Ads

Kamis, 07 Januari 2016

Suling Naga Jilid 057

Diketahuinya sudah bahwa lawannya ini selain memiliki Sam Kwi Cap-sha-ciang seperti yang lain, juga paling ahli dalam penggunaan Kiam Ciang, dan memiliki ilmu silat yang berbahaya, yaitu Hun-kin Tok ciang. Kini, melihat datangnya serangan, ia mengenal jurus Hun-kin Tok-ciang dan cepat ia sudah memutar sulingnya.

Terdengar suara melengking-lengking dan tahu-tahu lengan kanan Iblis Mayat Hidup sudah tertangkis, sedangkan lengan kirinya tiba-tiba menjadi kejang karena serangannya disambut oleh totokan yang cepat sekali datangnya dari suling yang menangkis lengan kanan tadi, mengenai tepat pada pergelangan tangannya dan membuat lengan itu menjadi kejang. Dia menahan pekiknya akan tetapi melangkah mundur untuk mengurut lengan kirinya, lalu maju lagi menyerang dengan Kiam-ciang, bertubi-tubi dan dengan marah sekali.

Bhok Gun yang dihadapi Suma Hui terkejut bukan main dan segera dia mengerti bahwa wanita ini bukan lawannya! Wanita ini memiliki pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas sekali seperti api, dan ketika menangkis mengenai lengan kirinya ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam lengannya! Hampir saja dia melepaskan pedangnya, dan dia cepat melompat mundur dengan mata terbelalak. Suma Hui tersenyum mengejek dan ialah yang kini menerjang mendesak lawannya cepat memutar pedangnya melindungi tubuh.

Bi-kwi seoranglah yang agaknya menemukan tandingan yang seimbang. Akan tetapi ia menjadi semakin penasaran saja karena semua serangannya terhadap Bi Lan atau Siauw-kwi yang ketika kecil menjadi muridnya ini, dapat dihindarkan oleh Bi Lan, bahkan Bi Lan membalas dengan tidak kalah sengitnya!

Dua orang ini, ketika mempergunakan ilmu silat dari Sam Kwi, nampaknya seperti orang berlatih saja karena gerakan mereka sama, dan kelincahan mereka berimbang. Bi-kwi menjadi semakin penasaran dan sambil mencoba untuk mendesak sumoinya, ia berteriak-teriak memaki dan menghina, disambut oleh Bi Lan sambil tersenyum saja.

Memang ialah yang minta kepada Tiong Khi Hwesio agar diperbolehkan menghadapi sucinya, karena ia sudah hafal akan semua ilmu sucinya, dan iapun tahu bagaimana caranya untuk menghadapi dan melawannya. Ada sedikit kelebihan pada diri Bi-kwi, yaitu ia lebih matang dalam hal ilmu-ilmu dari Sam Kwi dibandingkan sumoinya. Akan tetapi kekurangan Bi Lan ini tertutup oleh ilmu-ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang pernah dilatihnya, bahkan ilmu-ilmu ini akan membuat Bi-kwi bingung kalau dikeluarkan oleh Bi Lan.

Sementara itu, Kim Hwa Nio-nio sudah terlibat dalam perkelahian yang amat hebat dan seru melawan Sim Houw. Liong-siauw-kiam di tangan nenek itu memang membuatnya semakin lihai. Kebutan di tangan kirinya itu sudah berbahaya sekali, ujung bulu kebutan yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku seperti batangan-batangan baja itu menyambar-nyambar ganas dan setiap ujung bulu kebutan itu dapat menghancurkan otot atau jalan darah dapat ditotoknya. Ini semua masih ditambah lagi dengan pedang suling yang menyambar-nyambar seperti seekor naga.

