Ads

Kamis, 07 Januari 2016

Suling Naga Jilid 056

Para penjaga gedung yang menjadi sarang Kim Hwa Nio-nio menjadi gempar ketika pada suatu pagi, mereka melihat sebatang pisau menancap di daun pintu gerbang dan pisau itu membawa sebuah sampul putih dengan tulisan berwarna merah, ditujukan ke pada Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio! Bergegas komandan jaga mengambil pisau dan sampul itu dan berlari-lari masuk menghadap Kim Hwa Nio-nio.

Nenek itu sudah duduk menghadapi hidangan makan pagi, lengkap dengan para temannya. Di sini hadir Sai-cu Lama, ketiga Sam Kwi, Bhok Gun, Bi-kwi dan mereka kelihatan gembira. Malam tadi, berkat kelihaian Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, mereka telah berhasil menyingkirkan dua orang selir yang juga menjadi dua orang pengawal pribadi Hou Seng.

Dua orang selir ini dianggap sebagai saingan oleh Kim Hwa Nio-nio, karena dua orang ini seringkali mempengaruhi Hou Taijin dengan bisikan-bisikan mereka. Ketika Suma Lian diserahkan sebagai hadiah oleh Sai-cu Lama kepada Hou Seng, dua orang selir ini yang membisikkan agar pembesar itu menerima saja, akan tetapi memperlakukan anak itu dengan baik-baik dan jangan diganggu, memperingatkan Hou Taijin bahwa Pendekar Pulau Es masih ada hubungan keluarga dengan kaisar.

Dan masih banyak nasihat-nasihat yang diberikan oleh dua orang selir itu, yang selalu diturut oleh Hou Seng. Oleh karena itu, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama merasa bahwa mereka berdua itu merupakan saingan yang mengkhawatirkan. Bagaimana kalau sekali waktu dua orang selir itu membisikkan agar Hou Taijin tidak mempercaya Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya lagi?

Dan kesempatan baik mereka peroleh ketika mereka memperkenalkan Sam Kwi kepada pembesar itu. Malam itu, Hou Taijin berkenan menerima mereka bersama Sam Kwi untuk datang menghadap dan seperti biasa, Hou Taijin menyambut pembantu-pembantu baru yang berilmu tinggi itu dengan perjamuan makan. Dan seperti biasa pula, dua orang selir yang pandai ilmu silat itu tak pernah meninggalkan Hou Taijin, seolah-olah menjadi bayangannya.

Setelah Sam Kwi diperkenalkan, Hou-Taijin merasa gembira sekali. Tiga orang dengan bentuk tubuh dan muka seperti itu, demikian menyeramkan, bahkan mengerikan, tanpa diuji lagi dia sudah percaya bahwa mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka, Hou Taijin lalu berkata sambil tersenyum lebar,

“Kedatangan sam-wi amat menggembirakan hatiku dan kami ingin menyambut kedatangan sam-wi dengan secawan arak!”

Mendengar ucapan ini, seorang di antara dua selir merangkap pengawal pribadi itu lalu melayani majikan mereka dengan menuangkan secawan arak dari guci yang tersedia, ke dalam cawan pembesar itu yang sudah tersedia pula di atas meja. Juga Sam Kwi sambil tertawa mengisi cawan mereka dengan arak sampai penuh, kemudian mereka semua mengangkat cawan arak masing-masing. Akan tetapi, sebelum cawan itu menempel di bibir Hou Taijin, Kim Hwa Nio-nio berseru,

“Taijin, tahan!”

Secepat kilat, iapun menyambar cawan itu dari tangan Hou Seng, kemudian terdengar suara gaduh dan dua orang selir itu telah roboh dan tewas seketika karena mereka telah terkena pukulan maut dari Sai-cu Lama. Pukulan kedua tangan kakek itu tadi menyambar ganas dan tepat mengenai dada mereka, membuat mereka roboh tanpa dapat menjerit lagi, muka mereka menjadi agak kehitaman karena pukulan tadi adalah pukulan beracun!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hou Taijin, Dia terbelalak.
“Apa.... apa artinya ini....!”

