Ads

Senin, 11 Januari 2016

Suling Naga Jilid 066

Para pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh wanita ini. Maka, merekapun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya sungguh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi!

Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi marah.
“Kalian semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!” teriak Thian Kek Seng-jin.

Mendengar teriakan ini, para pengawal itu mundur karena merekapun jerih melihat betapa dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok Siu Kwi!

Seperti sore tadi, kembali Siu Kwi dikeroyok dua. Kali ini mereka berkelahi lebih mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi, mengirim serangan maut yang amat berbahaya.

Namun, seperti juga tadi. Siu Kwi belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai itu, setelah lewat lima puluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan iapun terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apalagi seperti tadi, Thian Kek Seng-jin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hampir tidak mampu balas menyerang lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.

Yo Jin tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya yang menjadi kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua gulungan sinar hitam, dan kadang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.

“Bukkk....!”

Sebuah pukulan tongkat Thian Kek Seng-jin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah keluar dari mulut wanita itu. Ia telah terluka. Maka iapun tahu bahwa sekali ini ia juga tidak berhasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil membalikkan tubuhnya.

Para pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apalagi ketika ketika dua orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak mengejarnya, melainkan tertawa mengejek.

Terhuyung-huyung Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, iapun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji dengan kaki tangan terbelenggu dan pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya makin mengguguk. Akan tetapi, wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai dirinya.

Tugasnya masih belum selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih parah karena pukulan dengan tenaga sin-kang itu telah mengakibatkan luka dalam, walaupun tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera. Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.

Siu Kwi mengeluarkan obat dan menelan dua butir pil merah Kemudian iapun duduk bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati lukanya dan memulihkan tenaganya. Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga tenaganya mulai pulih kembali.

Matahari mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun Siu Kwi masih bersamadhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu bahwa di dalam hutan itu muncul dun orang yang sejak tadi mengintainya. Baru setelah dua orang itu melangkah dekat menghampirinya, ia sadar dan cepat ia membuka mata.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mereka sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin! Akan tetapi rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebaskan Yo Jin. Maka ia meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas penuh kebencian.

“Dua tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!” bentaknya dan iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi mati-matian.

Akan tetapi dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bermusuh, bahkan tersenyum.

“Bi-kwi....“

“Namaku Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!” bentak Siu Kwi memotong kata-kata Ok Cin Cu.

Kakek tinggi besar berperut gendut dengan rambut riap-riapan ini tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu Kwi, kami datang bukan untuk mendesakmu, melainkan untuk berdamai denganmu.”

Siu Kwi memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat mempercaya begitu saja kepada orang-orang seperti tosu itu.

“Apa kehendak kalian?“ tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.

“Ha-ha, bukankah engkau menghendaki agar pemuda she Yo itu kami bebaskan?“ kini Thian Kek Seng-jin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya nampak biasa seolah-olah pertanyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat hatinya.

“Hal yang sudah jelas itu mengapa kau tanyakan lagi?” Ia balas bertanya.






Kembali dua orang tosu itu tersenyum lebar.
“Kita adalah orang-orang segolongan dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan? Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih menguntungkan kita kedua pihak?” kata pula Thian Kek Seng-jin yang lebih pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.

“Kau maksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus melakukan sesuatu untuk kalian?”

“Ha-ha-ha, ia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!” Ok Cin Cu tertawa girang dan Thian Kek Seng-jin mengangguk-angguk.

“Tepat dugaanmu, nona Ciong. Engkau membutuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan mendapat bantuanmu agar terlaksana.”

“Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian?”

“Kami berdua mempunyai kebutuhan masing-masing, dan kami akan membebaskan Yo Jin kalau engkau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagaimana, nona Ciong?” tanya pula Thian Kek Seng-jin.

“Katakan, apa yang harus kulakukan.”

Jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini tentu saja sudah menyetujui permintaan mereka. Apapun akan ia lakukan demi menyelamatkan Yo Jin, pria yang dicintanya itu.

Thian Kek Seng-jin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata.

“Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sendiri permintaannya. Adapun pinto ingin engkau membantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kalau engkau maju membantu kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu.”

Siu Kwi terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja tidak mampu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Seng-jin itu seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah mengambil keputusan tidak melakukan perbuatan jahat, maka iapun ingin tahu lebih dahulu siapa orang yang akan mereka keroyok itu.