Akan tetapi, dalam hal penggunaan Liong-siauw-kiam ini, nenek Kim Hwa Nio-nio hanya dapat memanfaatkan ketajamannya saja, dan lubang-lubang pada pedang itu hanya mengeluarkan suara mendengung panjang, tidak seperti kalau Sim Houw yang memainkannya. Biarpun demikian, karena pedang suling itu bekerja sama dengan kebutan, nenek itu benar-benar merupakan lawan yang berbahaya dan kuat sekali.

Namun, Sim Houw telah mempergunakan sepasang senjata yang memang menjadi senjata istimewanya sebelum dia memiliki pedang suling. Kini pedang di tangan kanannya berkelebatan dan mengaung-ngaung seperti seekor naga mengamuk, sedangkan suling emas di tangan kiri mengeluarkan suara melengking-lengking, lebih kuat malah dari pada lengking suara suling yang keluar dari suling emas di tangan Kam Bi Eng, sumoinya yang menghadapi Iblis Mayat Hidup, seorang di antara Sam Kwi. Dan dengan sepasang senjata yang ampuh ini, Sim Houw dapat menandingi dan mengimbangi permainan sepasang senjata Kim Hwa Nio-nio sehingga mereka terlibat dalam pertandingan yang amat seru.

Perkelahian antara Sai-cu Lama dan Tiong Khi Hwesio agaknya merupakan perkelahian yang paling hebat di antara mereka. Dua orang kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, dan keduanya memiliki tenaga sin-kang yang sudah matang, juga pengalaman berkelahi puluhan tahun lamanya. Lebih lagi, kini keduanya mempergunakan pedang pusaka yang amat ampuh dan baru sinar pedangnya saja sudah cukup untuk menggentarkan hati lawan.

Kalau tadinya Sai-cu Lama mengandalkan keampuhan Ban-tok-kiam sehingga dengan senjata ampuh itu dia dapat menebus kekalahannya yang sedikit dari Tiong Khi Hwesio, kini harapannya itu kandas.

Ternyata pedang pusaka di tangan lawan itu tidak kalah ampuhnya, bahkan kini Tiong Khi Hwesio memainkan ilmu pedang yang amat aneh dari Pulau Neraka, membuat Sai-cu Lama repot dan harus melindungi diri kuat-kuat. Dengan demikian, dia mulai terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Beratlah melawan kakek yang menggunakan pedang Cui-beng-kiam dengan Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan didasari dengan tenaga Inti Bumi, semacam sin-kang yang hebat dari Pulau Neraka.

Hebat bukan main perkelahian yang terjadi di luar hutan, di padang rumput yang sunyi itu. Yang terdengar adalah sambaran-sambaran senjata yang berdesingan, bentrokan-bentrokan senjata dan teriakan-teriakan yang mengiringi suatu serangan.

Akan tetapi lebih-lebih dari itu semua, dua suara suling melengking-lengking seperti ditiup terdengar, yaitu dari suling emas yang digerakkan oleh Kam Bi Eng dan yang digerakkan oleh Sim Houw. Biarpun Kam Bi Eng adalah puteri Pendekar Suling Emas Kam Hong, namun dalam hal memainkan suling emas, ia masih kalah matang dibandingkan suhengnya, Sim Houw.

Dua batang suling yang berkelebatan seperti naga itu selain mengeluarkan hawa pukulan yang hebat, mengintai nyawa lawan, juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup dan dimainkan saja.

Yang paling repot di antara gerombolan datuk sesat itu adalah Bhok Gun. Dia diserang dan didesak oleh Suma Hui yang kini sudah mengeluarkan senjatanya pula, yaitu sepasang pedang! Padahal tadi, dengan kedua tangan kosong saja ia masih mampu mengatasi pedang lawan. Karena jengkel tak dapat segera mengalahkan lawan, Suma Hui telah mencabut sepasang pedangnya dan kini ia mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang luar biasa ganasnya. Bhok Gun terkejut dan dia terus didesak mundur oleh lawan. Hal ini sungguh sama sekali di luar perhitungan Bhok Gun.

