Ads

Kamis, 07 Januari 2016

Suling Naga Jilid 060

Wanita itu menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di tepi jalan yang sunyi itu. Sudah berjam-jam ia menangis seorang diri, pundaknya terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan.

Ia seorang wanita yang cantik, usianya tigapuluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lantai, nampak sebuah pedang dalam sarung pedang yang indah. Ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi.

Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai. Akan tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu, nampak betapa bagaimanapun juga, ia hanya seorang perempuan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan perlindungan!

Wanita itu adalah Ciong Siu Kwi atau yang dikenal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik). Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari pertempuran itu dengan selamat.

Sekutunya telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam pertempuran melawan para pendekar. Guru-gurunya, Sam Kwi, tewas semua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, tewas. Demikian pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio tewas di tangan para pendekar.

“Uuhhhh....hu-hu-huhhh....!”

Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak. Ia bukan menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimanapun juga, permainan cintanya dengan Bhok Gun hanya merupakan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapapun juga, ia wanita ini belum pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga memperlakukan sebagai kekasih.

Cinta kasih tidak mendatangkan duka. Cinta kasih tidak membelenggu batin. Cinta kasih itu bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan segala yang berada dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Sebaliknya, nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu.

Dan tentu saja menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergantungan. Kita menggantungkan kesenangan batin terhadap sesuatu atau seseorang dan kalau gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka. Ikatan itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda, kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka menggantungkan diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran.

Pikiran menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke dalam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi dan pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan.

Siu Kwi tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya terhadap mereka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat lain.

Akan tetapi, yang menimbulkan duka adalah hancurnya semua cita-citanya. Habislah segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kecewa dan iba diri membuatnya berduka sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa hampa, kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa kesepian yang mengerikan mencekam hatinya.

Apalagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoinya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang membimbing dan melatihnya sejak awal. Bahkan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat.

Membanding-bandingkan keadaan dirinya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!

Penilaian secara otomatis menimbulkan perbandingan keadaan diri sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidak puasan, bahkan putus harapan. Kita selalu merasa kurang, selalu merasa betapa buruk keadaan kita karena kita menilai dan membandingkan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pikiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara baik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa penilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini!

Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri?

Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru.

Mengapa hidµpnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa ia seakan-akan dikutuk? Ketika hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan tangisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu. Nalurinya membisikkan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penyelewengan dan kejahatan.






Sebagai manusia, tentu saja ia mempunyai kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilakukannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatangkan kesenangan, ia tidak perduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu malapetaka yang menimpa diri, timbul penyesalan! Walaupun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertaubat, melakukan lebih condong menyesali kegagalan atau malapetaka itu!

Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menyesal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengubah cara hidupnya, meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jalan yang ditempuh oleh sumoinya. Akan tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil? Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayanya dan mau menerimanya.

Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang.

Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita. Kalau kita TAHU bahwa kita berbuat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyembunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan!

Sebaliknya, tahu tentang kejahatan disertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu membuahkan keburukan dan kerugian kepada kita. Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengetahuan bahwa hal itu akan mencelakakan kita sendiri. Jelaslah bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini dapat mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabaikan pengetahuan tentang baik dan jahat. Akan tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir.

Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apapun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih! Jika ada sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, segala perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, seperti matahari menyinarkan cahayanya, seperti bunga menyiarkan keharuman dan keindahannya, seperti ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!

Ketika Siu Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul pula keinginan untuk mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kesesatannya, tiba-tiba ia mendengar suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, kadang-kadang tersendat suaranya seperti tertahan sesuatu, dan lagunyapun lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja.

“Alangkah cantiknya duniaku!
Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal
Itulah atap rumahku!
Pohon-pohon berdaun hijau
berbunga aneka warna
Itulah dinding rumahku!
Tanah segar dengan babut rumput hijau
Itulah lantai rumahku....!”