“Siapakah orang itu?”

“Dia adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es.”

Siu Kwi terkejut dan mengerutkan alisnya. Keluarga Pulau Eslah yang telah menghancurkan semua cita-citanya, dan biarpun tadinya ia sudah tidak mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam permusuhan dengan siapapun, akan tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, iapun tanpa berpikir panjang lagi lalu mengangguk.

“Baiklah! Aku akan membantu kalian menghadapi musuh itu, dan kalian harus membebaskan Yo Jin.”

“Heh-heh, nanti dulu!” Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga nampak mulutnya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar. “Itu adalah syarat yang diajukan sahabat Thian Kek Seng-jin, sedangkan syarat dari pinto masih belum. Kalau engkau membantu menghadapi musuh itu, berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memilih dari pinggang ke atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?”

Siu Kwi tidak mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja dari badan Yo Jin.

“Katakanlah, apa syaratmu!” katanya cepat dan ketus.

Ok Cin Cu menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Akan tetapi yang ditertawakan sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembira sekali ketika berkata,

“Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain mengenai pria. Nah, ilmu silatmu sudah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto mau membebaskan Yo Jin seutuhnya!”

Kalau lain wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali. Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh. Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga sudah kakek-kakek, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa banyak pria yang dipermainkannya uutuk melampiaskan napsunya.

Permintaan terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walaupun ia merasa terhina karena biasanya, ialah yang memilih laki-laki. Kecuali Sam Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa.

Akan tetapi, sekali ini, ia tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan syarat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada syarat yang diajukan Thian Kek Seng-jin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulatnya kepada satu orang saja, yaitu Yo Jin! Dan ia melakukan itu bukan karena penyelewengan, bukan karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!

“Baik, kuterima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan memenuhi syarat kalian!“

“Ho-ho-ho, jangan tergesa-gesa, nona manis” Thian Kek Seng-jin berseru. “Kami yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin.”

Betapa mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghapi musuh besar Thian Kek Seng-jin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Dan di sebuah di antara guha-guha itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!

Laki-laki itu sedang duduk bersila dimulut guha ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Seng-jin dan Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sampai tidak mampu menandinginya.

Laki laki itu belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun usianya. Mukanya bulat dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak, wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya dia rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak mewah.

Seorang pria yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan sarungnya terukir indah.

Pria yang gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun digemblengnya di pegunungan.

Setelah Hong Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk melakukan penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, akhirnya dengan bergbung bersama para pendekar sakti, Hong Beng membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.

Sementara itu Suma Ciang Bun sendiri menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia pasti turun tangan sebagai seorang pendekar. Dan sudah beberapa pekan lamanya dia berada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah berpesan kepada muridnya itu agar dua tahun kemudian datang mencarinya di pegunungan tandus itu.

Kehadirannya di dalam guha di gunung itu diketahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera mengenal pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini dan semenjak dahulu memang kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh besar. Semenjak jaman Pendekar Super Sakti masih muda, kedua aliran ini, terutama sekali Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es.

Melihat Suma Ciang Bun, tentu saja Thian Kek Seng-jin yang kebetulan berada di situ cepat turun tangan menyerang. Akan tetapi, dia tidak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun. Bahkan ketika Ok Cin Cu membantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan dan akhirnya mereka melarikan diri.

Itulah sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Seng-jin lalu mempunyai akal untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membebaskan Yo Jin dan seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo Jin, tak dapat menolak syaratnya.

Dengan hati besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila.

“Ha-ha-ha, Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di depan mata. Bangunlah dan terimalah kematianmu di tangan kami!”.

Thian Kek Seng-jin berseru dengan nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa bergelak. Siu Kwi tidak bertanya, hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila itu. Tiba-tiba saja Siu Kwi berseru,

“Awas jarum....!“ ketika Suma Ciang Bun menggerakkan tangan kirinya. Jarum-jarum halus sekali menyambar ke arah mereka bertiga.

Dua orang tosu itu terkejut sekali dan merekapun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu Kwi sendiri meloncat tinggi sehingga beberapa jarum yang menyambar kearahnya lewat di bawah kakinya. Hebat bukan main serangan jarum-jarum halus itu, dilakukan oleh Suma Ciang Bun yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu menyerang mereka hanya mengandalkan pendengarannya saja.