Ketika berangkat, Kim Hwa Nio-nio begitu yakin bahwa mereka bertujuh akan mampu mengalahkan lawan tanpa perlu bantuan pasukan. Akan tetapi sekarang, ternyata mereka menghadapi tujuh orang lawan yang demikian tangguhnya sehingga mereka semua terdesak.

Maka, Bhok Gun segera mengeluarkan suara teriakan tiga kali. Mendengar ini, Kim Hwa Nio-nio yang juga terdesak dan maklum bahwa dari teman-temannya ia tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka sendiripun terdesak, segera bersuit tiga kali.

Teriakan Bhok Gun dan suitan gurunya itu merupakan isyarat bagi pasukan yang bersembunyi di dalam hutan untuk bergerak. Terdengar sorak-sorai dan seratus duapuluh orang perajurit keluar dari dalam hutan menuju ke padang rumput. Akan tetapi, pada saat itu, nampak seorang laki-laki tinggi besar berlari-lari mendahului para perajurit ke arah padang rumput dan di belakangnya ikut berlari Hong Beng dan Kun Tek!






Ketika tiba di dekat padang rumput, panglima itu dibawa meloncat oleh Hong Beng ke atas sebuah batu besar. Panglima itu mengeluarkan sebuah sempritan dari saku bajunya dan meniup alat ini berkali-kali. Mendengar itu, para perajurit menahan langkah mereka dan hanya mengurung tempat perkelahian itu, dan semua perajurit itu memandang ke arah orang berpakaian panglima itu dengan bingung.

“Berhenti di tempat! Dilarang bergerak mencampuri perkelahian!”

Mendengar teriakan ini, tentu saja para perajurit tidak berani bergerak. Yang mengeluarkan perintah itu adalah Coa-ciangkun, komandan mereka sendiri! Ketika tadi mereka membuat persiapan di dalam hutan, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dari masing-masing kelompok mempunyai seorang perwira atau kepala kelompok.

Dan kini, para kepala kelompok itu sendiri menjadi bingung dan cepat memberi aba-aba agar anak buahnya jangan bergerak. Mereka terkejut dan merasa heran akan perintah dari komandan mereka itu.
Tentu saja Kim Hwa Nio-nio menjadi lebih kaget lagi.
“Coa-ciangkun, cepat bergerak menangkap pemberontak-pemberontak ini!” teriaknya sambil terus memutar sepasang senjatanya melindungi tubuhnya dari desakan Sim Houw.

“Kim Hwa Nio-nio, kami tidak melihat adanya seorangpun pemberontak. Mereka adalah para pendekar, keluarga dari para pendekar Pulau Es! Karena perkelahian ini adalah urusan pribadi dan tidak menyangkut pemerintah, kami tidak mau campur tangan. Seluruh pasukan mundur.!“

Sempritan itu ditiupnya beberapa kali sebagai isyarat agar pasukannya mundur. Para perwira juga cepat memberi aba-aba dan pasukan itupun mundur kembali ke dalam hutan!

Semua ini adalah hasil rencana yang matang dari Tiong Khi Hwesio. Dia dapat menduga bahwa orang-orang licik seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, untuk mencari kemenangan, tentu bukan hanya membawa semua temannya, melainkan juga mengandalkan bantuan pasukan pemerintah.

Perhitungannya itu tepat ketika pagi hari itu, para pendekar melihat masuknya pasukan yang seratus orang lebih besarnya ke dalam hutan dengan cara sembunyi. Mereka itu agaknya keluar dari pintu gerbang timur, lalu mengambil jalan memutar ke utara dan memasuki hutan itu dari timur. Melihat ini, Hong Beng dan Kun Tek segera melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Tiong Khi Hwesio kepada mereka berdua.

Dua orang pendekar muda ini menyusup ke dalam hutan, mendekati tempat persembunyian para perajurit. Ketika mereka melihat betapa Coa-cianqkun sedang memberi perintah dan keterangan dan perintah kepada para pembantunya, mereka hanya mengintai saja.