Dia membentak, khawatir bahwa jangan-jangan para pembantunya ini mengadakan pengkhianatan dan pemberontakan. Akan tetapi hatinya lega karena sikap mereka tidak demikian. Kim Hwa Nio-nio berkata halus,

“Harap paduka maafkan kelancangan kami, akan tetapi kami telah menyelamatkan nyawa paduka dari pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang pengawal pribadi paduka ini,” kata Kim Hwa Nio-nio dan cawan arak tadi masih berada di tangannya.

“Apa? Mereka ini hendak berkhianat? Ah, hal itu tidak mungkin! Kalian tentu keliru. Mereka adalah selir-selirku yang setia!”

“Kim Hwa Nio-nio berkata benar, Taijin. Kami berdua melihat betapa tadi mereka memasukkan bubukan putih ke dalam cawan paduka. Itu tentu racun yang amat jahat!” kata Sai-cu Lama. “Karena itu, selagi Kim Hwa Nio-nio mencegah paduka minum, saya mendahului mereka dan membunuhnya agar tidak sempat menyerang paduka,”

Hou Taijin masih ragu-ragu dan ketika dia memandang kepada tiga orang tamu baru, Sam Kwi yang sudah tahu akan rencana teman-temannya, mengangguk-angguk.

“Kamipun melihatnya,” kata mereka. “Begini saja, Taijin. Tuduhan kami itu perlu dibuktikan agar Taijin dapat percaya.”

Melihat pembesar yang masih memandang mayat dua orang selirnya dengan muka pucat, Kim Hwa Nio-nio lalu berteriak menyuruh dua orang pengawal cepat membawa dua ekor kucing ke situ. Sebelum kucing yang diminta itu datang, Kim Hwa Nio-nio berkata,

“Taijin, kalau taijin tidak percaya, boleh taijin periksa di saku atau ikat pinggang mereka, tentu mereka membawa sebotol kecil bubukan putih.”

Dengan jari-jari tangan gemetar, pembesar itu memeriksa dan benar saja, di tubuh dua orang selirnya, masing-masing terdapat sebuah botol kecil berisi bubukan putih, yang disembunyikan di dalam ikat pinggang mereka. Dia mengambil botol-botol itu dan meletakkannya di atas meja.

“Apakah ini?” tanyanya, suaranya masih agak gemetar karena hatinya masih diliputi ketegangan.

“Racun yang jahat sekali, taijin. Dan sebagian dari racun itu tadi ditaburkan ke dalam cawan taijin ini,” kata pula Kim Hwa Nio-nio.

Dua ekor kucing yang diminta itu datang. Kim Hwa Nio-nio membuka dengan paksa mulut kucing itu dan menuangkan arak dari cawan Hou Seng ke dalam mulut kucing. Biarpun kucing itu meronta, percuma saja, arak itu telah memasuki perutnya. Dan seketika kucing itu berkelojotan dan tewas, tubuhnya berubah menghitam!

“Nah, apa akan jadinya kalau saya tadi tidak mencegah paduka minum arak dari cawan itu?”

Kata Kim Hwa Nio-nio dan Hou Seng bergidik, kembali memandang kepada dua orang selirnya, kini pandang matanya mulai mengandung kemarahan dan kebencian.

“Mereka.. mereka nampaknya begitu baik, mencinta dan setia.... dan aku telah memberi segala-galanya, tapi.... tapi mengapa....“






“Tidak aneh, taijin. Musuh taijin banyak sekali dan agaknya mereka itu mampu merobah pendirian dua orang ini. Karena itu, taijin harus berhati-hati dan percayalah, selama ada kami, kami akan selalu melindungi taijin dari ancaman bahaya,” kata Sai-cu Lama dengan suaranya yang halus.

Kini dari dua botol itu dituangkan bubuk putih ke dalam arak, lalu dituangkan dengan paksa ke dalam mulut kucing ke dua dan akibatnya, kucing inipun kejang-kejang berkelojotan dan tewas seketika. Percayalah Hou Taijin dan dua mayat dan bangkai kucing itu lalu disingkirkan, dan perjamuan itu dilanjutkan, walaupun Hou Taijin sudah kehilangan seleranya.