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan keaslian dalam suara itu. Kewajaran yang indah walaupun isi nyanyian itu teramat sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya tentulah berada dalam kebahagiaan.

Siu Kwi yang tadi merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian.

Suara itu masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu akan tetapi tidak menjemukan, seperti suara burung-burung pagi berkicau dengan riang. Ia bangkit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang awut-awutan dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi karena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pondok tua dan berjalan menuju ke arah suara nyanyian.

Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih nampak di kedua pipinya. Matanya masih kemerahan dan agak membengkak. Isaknya kadang-kadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan perlahan ke arah suara.

Pria itu berusia antara duapuluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak ketika kedua lengannya mengayun cangkul. Tubuh yang tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh kejantanan.

Pria itu mencangkul tanah berlumpur sambil bernyanyi, suara nyanyiannya kadang-kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah basah di depan kakinya. Bunyi “crok-crok!” cangkulnya seirama dengan nyanyiannya dan agaknya suara itu menjadi pengiring nyanyiannya yang sederhana.

Pria itu memusatkan perhatiannya dengan sepenuhnya kepada tanah yang dicangkulnya dan ini merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau menyeleweng, ke arah kakinya sendiri.

Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu, yalah rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang mendatangkan ketekunan, mendatangkan pencurahan perhatian, sepenuhnya. Dan sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu : melakukan segala pekkerjaan dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan! Dan kalau sudah begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di dalam pekerjaan itu sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar. Adapun hasil pekerjaan itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan buah dari pada pohon yang kita tanam.

Siu Kwi memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, mengikuti setiap gerak kaki tangannya. Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang bekerja kasar, apalagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu! Seorang pria yang tentu saja tidak terpelajar, bodoh dan juga lemah, hanya memiliki tenaga kasar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama sekali acuh, menengokpun tidak sudi. Akan tetapi sekarang, ia terpesona!

Ada keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana, tubuhnya yang tegap, nyanyiannya, semua itu nampak begitu riang dan cerah, seperti burung yang berkicau sambil berlompatan dari dahan ke dahan, seperti sinar matahari pagi itu. Ah, dia tentu seorang yang berbahagia, pikir Siu Kwi. Dan iapun ingin sekali tahu. Bagaimana ia akan bisa memperoleh kebahagiaan? Bagaimana pula pria petani sederhana ini dapat hidup demikian bahagia, walaupun bergelimang kesederhanaan, lumpur kotor dan mungkin kemiskinan? Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh hanya seorang petani biasa!

Siu Kwi melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang mencangkul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, padahal jarak antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.

“Heii, bung! Aku ingin bertanya sedikit padamu.”

Akhirnya Siu Kwi berkata dan biarpun tidak ada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, karena sudah menjadi kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak.

Pria petani itu nampak terkejut. Tak disangkanya akan ada seorang wanita datang menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan.

Tentu saja, melihat seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di depannya dan mengajak dia bicara, merupakan suatu pengalaman yang amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu. Tentu saja dia menjadi bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban.

Siu Kwi mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak. Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.

“Heii, bung! Apakah engkau tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak dapat menjawab?”

Barulah pemuda petani itu nampak semakin gugup. Ia menurunkan cangkulnya, demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli dan tanpa disadarinya, wanita itu tersenyum lebar dan iapun tidak sadar betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.

“Uh, maaf....!” kata pemuda itu, mencoba untuk membungkuk sebagai tanda penghormatan.

“Nyonya.... eh, nona.... tadi bertanya apakah?”

Sikap yang canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati Siu Kwi.

“Aku belum bertanya,” jawabnya, “akan tetapi aku ingin bertanya sedikit padamu dan maafkan kalau aku mengganggu pekerjaanmu.”

Siu Kwi merasa heran sendiri mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah mendengar suara orang lain bicara melalui dirinya. Belum pernah ia se “ramah” dan se “sopan” ini terhadap orang lain, apalagi hanya seorang pria petani. Pemuda itu tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau menanyakan dusun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab,

“Boleh saja kalau nona mau bertanya. Apakah yang nona tanyakan?”