Sampai Coa-ciangkun selesai memberi perintah pasukan itu dibagi menjadi enam kelompok, masing-masing dikepalai oleh seorang perwira, dan panglima itu mengundurkan diri beristirahat ke dalam sebuah pondok darurat yang dibuat oleh anak buahnya, barulah mereka berdua turun tangan.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mudah saja bagi Hong Beng dan Kun Tek untuk menyergap dan membuat para perajurit yang berjaga di belakang pondok tiba-tiba saja roboh pingsan tanpa mengetahui apa yang menimpa diri mereka. Totokan-totokan yang dilakukan dua orang pendekar itu membuat enam orang perajurit roboh terkulai dan seperti orang tidur saja. Mereka lalu membongkar dinding belakang pondok darurat itu dan masuk ke dalam.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Coa-ciangkun ketika tiba-tiba ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan pembaringannya selagi dia beristirahat. Sebelum dia sempat berteriak, Kun Tek sudah menodongkan sebatang pisau belati ke arah dada pembesar militer itu dan Hong Beng cepat menotok urat gagunya dan membuat tubuh pembesar itu lemas.

Kemudian, dua orang pemuda itu membawa tubuh Coa-ciangkun keluar pondok melalui pintu belakang, dan terus membawanya jauh ke dalam hutan, tempat yang memang sudah mereka persiapkan. Di tempat sunyi ini, Hong Beng membebaskan totokannya sehingga panglima itu dapat bergerak dan bicara kembali.

“Maafkan kami, Coa-ciangkun, akan tetapi kami terpaksa melakukan hal ini terhadap ciangkun, karena kami sedang menghadapi fitnah yang dilakukan oleh Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama bersama kawan-kawan mereka!”

Setelah merasa dirinya bebas dan dua orang pemuda itu tidak menodongnya lagi, Panglima Coa marah sekali. Dia bukan orang lemah, bahkan orang yang memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada Hong Beng. Pemuda ini tidak mengelak, melainkan menerima pukulan itu begitu saja.

“Bukk....!”

Bukan pemuda itu yang roboh, melainkan panglima itu terkejut dan berseru keras sambil meloncat ke belakang. Ketika tangannya bertemu dada pemuda itu, dia merasa tangannya sakit dan ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam tubuhnya melalui tangan yang memukul!

“Siapa.... siapa kalian....?” bentaknya, “dan.... apa maksud kalian berbuat kurang ajar seperti ini terhadap aku?”

“Maaf, ciangkun. Harap suka dengarkan dulu baik-baik. Kami tujuh orang adalah pendekar-pendekar yang melihat betapa ada sekelompok datuk kaum sesat kini merajalela di kota raja. Mereka adalah Kim Hwa Nio-nio, Sai-cu Lama, Sam Kwi dan yang lain-lain. Kami harus menentang mereka dan hari ini kami menantang mereka mengadakan pi-bu di luar hutan ini. Akan tetapi kami tahu bahwa tentu orang-orang sesat itu menggunakan akal jahat, menarik pasukan pemerintah untuk campur tangan dengan tuduhan bahwa kami pemberontak-pemberontak. Karena itu terpaksa kami mendahului, mendatangi ciangkun untuk memperkenalkan diri dan menceritakan hal yang sebenarnya."

Coa-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang korup dan ambisius, dan karena inilah maka mudah saja dia diperalat oleh Hou Seng. Tentu saja dia mengerti bahwa Hou Seng mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk memperkuat kedudukan. Hal itu tidak dia perdulikan karena dianggap bukan urusannya. Yang penting baginya, dia memperoleh banyak hadiah dan janji bahwa kelak kedudukannya akan dinaikkan kalau dia membantu Hou Taijin yang sedang berkembang kekuasaannya itu. Oleh karena itu, mendengar ucapan Hong Beng, dia tidak merasa heran, bahkan memandang dengan sikap tidak perduli, bahkan dia mencurigai Hong Beng.