Demikianlah, peristiwa semalam itu tentu saja sudah diatur oleh komplotan Kim Hwa Nio-nio yang cerdik. Melalui para pelayan, mereka berdua memperoleh keterangan bahwa dua orang selir itu selalu membawa sebotol kecil racun. Racun ini selalu mereka bawa karena mereka ingin membunuh diri dengan cepat kalau sekali waktu mereka itu terjatuh ke tangan musuh-musuh Hou Seng, sehingga mereka tidak usah menderita siksaan dan juga tidak ada bahayanya mereka akan membocorkan rahasia suami dan juga majikan mereka itu. Demikian besarnya kesetiaan mereka kepada Hou Seng. Akan tetapi justeru keterangan inilah yang memudahkan Kim Hwa Nio-nio mengatur siasat keji itu.

Ketika Hou Seng hendak minum araknya, tentu saja di dalam arak itu tidak ada apa-apanya. Ia sengaja merampasnya untuk membuat suasana menjadi kalut dan memberi kesempatan kepada Sai-cu Lama untuk membunuh dua orang selir itu. Walaupun memiliki kepandaian silat yang lumayan, tentu saja dua orang selir itu sama sekali bukan tandingan Sai-cu Lama dan sama sekali tidak mampu menghindar ketika pukulan maut datang menyambar.

Dan dalam kegaduhan ini, dengan mudah Kim Hwa Nio-nio memasukkan bubuk racun ke dalam cawan arak itu. Tentu saja ketika diminumkan kepada kucing, kucing itu tewas seketika. Dan botol bubuk racun itu benar saja ditemukan dan karena memang benda itu racun, ketika diminumkan kucing ke dua, binatang itupun mati!

Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya menganggap siasat itu berhasil dengan amat baiknya. Dua orang selir yang mereka anggap saingan yang berbahaya itu, telah dapat mereka singkirkan, dan yang terpenting, Hou Seng agaknya percaya akan pengkhianatan selir-selirnya sehingga dengan demikian, semua kepercayaan pembesar itu tentu akan terjatuh ke tangan mereka! Untuk kemenangan ini, pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah merayakan kemenangan itu dengan sarapan pagi yang mewah.

Akan tetapi, kegembiraan mereka itu terganggu oleh datangnya pengawal yang dengan muka pucat menyerahkan pisau dan sampul.

“Kami tidak tahu siapa yang menancapkan pisau itu di pintu gerbang, karena tahu-tahu ketika kami membuka pintu gerbang, pisau itu sudah menancap di daun pintu, membawa sampul itu.” Demikian laporan pengawal itu.

Karena surat itu ditujukan kepada Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, nenek yang dianggap sebagai pimpinan kelompok pembantu Hou Taijin itu, segera membuka sampulnya dan mengeluarkan suratnya yang bertuliskan dengan tinta merah.

Ternyata surat itu adalah tantangan untuk pi-bu (mengadu ilmu silat), seperti yang biasa dilakukan di dunia persilatan. Yang menantang adalah Tiong Khi Hwesio yang menantang Sai-cu Lama, dan Sim Houw menantang Kim Hwa Nio-nio. Pada hari itu lewat tengah hari, dua orang penantang itu menunggu di tepi hutan di sebelah utara pintu gerbang kota raja!

“Heemmm.... keparat!”

Kim Hwa Nio-nio memaki dengan muka merah dan melemparkan surat itu kepada Sai-cu Lama. Pendeta ini membacanya dan diapun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio sudah mengejarku sampai di sini? Ha-ha-ha, dia memang sudah bosan hidup. Dengan Ban-tok-kiam di tangan, dia pasti akan mampus di tanganku sekali ini!”

