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka masing-masing telah merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka.

Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat. Akan tetapi, yang mereka serang saat itu adalah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka. Dari gerakan mereka saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa dia, enam orang itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja dia mampu untuk merobohkan enam orang lawannya. Akan tetapi, di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin memperlihatkan kepandaiannya.

Maka, begitu melihat datangnya tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan, dia sengaja memperlihatkan kekebalannya. Dengan kedua lengan tangan telanjang, dia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai punggung dan lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis.

Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan lengannya maupun yang mengenai punggung dan lehernya, tanpa sedikitpun melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung!

Tentu saja Hou Seng kagum bukan main, sebaliknya enam orang penyerang itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seorang pendeta Lama yang demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin karena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan kini menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan serangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi kekebalan, terutama di bagian mata.

Menghadapi serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kalian ini tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!”

Kaki tangannya bergerak dengan aneh dibarengi bentakan-bentakannya yang melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu telah roboh tewas dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tigapuluh tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya lumpuh.

“Ha-ha-ha, apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik pakaiannya?”

Dan sekali tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita itu telah dirobek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulusnya, dan wanita itu hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bagian depannya itu.

“Nanti dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yang menyuruh mereka!”

Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras. Dalam keadaan seperti itu, mana dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang? Pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia wanita lewat lima belas tahun sudah terlalu tua!

Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, maklum apa yang dikehendaki oleh Hou Taijin.

“Heh-heh, tikus betina, kau sudah mendengar sendiri ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh Hou Taijin? Hayo katakan, kalau tidak aku akan mengerat tubuhmu sepotong demi sepotong, tidak sampai kau mati, akan tetapi akan membuat engkau hidup sebagai seorang yang tanpa batang hidung, tanpa daun telinga, tanpa jari tangan dan kaki!”

Wanita itu memang maklum bahwa ia sudah tidak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik. Tak dapat ia membayangkan betapa ngeri dan sengsaranya dibiarkan hidup dalam keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan iapun tahu bahwa seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi gertakannya tadi. Maka, dengan lirih dan suara gemetar iapun membuat pengakuan.

“Yang mengutus kami adalah.... adalah.... Pangeran Cui....“

“Apa? Pangeran Cui yang mana? Yang tua atau yang muda?”

“Pangeran.... Cui muda....”

“Keparat!” bentak Hou Seng sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan kirinya sendiri. Wajahnya berubah merah dan dia marah sekali.

Pangeran Cui muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, termasuk seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Biarpun di dalam sebuah pesta yang diadakan pernah pangeran muda Cui itu menghinanya dengan sindiran dengan bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan dirinya.

Pangeran muda Cui itu bukan merupakan seorang lawan yang membahayakan kedudukannya, oleh karena itu memperbesar permusuhan dengannya tidak ada artinya, tidak menguntungkan. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk membunuhnya!

“Lo-suhu, kalau lo-suhu dapat membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya akan kesetiaan lo-suhu kepadaku!”

Setelah berkata demikian, dengan tergesa-gesa Hou Seng meninggalkan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan keretanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nio-nio.

“Celaka, di mana anak setan itu?”

Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio berteriak. Ia telah kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia lalu mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak perempuan itu.

“Ia takkan mampu lari jauh, Nio-nio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Hou Taijin tadi!” kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih terlentang di atas lantai itu. “Kubunuh saja ia ini?” Dia menuding ke arah tubuh wanita itu.

“Enam orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan tentang perintah tadi. Biar kubawa sendiri perempuan ini!”

Kim Hwa Nio-nio lalu menjambak rambut yang terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit berdiri dan Kim Hwa Nio-nio membentak penuh ancaman,

“Hayo katakan siapa nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia?”

Perempuan yang sudah ketakutan itu hanya dapat memandang dengan sepasang matanya yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa putus.

“Dia.... dialah pemimpin dan toako kami, bernama.... Ban Leng....”

“Nah, Sai-cu Lama, kau ambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan mengantar dulu perempuan ini!”

Kim Hwa Nio-nio pergi menyeret perempuan itu dan menengok enam orang anak buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di antara mereka yang masih rebah.

“Nih, untuk obat jerih payah kalian!”

Kemudian ia meninggalkan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya dan ia pun tersenyum sadis.

Ketika ia kembali ke ruangan tamu, Sai-cu Lama telah membungkus kepala si jenggot panjang dengan kain, setelah memenggal leher mayat itu dengan pedang rampasan. Kim Hwa Nio-nio memerintahkan orang-orangnya untuk membawa pergi mayat-mayat itu dan membersihkan ruangan tamu, sedangkan ia sendiri mengajak Sai-cu Lama berunding di kamarnya.