“Orang muda, mana aku tahu bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan pemberontak-pemberontak. Aku hanya mendengar laporan bahwa ada pemberontak-pemberontak sedang hendak ditangkap oleh Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya, maka aku hendak menangkap mereka dengan kekuatan pasukanku.”

“Tentu saja ciangkun juga sudah kena dikelabuhi. Tahukah ciangkun bahwa kami bertujuh dipimpin oleh seorang hwesio tua?”

“Ya, menurut laporan, para pemberontak ini dipimpin oleh seorang hwesio tua yang bernama Tiong Khi Hwesio”

“Hemmm, ciangkun adalah seorang panglima yang sudah lama bertugas, tentu mengenal pula catatan sejarah dan riwayat para panglima besar di kota raja yang setia kepada kaisar dan pemerintah. Tentu ciangkun pernah pula mendengar nama Puteri Milana, bukan? Apakah ciangkun mau berpura-pura tidak mengenal puteri dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu? Dan kenalkah akan nama Puteri Nirahai?”

Coa-ciangkun menelan ludah dan mukanya berubah ketika dia menatap wajah pemuda itu.
“Tentu.... tentu aku mengenal nama Puteri Nirahai dan.... ketika masih muda sekali pernah aku melihat Puteri Milana memimpin pasukan. Gagah sekali akan tetapi apa hubungannya dengan ini semua?”

“Sabarlah, ciangkun dan dengarkan ceritaku. Ciangkun tahu bahwa yang memimpin kami bertujuh adalah Tiong Khi Hwesio dan hwesio tua itu bukan lain adalah Pendekar Tangan Maut Wan Tek Hoat, cucu tiri Pendekar Supert Sakti, suami Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”

“Ahh....!” panglima itu terkejut.

“Nah, apakah ciangkun masih percaya bahwa tujuh orang yang dipimpin oleh pendekar Wan Tek Hoat yang kini telah menjadi seorang pendeta itu, para pendekar budiman dan gagah perkasa itu benar-benar hendak memberontak? Tujuh orang memberontak? Apakah itu masuk di akal?”

Panglima itu mulai merasa bimbang.
“Aku.... aku tidak tahu....”

“Dan ketahuilah pula, bahwa di antara kami yang dianggap pemberontak ini, terdapat pula bekas Panglima Kao Cin Liong! Tentu ciangkun belum lupa akan nama besarnya.!”

Panglima Coa menjadi semakin gelisah. Tentu saja dia mengenal Kao Cin Liong yang sudah lama mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi Panglima Kao itu terkenal jujur dan bersih sehingga tidak disuka di antara rekan-rekannya.

“Dan mereka semua, ketujuh orang yang akan mengadakan pi-bu dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, semua adalah anggauta keluarga Pulau Es.”

“Hemm, engkau sendiri agaknya seorang di antara mereka dari Pulau Es, bukan?”

Panglima itu bertanya. Hong Beng mengangguk. Memang tadi dia sengaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kekuatan Soat-im Sin-kang dari Pulau Es.

“Guru saya adalah cucu dari Pendekar Pulau Es, ciangkun.”

“Hemm, kalau begitu, apa yang kalian kehendaki?”

“Kami mengharap kebijaksanaan Coa-ciangkun agar menarik mundur pasukan, agar tidak mencampuri pi-bu antara kami dan para datuk sesat itu.”

Coa-ciangkun mengerutkan alisnya. Mana mungkin hal ini dilakukan? Kalau dia melakukan hal itu, tentu Hou Seng akan marah kepadanya. Bukankah Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya itu merupakan para pembantu yang amat dipercaya oleh Hou Taijin? Dia menggeleng kepala beberapa kali.

“Tidak mungkin aku melakukan hal itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi pemberontak. Kalau aku tidak setia kepada kewajibanku, berarti aku berdosa besar dan mendapat hukuman.”