Sambil tertawa-tawa, Sai-cu Lama menyerahkan surat itu kepada Iblis Mayat Hidup yang duduk di sebelahnya. Sam Kwi membaca surat itu bergantian, kemudian Bhok Gun dan Bi-kwi juga membacanya. Ketika surat itu kembali ke tangan Kim Hwa Nio-nio, Iblis Akhirat, si cebol dari Sam Kwi, yang melihat betapa Kim Hwa Nio-nio tidak gembira, berkata, dan suaranya lantang membuyarkan ketegangan yang timbul oleh surat itu.

“Suci, tak usah takut menghadapi Sim Houw itu. Bukankah Liong-siauw-kiam sudah berada di tanganmu? Dan kamipun akan membantumu.”

Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya.
“Siapa bilang aku takut menghadapi orang muda itu? Akan tetapi, aku khawatir kalau-kalau surat tantangan ini hanya suatu perangkap belaka untuk memancing harimau keluar dari sarang!”

“Ha-ha-ha!” Sai-cu Lama tertawa gembira. “Harimau tetap harimau, di dalam maupun di luar sarang, kita tetap berani dan menang!”

“Apakah engkau akan mengabaikan saja tantangan pi-bu ini, suci?”

Tanya Iblis Akhirat dengan khawatir, karena mengabaikan tantangan pi-bu amat mencemarkan nama seorang datuk persilatan.

“Pinceng pasti datang memenuhi tantangan Tiong Khi Hwesio, ha-ha!”

Sai-cu Lama masih tertawa-tawa memandang rendah lawannya. Dan diapun memiliki alasannya untuk memandang rendah. Bukankah dia dahulu kalah oleh Tiong Khi Hwesio dalam perkelahian yang seimbang dan setelah berjalan lama baru akhirnya dia kalah? Kalau kini dia menggunakan pedang Ban-tok-kiam, dia merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya itu.

“Mengabaikan tantangan pibu tidak mungkin, akan tetapi....” Kim Hwa Nio-nio masih kelihatan ragu-ragu.

“Kalau kita semua pergi bertujuh, walau andaikata mereka itu membawa teman-teman, kita tidak perlu takut,” kata pula Iblis Akhirat membesarkan hati sucinya.

“Aku mengerti akan kekhawatiran subo,” tiba-tiba Bhok Gun berkata. “Dan memang kekhawatiran itu beralasan. Penantang kita adalah musuh-musuh dan bisa saja mereka menggunakan pi-bu ini sebagai pancingan untuk menjebak kita. Akan tetapi, subo, justeru kita harus dapat memanfaatkan keadaan dan mengambil keuntungan dari perangkap yang mereka pasang ini.”

“Eh? Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Hwa Nio-nio kepada muridnya yang cerdik itu.

“Mereka menggunakan muslihat memancing harimau keluar sarang? Baik, kita keluar! Akan tetapi diam-diam aku akan menghubungi Coa-ciangkun agar dikerahkan pasukan sebanyak seratus orang untuk mengepung tempat itu dan begitu lawan berkumpul dan kita hendak dijebak, kita kerahkan pasukan untuk menangkap mereka semua. Dengan demikian berarti perangkap kita menghancurkan perangkap mereka.”

Sai-cu Lama mengangguk-angguk.
“Wah, Nio-nio, muridmu ini boleh juga!”

Semua orang menyatakan kagum dan Kim Hwa Nio-nio dapat menerima usul itu. Mereka melanjutkan makan minum sambil menyusun rencana untuk menghadapi pihak lawan yang mengajukan tantangan.

Tempat yang dipilih dalam surat tantangan pi-bu itu memang sunyi sekali. Di luar kota raja sebelah utara terdapat sebuah hutan yang lebat, dan di luar hutan ini terdapat lapangan rumput. Kalau musim semi tiba dan rumput di situ gemuk sekali, banyak penggembala ternak membawa ternaknya ke situ untuk makan rumput. Akan tetapi pada waktu itu, rumput di situ gundul dan kering maka tidak ada seorangpun pengembala mau membawa ternaknya ke tempat itu dan keadaan di situ amat sunyi.