Dan malam itu juga, keduanya pergi meninggalkan rumah besar itu. Sai-cu Lama pergi membawa buntalan tebal, sedangkan Kim Hwa Nio-nio pergi mencari Suma Lian bersama lima orang pembantu pilihan. Ia percaya bahwa tak mungkin Suma Lian dapat meninggalkan kota raja pada malam hari itu. Anak itu tentu masih berada di kota raja, bersembunyi di suatu tempat.

Malam sudah menjelang pagi ketika sesosok tubuh yang tinggi besar berperut gendut memasuki halaman sebuah rumah mungil bercat merah. Dua orang penjaga segera keluar dari pintu gerbang dan menghadang pendeta yang berperut gendut dan membawa buntalan besar itu. Rumah itu adalah rumah pelesir, tidak mungkin seorang pendeta datang ke situ untuk mencari perempuan! Apalagi pada saat seperti itu!

“Heiii, tahan dulu. Siapa kau dan mau mencari siapa? Kami rasa engkau telah keliru masuk rumah orang!”

Pendeta itu menggeleng kepala.
“Salah masuk? Bukankah ini rumah pelesir Pintu Merah? Dan bukankah Pangeran Cui Muda berada di sini?”

Dua orang itu adalah pengawal-pengawal pangeran itu yang bertugas jaga di luar, sedangkan kawan-kawan mereka bertugas jaga di dalam. Mereka sedang kesepian, mengantuk dan kedinginan. Kini mereka merasa beruntung ada suatu yang penting dapat mereka sampaikan paling dulu kepada sang pangeran.

“Eh? Bagaimana kau menyangka seorang pangeran berada di tempat ini? Jangan bicara sembarangan, lo-suhu!” kata seorang di antara mereka ketika kini Sai-cu Lama berdiri di bawah sinar lampu sehingga mereka berdua dapat melihat jelas bahwa dia adalah seorang pendeta.

“Dari siapa engkau bisa mengatakan bahwa Pangeran Cui Muda berada di sini?” tanya seorang ke dua.

“Jangan mencurigai pinceng, kawan-kawan. Pinceng adalah sahabat baik dari Ban Leng, dan pinceng datang ke sini karena diutus oleh Ban Leng. Dia sendiri bersama kawan-kawannya tak mungkin datang karena harus bersembunyi dan mereka tidak ingin diketahui orang lain datang menghadap sang pangeran, oleh karena itu mengutus pinceng agar tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa akan mencurigai seorang pendeta? Ha-ha-ha! Tolong laporkan kepada Pangeran Cui Muda bahwa pinceng Tiong Hwesio utusan Ban Leng, datang mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang enam orang seniman yang menyerbu musuh!”

Tentu saja dua orang pengawal itu mengenal baik siapa Ban Leng itu. Kepala dari enam jagoan yang dipercaya oleh pangeran. Oleh karena itu, seorang di antara mereka lalu cepat melapor ke dalam dan para kepala pengawal yang mengerti akan pentingnya urusan, lalu memberanikan diri menggugah sang pangeran dari tidurnya.

Pangeran Cui Muda, seperti para bangsawan pada waktu itu, juga merupakan seorang bangsawan muda yang suka pelesir. Isteri dan selir-selirnya yang berjumlah lebih dari duabelas orang di rumah itu agaknya mulai membosankannya dan kadang-kadang dia pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir untuk menikmati pengalaman-pengalaman baru dengan pelacur-pelacur yang tentu saja lebih pandai dalam hal melayani kaum pria dibandingkan dengan selir-selirnya.

Dan malam itu memang dia sengaja memilih Pintu Merah, rumah pelesir kaum bangsawan, untuk menjadi tempat dia menantikan Ban Leng dan kawan-kawannya yang diutusnya untuk membunuh Hou Seng! Begitu para penyelidiknya memberi kabar bahwa malam itu Hou Seng memanggil serombongan seniman untuk menghihur tamu, dia lalu cepat menyuruh Ban Leng dan saudara-saudaranya untuk bertindak.

Ban Leng dan lima orang saudara seperguruannya memang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan pembunuh-pembunuh bayaran kelas tinggi yang sudah dipercaya dan diperalat oleh Pangeran Cui Muda. Mereka lalu mencegat rombangan seniman itu, membunuh dan menyamar menggantikan kedudukan mereka sampai mereka berhasil berhadapan dengan Hou Seng! Akan tetapi mereka salah perhitungan, sama sekali tidak tahu bahwa di rumah itu terdapat orang-orang sakti seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama!

Karena sudah berjanji untuk menanti Ban Leng dan kawan-kawannya di tempat itu, ketika dia digugah dan diberi tahu bahwa seorang yang diutus oleh Ban Leng mohon menghadap, sang pangeran menjadi girang dan cepat menyuruh para pengawalnya yang berjumlah tujuh orang itu untuk membawa utusan Ban Leng itu segera menghadap kepadanya.