Hong Beng mengerutkan alisnya dan mencoba membantah.
“Akan tetapi, ciangkun sama sekali tidak dapat melihat bukti bahwa kami memberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang para datuk kaum sesat yang merajalela di kota raja!”

“Aku tidak tahu akan hal itu. Mereka itu adalah pembantu-pembantu Hou Taijin.“

Tahulah Hong Beng bahwa panglima ini sudah menjadi antek Hou Taijin, maka dia segera berkata dengan nada suara tegas.

“Kalau ciangkun tidak mau memenuhi permintaan kami dengan baik, terpaksa kami akan membunuh ciangkun!”

“Hong Beng, bunuh saja dia ini! Dia tentu antek Hou Seng dan merencanakan pemberontakan terhadap kaisar!” Kun Tek juga berkata dengan sikap mengancam.

Orang seperti Panglima Coa ini hanya galak terhadap bawahannya atau terhadap rakyat jelata yang tidak mampu melawan saja. Kalau dia sendiri menghadapi ancaman dan berada dalam keadaan tak berdaya, kekuasaan dan anak buahnya tidak lagi mampu melindunginya, dia berubah menjadi seorang penakut dan pengecut.

Orang yang paling kejam sebetulnya adalah orang yang menyembunyikan rasa takut yang besar sekali di dalam batinnya. Melihat betapa dua orang pemuda yang dia tahu amat lihai ini bersikap hendak membunuhnya, Coa-ciangkun menjadi ketakutan. Wajahnya berubah pucat dan tubuhnya gemetar.

“Jangan kira kami akan kalah kalau kau tidak mau memenuhi permintaan kami!” bentak Hong Beng. “Kami dapat membunuhmu, kemudian kami masih mempunyai waktu cukup untuk membunuh enam orang perwira pembantu itu, baru kami akan mengamuk membunuhi pasukan yang tentu akan kacau karena kehilangan pimpinan itu. Kami tidak melakukan hal itu, justeru karena kami bukan pemberontak dan kami tidak mau menyusahkan pasukan pemerintah. Nah, cepat kau pilih sekarang juga!”

Ucapan itu merupakan desakan yang membuat Coa-ciangkun tidak berdaya lagi. Dia tahu bahwa orang-orang kang-ouw ini berbahaya sekali. Membunuh atau dibunuh bagi mereka tidak ada artinya, seperti para perajurit yang maju perang.

“Baiklah.”

Akhirnya dia berkata sambil menundukkan muka, seperti tunduknya hati yang sudah tidak mampu mencari jalan keluar lagi. Dia terpaksa melakukan ini, dan tentang akibatnya dengan Hou Taijin, itu urusan nanti dan dia baru akan mencari jalan keluarnya kalau saatnya sudah tiba.

Demikianlah, Hong Beng dan Kun Tek lalu membawa pembesar militer itu mendekati padang rumput, sambil bersembunyi. Ternyata perkelahian pibu itu sudah dimulai dan ketika Bhok Gun dan Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat kepada pasukan yang bergerak maju, dua orang pendekar muda itu lalu membawa Coa-ciangkun keluar. Karena terpaksa, Coa-ciangkun meneriakkan perintahnya agar pasukannya itu tidak bergerak lalu mengundurkan diri.

Tentu saja peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangka-sangka oleh Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Mereka terkejut bukan main dan sekaligus menjadi gelisah. Pasukan itu mundur ke dalam hutan dan mereka tidak terlindung pasukan lagi! Padahal, mereka semua terdesak dengan hebat oleh pihak lawan.

“Coa-ciangkun, engkau akan dihukum gantung oleh Hou Taijin atas perbuatanmu ini.!”