Matahari amat cerahnya dan cahayanya yang panas menimpa segala yang nampak di permukaan bumi, memberi kehidupan yang segar. Kita adalah mahluk-mahluk yang sama sekali tidak dapat menikmati berkah yang berlimpahan dalam kehidupan ini. Satu di antara berkah-berkah yang berlimpahan adalah sinar matahari! Tanpa sinar matahari, kita dan segala sesuatu di permukaan bumi ini akan mati! Sinar matahari menyehatkan, menghidupkan, dan memberi segala yang menjadi kebutuhan mutlak kita.

Memberi panas, kehangatan, penerangan, kenikmatan yang tiada habis-habisnya. Namun, hanya sedikit di antara kita dapat menikmatinya. Segala keindahan yang terbentang di depan kita hidup karena sinar matahari. Bahkan pandang mata kita takkan ada artinya tanpa sinar matahari. Sedikit saja di antara kita yang dapat menghirup berkah melimpah ini dengan sepuasnya mereguknya dan menikmatinya. Dan yang sedikit itu pun hanya dapat menikmatinya jarang sekali, di waktu mereka teringat saja.

Dan di samping sinar matahari, masih banyak sekali berkah itu, seperti hawa udara, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Namun otak ini sudah terlalu penuh dengan persoalan-persoalan, dengan masalah-masalah yang kita buat sendiri sehingga hidup di dunia yang begini indah penuh berkah ini tak terasa lagi sebagai suatu keindahan melainkan berubah menjadi neraka karena kita terbenam ke dalam duka dan sengsara oleh problema-problema buatan kita sendiri itu.

Bayangan makin memendek mendekati kaki, tanda bahwa matahari sudah naik semakin tinggi. Tengah haripun terlewat dan tak lama kemudian, tempat yang sunyi itu berubah dengan munculnya beberapa orang di lapangan rumput itu. Yang muncul adalah seorang kakek tua renta yang berjubah pendeta hwesio dan berkepala gundul, bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana. Mereka ini adalah Tiong Khi Hwesio dan Sim Houw, dua orang penantang pi-bu itu!

Belum lama kedua orang penantang ini muncul di lapangan rumput yang luas, nampak bermunculan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, diiringkan oleh Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi! Kim Hwa Nio-nio tersenyum mengejek, hatinya girang sekali karena kini nenek itu tidak khawatir akan terjebak pihak musuh. Ada seratus duapuluh orang pasukan sejak pagi tadi bersembunyi di dalam hutan itu, siap untuk menyerbu setiap saat mereka dibutuhkan!

Bahkan Coa-ciangkun sendiri, perwira tinggi yang menjadi sekutu Hou Seng Taijin, memimpin pasukan itu. Tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dan tentang pi-bu itu sendiri, iapun tidak takut. Andaikata kemudian ternyata bahwa ia tidak mampu menandingi orang muda she Sim itu, di sebelahnya masih ada Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi yang tentu tidak akan tinggal diam. Apalagi ketika melihat bahwa yang muncul hanya dua orang penantang itu, Kim Hwa Nio-nio tersenyum mengejek.

“Ha-ha-ha-ha!” Sai-cu Lama tertawa bergelak setelah berhadapan dengan Tiong Khi Hwesio. “Kiranya engkau sampai juga ke sini. Tiong Khi Hwesio, mau apakah engkau jauh-jauh menyusulku dari Tibet, kemudian mengajukan tantangan pi-bu itu?”

Tiong Khi Hwesio memandang tajam kepada lawannya.
“Sai-cu Lama, pinceng berkewajiban untuk menangkapmu karena engkau telah membunuh dua orang pimpinan Lama. Dahulu pinceng merasa kasihan dan membebaskanmu, akan tetapi engkau tidak mengubah kelakuan yang buruk, bahkan menimbulkan kekacauan di mana-mana.”

“Menangkap aku? Ha-ha-ha, jangan sesombong itu, Tiong Khi Hwesio. Dahulupun, setelah berkelahi mati-matian sampai ribuan jurus, baru engkau dapat sedikit mengungguli aku. Akan tetapi sekarang, jangan harap lagi! Aku bahkan akan membunuhmu di sini, ha-ha!”