“Yang ingin kutanyakan adalah : Apakah engkau berbahagia?”

Petani muda itu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya dia akan menerima pertanyaan seperti itu.

“Apa....? Ehh....... aku....? Bahagia? Ah, aku tidak tahu, nona.”

Pemuda ini terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin.

“Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu berbahagia!”

Akan tetapi pemuda itu tidak yakin.
“Bahagia? Apa sih bahagia itu, nona?”

Kini Siu Kwi yang bengong. Apa sih bahagia itu?
“Bahagia.... ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai.”

Pemuda itu mengangguk-angguk.
“Itukah yang dinamakan bahagia?”

“Begitulah.... atau mungkin aku keliru, entahlah.”

Pemuda itu memandang bingung.
“Bagaimana pula ini? Kalau nona sendiri tidak tahu dengan jelas, apalagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan akupun tidak membutuhkan kebahagiaan itu.”

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda sederhana ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia, karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya.

Pemuda itu berbahagia di dalam kesederhanaannya, berbahagia karena tidak butuh bahagia lagi. Dan ia yang berduka, merasa ditinggalkan kebahagiaan, maka ia amat membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat menikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu iapun tidak akan butuh kebahagiaan karena sudah berbahagia!

“Ya, tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira. Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia,” katanya lagi, memandang wajah dan tubuh pemuda itu dengan kagum.

Pemuda itu mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula.
“Boleh jadi. Aku dapat melihat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah yang kucangkul, dapat menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat makan dan kalau haus dapat minum, memiliki pekerjaan. Mau apalagi?”

Siu Kwi semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu berahi. Bukan sama sekali. Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik dan kagum karena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri.

Laki-laki ini jauh lebih berarti dalam kehidupan ini. Ia seperti melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos, jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok, nampak kasar dan biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Jawaban pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walaupun pemuda itu tidak sengaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya.

Memang demikianlah. Guru berada di mana-mana kalau saja kita mau membuka mata lahir batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran tentang hidup dan mati. Dalam mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus.

Kehidupan adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri. Sedangkan apa yang dapat diajarkan oleh seorang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehidupan. Jawaban pemuda petani itupun dapat merupakan suatu pembukaan rahasia tentang kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu kenikmatan hidup. Dia TIDAK MENCARI SESUATU YANG TIDAK ADA PADANYA!

Karena itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia tidak mengejar apa-apa. Kalau sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja dia tidak membutuhkan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul apabila kita merasa bahwa kita tidak bahagia!

Kalau semua orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang membantah. Mungkin dia benar! Akan tetapi, apakah yang kita namakan kemajuan itu? Kita mendambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan kemajuan. Akan tetapi apakah sebenarnya kemajuan itu? Model celana dipotong pendek, lalu panjang lagi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit, lalu longgar, sempit lagi.

Itukah kemajuan? Benda-benda dibikin modern agar LEBIH MENYENANGKAN. jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan! Itukah kemajuan? Dan sampai di mana kita sekarang ini maju? Sudah majukah? Sudah sampai di batas manakah? Matahari menyinarkan cahayanya yang cerah. Burung-burung berkicau di pohon-pohon.

Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu, dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan wajar. Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju? Pikiran yang didorong oleh keinginan untuk mencari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksana dan cerdas.

Sebaliknya, pikiran yang selalu mengejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik penuh akal, kejam dan tak pernah puas. Perbaikan keadaan tentu terjadi karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak lahir. Keburukan hidup menghadapi alam, akan mendorong manusia mempergunakan akal budinya untuk mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkembang secara wajar, demi kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan.