Ketika pendeta Lama yang tinggi besar berperut gendut itu menghadap Pangeran Cui Muda, mereka saling pandang penuh selidik dan sang pangeran merasa agak heran, sama sekali tidak mengira bahwa utusan Ban Leng itu adalah seorang pendeta hwesio Lama yang belum pernah dilihatnya.

“Siapakah lo-suhu ini? Benarkah engkau disuruh oleh Ban Leng?” tanya pangeran itu dengan alis berkerut dan memandang ke arah buntalan yang berada di atas pundak pendeta itu.

“Pinceng adalah hwesio Tiong yang diutus Ban Leng menyerahkan kepala.... eh, sebelum pinceng melanjutkan, benarkah pinceng berhadapan dengan Pangeran Cui Muda?”

“Akulah Pangeran Cui Muda! Ban Leng mengutusmu menyerahkan sebuah kepala? Apakah mereka telah berhasil?” tanya pangeran itu dengan wajah gembira bercampur tegang.

Juga para pengawal yang mendengar percakapan itu merasa tegang dan mereka semua mendekat, mengepung hwesio itu untuk melihat kepala siapa yang akan di haturkan itu.

Sai-cu Lama tertawa.
“Mereka selamat.... ha-ha, inilah kiriman dari Ban Leng untuk paduka, Pangeran Cui!”

Dan diapun membuka buntalan itu perlahan-lahan di depan sang pangeran dan anak buah pengawal. Perlahan-lahan, sebuah kepala nampak dan ketika buntalan itu sudah terbuka semua, nampak sebuah kepala yang tengadah dan terdengar pangeran itu berteriak kaget karena dia segera mengenal bahwa kepala itu adalah kepala dari Ban Leng sendiri!

Juga para pengawal berteriak kaget.
“Pegang orang ini!”

Sang pangeran berseru keras dan para pengawal sudah mengepung Sai-cu Lama yang kini tertawa bergelak. Ketika tujuh orang itu dibarengi oleh jerit ketakutan beberapa orang wanita pelacur yang mencoba untuk mengintai dan mereka melihat kepala yang berlumuran darah, menyerang ganas, Sai-cu Lama lalu menggerakkan kaki tangannya dan tujuh orang pengawal itu seperti daun-daun kering tertiup angin saja, berpelantingan ke sana-sini!

“Heh-heh, perlahan dulu, pangeran!”

Sai-cu Lama menggerak-gerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pangeran itu seperti orang melambai dan memanggil dan..... tubuh pangeran yang sudah sampai ke pintu itu terjengkang dan bergulingan sampai ke depan kaki Sai-cu Lama!

Pada saat itu, seorang pengawal yang dapat bangkit kembali dan melihat majikannya terancam, sudah menggerakkan goloknya menyerang dengan bacokan ke arah leher pendeta Lama itu. Akan tetapi, gerakan golok itu terhenti di tengah udara ketika tiba-tiba kaki Sai-cu Lama meluncur ke depan, mengenai lambungnya.

Orang itu memekik, goloknya terlempar ke atas dan ketika meluncur turun, sudah disambut oleh tangan kiri Sai-cu Lama.

“Ampun.... ampunkan aku....” ratap sang Pangeran Cui, akan tetapi ketika nampak sinar golok itu berkelebat, leher pengeran itu sudah putus dan kepalanya sudah terangkat ke atas dengan dijambak rambutnya oleh Sai-cu Lama.

Dan pendeta Lama itupun tidak mau bekerja kepalang tanggung. Dia membawa kepala yang masih bertetesan darah itu sambil mengamuk dan tanpa ampun lagi dibunuhnya tujuh orang pengawal itu, suami isteri tua pemilik rumah pelacuran itu dan tidak ketinggalan pula lima orang pelacur yang berada di situ dan dua orang pelayan!

Habislah seluruh penghuni Pintu Merah itu, dibantai oleh Sai-cu Lama menggunakan golok rampasannya. Kemudian, sekali berkelebat diapun sudah meninggalkan rumah itu sambil membawa sebuah kepala, kepala yang dibuntalnya pula dengan kain bekas pembungkus kepala Ban Leng tadi! Dan pada pagi hari itu juga, tanpa diketahui seorangpun, diam-diam Sai-cu Lama mengirim kepala itu ke rumah Hou Taijin!

Ketika Hou Taijin terbangun dari tidurnya, tahu-tahu di meja kamarnya telah terdapat buntalan itu yang ketika dibuka ternyata berisi kepala Pangeran Ciu Muda! Tentu saja Hou Seng menjadi girang akan tetapi juga ngeri, cepat dia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengubur kepala itu secara rahasia.

Kini dia baru percaya benar akan kelihaian dan kesetiaan Sai-cu Lama dan hatinya merasa girang bukan main. Di samping Kim Hwa Nio-nio, dia memperoleh tenaga bantuan seorang yang boleh diandalkan, yang tentu saja akan memperkuat kedudukannya dalam persaingan dengan para pembesar yang tidak suka kepadanya.

**** 045 ****