Berkata demikian, Sai-cu Lama menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkelebat dan berkilat ketika sebatang pedang yang mengandung hawa menyeramkan telah dicabutnya. Itulah Ban-tok-kiam!

“Omitohud, kejahatanmu semakin meningkat saja, Sai-cu Lama. Engkau menggunakan pedang yang kau rampas dari orang lain. Dan justeru karena pedang itulah maka pinceng semakin bersemangat untuk mengejarmu. Selama ini pinceng pantang mempergunakan senjata, akan tetapi sekali ini terpaksa, omitohud,....! “

Dan ketika tangan Tiong Khi Hwesio bergerak ke bawah jubahnya, dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengandung hawa sedemikian menyeramkan sehingga semua orang merasakan ini. Bahkan Sam Kwi sendiri bergidik ketika melihat pedang itu.

Tidak mengherankan karena kini Tiong Khi Hwesio mengeluarkan senjata pusakanya yang selama ini disembunyikannya saja, yaitu pedang pusaka yang bernama Cui-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa)! Pedang pusaka ini dahulu milik seorang datuk sesat seperti iblis yang menjadi penghuni Pulau Neraka bernama Cui-beng Koai-ong (Raja Setan Pengejar Nyawa), sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya dan menjadi lawan yang kuat sekali dari Ban-tok-kiam.

Sementara itu, Kim Hwa Nio-nio sudah berhadapan dengan Sim Houw.
“Hemm, orang muda, engkau berhasil meloloskan diri dan sekarang datang mengantar nyawa, sungguh lucu sekali. Dengan Liong-siauw-kiam di tanganku, bagaimana engkau akan mampu menandingi aku?”

Nenek itu mencabut Liong-siauw-kiam yang dipegangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kebutannya. Sepasang senjata ini memang membuat Kim Hwa Nio-nio menjadi semakin lihai bukan main.

“Senjata pusaka itu milikku dan engkau merampasnya dengan cara licik. Akan tetapi, jangan mengira aku takut menghadapimu, Kim Hwa Nio-nio.”

Berkata demikian, kedua tangan Sim Houw bergerak dan dia telah mengeluarkan sepasang senjata, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang yang juga memiliki sinar yang menyeramkan sekali.

Pedang di tangan kanannya itu bukan lain adalah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman). Mudah saja diduga dari mana Sim Houw memperoleh sepasang senjata ini. Cu Kun Tek telah menyerahkan dan meminjamkan sepasang senjata, yang tadinya memang menjadi milik Sim Houw dan dikembalikannya kepada keluarga Cu itu, kepada pendekar ini, meminjamkannya agar Sim Houw dapat menandingi nenek yang memegang Liong-siauw-kiam.

Seperti juga Sai-cu Lama yang terkejut melihat betapa lawannya mempunyai sebatang pedang pusaka yang kelihataanya ampuh itu, Kim Hwa Nio-nio tercengang melihat lawannya kini memegang sepasang senjata suling emas dan pedang pusaka berkilauan dan memiliki hawa yang demikian menyeramkan. Diam-diam ia merasa jerih dan mengerling ke arah Sam Kwi, sebagai tanda kepada tiga orang sutenya itu agar bersiap-siap membantunya.

“Heh-heh, sudah lama aku mendengar nama Pendekar Suling Naga, dan kesempatan ini takkan kusia-siakan!” kata Iblis Akhirat dan tiba-tiba saja tangannya bergerak. Sinar terang berkelebat meluncur dari tangannya, menyambar ke arah Sim Houw.

Itulah Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut Nyawa), yang secara curang telah dipergunakan oleh Im-kan Kwi, orang pertama dari Sam Kwi itu. Akan tetapi, Sim Houw telah mendengar banyak tertang kelihaian dan kecurangan tiga orang yang dia dapat menduga adalah Sam Kwi ini, maka dia telah bersikap waspada sejak tadi.