Kim Hwa Nio-nio berteriak marah, akan tetapi kemarahannya yang ditujukan kepada Coa-ciangkun inilah yang mencelakakannya. Ia sudah terdesak hebat oleh suling dan pedang di tangan Sim Houw, dan karena ia marah-marah dan meneriakkan kata-kata itu kepada Coa-ciangkun sambil menoleh ke arah batu besar di mana panglima itu berdiri, berarti dia membagi perhatiannya, dan kelengahan sedikit saja membuat Sim Houw melihat lowongan yang baik sekali.

“Singgg.... srattt....!”

Darah muncrat dan Kim Hwa Nio-nio terpekik, Liong-siauw-kiam terlepas dari tangan kanannya dan Sim Houw sudah cepat menyambar pedang pusaka itu dengan suling emasnya. Pedang pusaka itu dapat ditempel suling dan ditariknya, lalu dipegangnya dengan tangan kiri sambil menyimpan suling emas.

Kim Hwa Nio-nio terbelalak melihat lengan kanannya. Ujung pedang Koai-liong Po-kiam tadi dengan kecepatan seperti kilat melihat lowongan dan sudah menyambar ke arah lengan kanan, membuat putus urat nadi lengan kanannya sehingga darahnya muncrat-muncrat keluar.

Kim Hwa Nio-nio menotok lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah, kemudian sambil mengeluarkan teriakan melengking saking marahnya, ia menggunakan kebutan di tangan kiri untuk menyerang Sim Houw dengan membabi-buta. Akan tetapi, kalau tadi saja ketika ia masih menggunakan dua senjata, ia selalu terdesak oleh Sim Houw, apalagi sekarang setelah lengan kanannya tak dapat dipergunakan lagi untuk menyerang!

Dengan mudah saja Sim Houw mengelak, lalu nampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika Koai-liong Po-kiam meluncur dan membabat. Nampak bulu-bulu kebutan itu berhamburan karena terbabat putus dan selagi nenek itu terhuyung, Liong-siauw-kiam sudah bergerak di tangan kiri Sim Houw.

“Tukk....! “

Nampaknya ujung Liong-siauw-kiam itu hanya menyentuh sedikit saja belakang kepala nenek itu sebelah kiri, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Nenek Kim Hwa Nio-nio mengeluarkan jeritan mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, dan tubuh itu diam tak bergerak lagi.

Kiranya ujung pedang pusaka Suling Naga itu telah membikin retak bagian kepala itu dan merusak isi kepala sehingga nenek itupun tewas seketika setelah mengeluarkan jeritan itu. Kebutan buntungnya masih tergenggam di tangan kirinya. Nenek ini, bagaimanapun juga tewas sebagai seorang gagah, tak pernah menyerah sampai maut merenggut nyawanya.

Jeritan nenek yang mengantar nyawanya itu disusul pekik yang keluar dari mulut Bhok Gun. Sejak tadi, diantara tujuh orang di masing-masing pihak, Bhok gun yang paling repot keadaannya. Tingkat kepandaian lawan, yaitu Suma Hui, masih lebih tinggi dengan selisih yang lumayan, maka sejak bentrok pertama kali, Bhok Gun selalu terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang.

Ketika mendengar teriakan Coa-ciangkun yang memerintahkan pasukannya mundur, wajahnya menjadi pucat sekali dan jeritan gurunya benar-benar merupakan pukulan hebat baginya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan dia tak mampu lagi menghindarkan benturan pedangnya dengan pedang kiri Suma Hui yang membuat pedangnya menyeleweng dan terpental, kemudian tahu-tahu pedang kanan lawan telah menembus dadanya. Dengan teriakan panjang diapun roboh dan nyawanya melayang, menyusul nyawa subonya.

Kematian dua orang ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak tenang dan gelisah dalam dada Bi Kwi, Sam Kwi dan bahkan Sai-cu Lama sendiri. Diantara mereka, hanya Sai-cu Lama dan Bi Kwi yang dapat mengimbangi permainan lawan, sedangkan tiga orang Sam Kwi itu harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang sakti dan mereka merasakan betapa beratnya menandingi mereka.