Selagi Siu Kwi termenung karena jawaban pemuda tani itu, tiba-tiba pemuda itu nampak gelisah. ”Nona, harap kau cepat bersembunyi di balik pohon dan semak-semak itu. Cepat, di sana datang tiga orang pemuda berandalan. Mereka baru sepekan berkeliaran di sini, dan mereka itu pemuda-pemuda dari kota yang berandalan. Cepat, bersembunyilah, nona, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Siu Kwi sadar dari lamunannya dan ia menengok. Benar saja, dari jauh nampak tiga orang laki-laki yang agaknya bicara sambil bergurau dan tertawa-tawa. Akan tetapi mereka masih terlalu jauh untuk dapat didengar apa yang mereka bicarakan dan untuk melihat orang-orang macam apa adanya mereka. Kalau menurut wataknya yang biasa, tentu saja Siu Kwi akan memandang rendah segala pemuda berandalan seperti itu.

Akan tetapi sekali ini memang terjadi hal yang aneh dalam hati Ciong Siu Kwi. Mendengar ucapan pemuda petani itu, ia tidak membantah, melainkan cepat-cepat pergi bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari tempat itu, di tepi jalan dekat pohon besar.

Makin dekatlah tiga orang laki-laki yang keluyuran sambil bersendaugurau itu dan akhirnya mereka tiba di tepi sawah di mana pemuda petani itu sudah melanjutkan pekerjaannya yang tadi, yaitu mencangkul tanah.

Tiga orang pemuda iseng itu sejak tadi memang sudah merasa bosan karena tempat itu sunyi dan kini melihat pemuda yang sedang mencangkul tanah, timbul kegembiraan mereka. Mereka menemukan seorang yang dapat dijadikan bahan olok-olok dan keberandalan mereka.

“Hei, lihat itu si tolol bekerja keras!” teriak orang pertama yang kepalanya besar dan kedua telinganya kecil seperti telinga tikus.

“Ha-ha-ha, kusangka dia tadi seekor kerbau yang sedang meluku sawah!” teriak orang ke dua, orang ini kurus kering seperti berpenyakitan.

“Kau kira apa? Apa sih bedanya si tolol dengan seekor kerbau? Hei, tolol! Coba tirukan suara kerbau, bagaimana?” teriak orang ke tiga yang gendut.

Mereka itu tiga orang pemuda yang melihat pakaiannya saja dapat diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kota! Padahal, merekapun tadinya orang-orang dari dusun tak jauh dari situ, hanya sudah lama mereka tinggal di kota dan ketularan kesombongan orang-orang kota yang memandang rendah kepada para petani yang miskin. Kini mereka memperolok seorang pemuda petani, padahal mereka lahir di rumah-rumah keluarga petani.

Pemuda yang sedang mencangkul itu sudah mendengar bahwa tiga orang pemuda itu adalah pemuda berandalan yang sudah sepekan suka melakukan hal-hal yang buruk, memperlihatkan kenakalan mereka mendatangkan keributan dan perkelahian, juga kekacauan. Oleh karena itu dia bersikap tidak perduli dan pura-pura tidak mendengar saja.

Tiga orang pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani. Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olok mereka, baik kalau yang dihina itu melawan maupun ketakutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja, menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.

“Hei, tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?”

“Hayo naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!“

“Kalau tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!”

Akan tetapi, pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia akan melawan mereka, akan membuat mereka berenang di sawahnya dan minum air lumpur!

“Hayo naik kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!” teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah.

Mereka tidak berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka menjadi kotor. Akan tetapi pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya mencangkul dengan tekun.

“Kurang ajar! Serang dia dengan batu”

Kata seorang dari mereka dan mereka bertiga kini mencari batu-batu sebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke arah pemuda petani.

Pemuda petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu yang mengenai kepalanya sampai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa. Mulai giranglah hati mereka karena mereka dapat menghajar pemuda petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan minta-minta ampun!

Melihat keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, sekali menggerakkan tangan saja ia akan dapat membunuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin agar terdengar seperti suara orang ketakutan.

“Jangan sambiti dia.... ah, jangan sakiti dia.!”