Dia dapat menundukkan kepala mengelak dan golok itu terbang di atas kepalanya, lalu kembali kepada pemiliknya! Diam-diam Sim Houw terkejut. Ilmu melempar golok yang hebat, pikirnya, dan berbahaya sekali. Golok yang dapat terbang kembali seperti itu dapat dipergunakan berkali-kali. Dia sudah sering mendengar cerita Bi Lan tentang kehebatan tiga orang iblis ini.

“Hemm, kiranya Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama hanya berani menerima tantangan karena mengandalkan banyak lawan,” kata Sim Houw mengejek.

“Omitohud, sudah pinceng duga bahwa kalian akan bertindak curang. Kalian datang bertujuh, maka sudah sepatutnya kalau kamipun keluar bertujuh!”

Dan kakek ini tiba-tiba saja mengeluarkan suara melengking panjang dan dari balik batu-batu besar bermunculan lima orang yang dengan cepatnya berlari menuju ke padang rumput itu.

Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya cepat memandang. Yang muncul itu lima orang, akan tetapi mereka hanya mengenal seorang di antara mereka, yaitu Bi Lan. Adapun empat orang lainnya adalah Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng! Dua pasang suami isteri inilah yang telah bertemu dengan Tiong Khi Hwesio dan mereka segera diajak berunding untuk bersama-sama menghadapi gerombolan datuk sesat yang menjadi kaki tangan Hou Seng.

Seperti telah kita ketahui, Suma Ceng Liong dan isterinya. Kam Bi Eng yang kematian nenek Teng Siang In dan kehilangan puteri mereka, Suma Lian, tidak sempat mendengar dari Hong Beng, siapa adanya kakek yang menculik puteri mereka ini. Akan tetapi mereka mengenal luka yang diakibatkan oleh pedang Ban-tok-kiam, maka mereka lalu melakukan perjalanan cepat pergi mengunjungi keluarga Kao, yaitu penghuni Istana Gurun Pasir di luar Tembok Besar.

Dari nenek Wan Ceng, mereka mendengar bahwa pedang itu tadinya oleh nenek Wan Ceng dipinjamkan kepada muridnya, yang juga menjadi murid Sam Kwi. Akan tetapi nenek Wan Ceng memperkuat keyakinannya bahwa muridnya itu tidak mungkin melakukan kejahatan, dan ia mengkhawatirkan bahwa pedang itu telah terampas oleh orang jahat dari tangan muridnya.

Setelah mendengar penuturan nenek Wan Ceng tentang pedang Ban-tok-kiam, suami isteri itu kembali ke selatan dan sampai di kota raja. Mereka hendak mengunjungi Kao Cin Liong untuk minta bantuannya, akan tetapi kebetulan sekali Kao Cin Liong dan Suma Hui juga baru saja tiba di kota raja dan mereka bertemu di perjalanan.

Pertemuan mereka yang mengharukan di tengah jalan itu menarik perhatian seorang kakek hwesio yang bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio. Wajah Suma Ceng Liong yang mirip dengan wajah Suma Kian Bu di waktu muda, menarik perhatiannya dan melihat sikap dan gerakan mereka, Tiong Khi Hwesio dapat mengetahui bahwa empat orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka diapun segera menghubungi mereka dan memperkenalkan diri sebagai Tiong Khi Hwesio yang dahulu pernah bernama Wan Tek Hoat.

Tentu saja nama ini amat dikenal oleh Suma Ceng Liong dan Suma Hui, dan mereka lalu mengadakan perundingan. Girang hati Suma Ceng ketika mendengar dari kakek ini bahwa yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam adalah seorang pendeta Lama bernama Sai-cu Lama. Apa lagi setelah mereka berempat itu dipertemukan dengan Hong Beng, Kun Tek dan terutama Bi Lan.

Mereka dapat mendengar secara jelas segala hal mengenai Sam Kwi dan Sai-cu Lama. Dan mereka bersama-sama lalu mengadakan perundingan, dipimpin oleh Tiong Khi Hwesio yang mengatur siasat. Mereka itu merupakan sekelompok kecil anggauta keluarga para pendekar Pulau Es, kecuali Cu Kun Tek dan mereka membagi-bagi tugas.