“Sai-cu Lama, kembalikan Ban-tok-kiam milik keluarga Gurun Pasir itu!”

Sim Houw yang sudah mengembalikan pedang dan suling kepada Kun Tek kini maju menerjang Sai-cu Lama dengan Liong-siauw-kiam, membantu Tiong Khi Hwesio. Diserang oleh senjata pusaka itu dari samping, Sai-cu Lama terkejut karena serangan dengan pedang pusaka itu selain mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring seolah-olah ada suling ditiup dekat telinganya dan mengguncang jantungnya.

Suara itupun mengandung khi-kang yang amat hebat! Dia cepat menggerakkan Ban-tok-kiam menangkis.

“Cringgg....!” Nampak bunga api berhamburan ketika Ban-tok-kiam bertemu dengan Liong-siauw-kiam.

“Bagus! Kalian ini pendekar macam apa? Main keroyok!”

Bentak Sai-cu Lama dengan sikap congkak, untuk menutupi kegelisahannya, matanya sudah liar mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri.

“Ingat, Sai-cu Lama. Yang melakukan tantangan adalah aku dan locianpwe Tiong Khi Hwesio terhadap Kim Hwa Nio-nio dan engkau, jadi boleh saja aku maju melawanmu dan membantu locianpwe ini karena lawanku sudah tewas.” Dan Sim Houw melanjutkan serangannya.

“Omitohud...., memang sudah tiba saatnya engkau harus menyerah Sai-cu Lama. Ucapan Pendekar Suling Naga itu benar, dan pinceng tidak malu harus mengeroyokmu agar engkau cepat takluk!”

Tiong Khi Hwesio juga menyerang dengan pedang pusakanya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu. Hwesio tua ini maklum bahwa andaikata dia akan menangpun, akan makan waktu banyak sekali untuk menundukkan Lama yang menyerang dengan Ban-tok-kiam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar muda sakti seperti Sim Houw itu maju membantunya, pihak lawan tentu takkan dapat bertahan lama.

Sai-cu Lama tidak melihat adanya lowongan untuk melarikan diri. Melarikan diri dari dua orang lawan yang sakti itu berarti bunuh diri, maka diapun mengamuk dan melawan mati-matian dan sekuat tenaga. Tentu saja dia harus bergerak lebih cepat dan menyalurkan tenaga lebih banyak dari pada dua orang yang mengeroyoknya dan karena itu, sebentar saja tubuhnya sudah penuh keringat, napasnya memburu dan dari kepalanya yang gundul itu keluar uap tebal!

Setelah merobohkan lawannya, Suma Hui membalikkan tubuh dan melihat betapa suaminya, Kao Cin Liong masih terlibat dalam perkelahian yang amat seru melawan kakek cebol Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat, wanita yang gagah ini mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia pun menerjang ke dalam perkelahian itu.

“Haiiiittt....!”

Sepasang pedang di tangannya sudah berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang menyambar-nyambar ke arah kepala dan tubuh Iblis Akhirat. Tentu saja orang pertama dari Sam Kwi ini terkejut bukan main. Menghadapi Kao Cin Liong saja dia sudah merasa repot dan terdesak terus, makin lama dia merasa tubuhnya semakin lemah dan lelah sedangkan lawannya nampak masih segar.

Kini, isteri lawannya yang memainkan sepasang pedang dengan amat ganasnya, ikut maju mengeroyok! Tentu saja dia menjadi panik dan gerakannya kacau. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kao Cin Liong utuk mengirim sebuah tendangan ke arah perut kakek cebol itu.

“Dukkk....!”

Iblis Akhirat yang juga seorang ahli tendang Pat-hong-twi, berhasil menangkis tendangan itu dengan kakinya, akan tetapi pada detik yang sama, pedang di tangan kiri Suma Hui “masuk” dan menyayat paha kakinya.