Melihat munculnya lima orang itu, Sam Kwi, Bi-kwi dan Bhok Gun cepat menyambut mereka. Sesuai dengan tugas mereka, Kao Cin Liong menghadapi Iblis Akhirat, Suma Ceng Liong menghadapi Raja Iblis Hitam, Kam Bi Eng yang sudah siap dengan suling emasnya menghadapi Iblis Mayat Hidup, Bhok Gun dihampiri oleh Suma Hui sedangkan Bi-kwi dihadapi Bi Lan! Kini mereka benar-benar melakukan pi-bu satu lawan satu dan semua ini sudah diperhitungkan oleh keluarga Pulau Es itu!

Sam Kwi yang tidak mengenal lawannya, memandang rendah. Terutama sekali Im-kan Kwi (Iblis Akhirat), orang pertama dari Sam Kwi, ketika melihat majunya seorang laki-laki setengah tua yang tidak begitu mengesankan, memandang rendah. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah Kao Cin Liong, bekas panglima yang amat terkenal di kota raja, putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

“Ha-ha-ha, kalian ini semua sudah bosan hidup, mengantar nyawa untuk mati konyol!”

Berkata demikian, Iblis Akhirat ini membuka perkelahian satu lawan satu itu dengan serangannya yang ganas, yaitu dengan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang) menubruk ke arah Cin Liong.

Melihat lawan maju dan menyerang sembarangan dengan tangan kanan dibarengi pengerahan tenaga sin-kang yang membuat tangan itu berdesing seperti senjata tajam, Cin Liong yang sudah mendengar tentang si cebol ini dari Bi Lan, menyambut dengan tangkisan dan untuk mengadu tenaga, diapun mengerahkan sin-kangnya yang istimewa, pelajaran dari Istana Guruu Pasir.

“Desss....!”

Dan Iblis Akhirat mengeluarkan pekik kaget karena tangkisan itu bukan saja mampu menangkis serangan Kiam-ciang, akan tetapi bahkan dia merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat seperti bertemu dengan baja yang lemas namun kuat sekali.

Dan ternyata Iblis Akhirat tidak menyendiri dalam kekagetannya. Raja Iblis Hitam yang menyerang Ceng Liong, membuka serangan dengan mempergunakan jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, tangan kirinya mencengkeram dan lengannya mulur panjang melewati kepala lawan, lalu dari belakang tubuh lawan, lengan itu membalik dan tangannya mencengkeram ke arah kepala Ceng Liong!

Cucu Pendekar Super Sakti ini sudah mendengar pula dari Bi Lan tentang ilmu kepandaian si Raja Iblis Hitam, bahkan Bi Lan sudah mendemonstrasikan semua ilmu tiga orang gurunya, maka diapun tidak terkejut melihat lengan yang dapat mulur memanjang itu. Dia membalik dan menangkis, mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang.

“Dukk....!”

Dan seperti juga rekannya, Raja Iblis Hitam yang tinggi besar ini mengeluarkan teriakan kaget dan cepat menarik kembali lengan kirinya yang mulur tadi karena tangkisan lawan itu bukan saja membuat pukulannya membalik dan tangannya terpental, akan tetapi seluruh lengannya merasa dingin seperti dimasuki air es! Dia terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar Pulau Es, maka diapun tidak berani main-main lagi.

Sama saja kekejutan yang dialami oleh Iblis Mayat Hidup. Kakek yang seperti tengkorak hidup inipun tadinya memandang ringan kepada Kam Bi Eng, wanita yang masih nampak cantik jelita dalam usianya yang tiga puluh dua tahun itu. Seorang wanita yang hanya bersenjatakan sebatang suling emas! Maka dia ingin menangkap wanita ini hidup-hidup, dan sudah menubruk dengan Ilmu Hun-kin Tok-ciang untuk membikin putus otot kedua pundak lawan dan sekaligus membekuknya. Seperti juga suaminya, Kam Bi Eng sudah mempelajari lebih dahulu ilmu-ilmu dari calon lawannya.