Ketika mereka bertiga sudah berdiri tegak kembali dan memandang, ternyata Suma Ciang Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berkerut. Siu Kwi agak gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa pendekar ini berwatak keras.

Suma Ciang Bun tadi menyerang mereka dengan jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa jengkel bahwa samadhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah dikalahkannya itu. Akan tetapi dia mendengar seruan seorang wanita dan melihat betapa wanita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya telah meloncat ke atas ketika menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.

“Siapakah engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah bermusuhan denganmu!“ Suma Ciang Bun memandang tajam kepada wanita cantik pesolek itu.

Sebelum Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Seng-jin sudah mendahuluinya.

“Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendiang Sam Kwi yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?” Memang Thian Kek Seng-jin ini cerdik sekali.

Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang Bun. Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang menjadi tokoh-tokoh besar dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu musuh-musuhnya.

“Bagus!” serunya marah. “Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau kepalang tanggung!”

Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan berada di kedua tangannya dan diapun sudah berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Ok Cin Cu sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang, sedangkan Thian Kek Seng-jin menggerakkan tongkat naga hitam sebagai sebatang tongkat panjang yang ampuh. Melihat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.

Ciang Bun sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka hanyalah karena ilmu silatnya yang luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya.

Akan tetapi, tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sin-kangnya walaupun dia sudah menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil menguasai kedua sinkang itu sampai ke puncaknya.

Biarpun tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun dia percaya bahwa sekali inipun dia akan mampu mengalahkan, bahkan mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada si wanita yang memiliki gerakan demikian ringannya. Untuk menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu langsung menggerakkan tubuhnya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah dada disambung dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah kepala.

Serangan ini cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), jurus yang dinamakan Siang-mo jio-cu (Sepasang Iblis Berebut Mustika). Jurus ini dapat dikembangkan dengan serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan sambung-menyambung menjadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.

Melihat betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak.

Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari samping ke arah lambung lawan disusul tendangan kilat ke arah lutut. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat, begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.

“Cringgg....!”

Ciang Bun terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai, buktinya, menghadapi serangannya tadi, dapat langsung saja membalas.

Dia menangkis dengan pedang kirinya dan membabat kaki yang menendang dengan pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke belakang untuk mengatur kedudukannya.

Pada saat itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke arah leher, sedangkan dari belakang, Thian Kek Seng-jin juga menyerang dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki!

Ciang Bun cepat memutar tubuh, menangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih menyerang Siu Kwi! Kini sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun (Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar pedang yang menutup jalan keluar lawan. Lawan yang diserangnya tidak akan mampu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tidak ada kesempatan untuk balas menyerang.

Namun, Siu Kwi mengenal serangan berhahaya. Ia mempergunakan kelincahan tubuhnya, sudah meloncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu, melihat betapa kedua orang tosu sudah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia memutar sepasang pedangnya menyambut. Berkali-kali terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar kalau pedang di tangan pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan.

Siu kwi yang melihat berapa pendekar itu agaknya berbalik hendak mendesak dua orang tosu, sudah cepat menerjang dengan serangan-serangan pedangnya yang sinarnya bergulung-gulung. Tentu saja serangan-serangan wanita ini tak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.

Kalau ada yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walaupun cepatnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar untuk dapat mengikuti pertandingan, sukar melihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan mereka dan kaki mereka menyentuh tanah.

Suma Ciang Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia sudah menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang ahli silat, adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya. Ilmu silat memang ada yang bagus ada yang buruk ada yang lambat ada yang cepat, ada yang praktis tanpa kembangan ada yang memakai banyak kembangan.

Namun, setelah dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu sendiri. Dan perlu diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silatnya tidaklah begitu menonjol dan kalah jauh kalau dibandingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasainya memang hebat bukan main, akan tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat.

Perhitungan Thian Kek Seng-jin memang tepat. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak tahu siapa lagi yang dapat dimintai bantuannya. Ketika dia dan Ok Cin Cu bentrok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya, maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.

Betapapun juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali sehingga walaupun tiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi kini pendekar itu lebih banyak bertahan dan melindungi diri dari pada menyerang.

Tiba tiba tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari kiri, dibarengi dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah pinggangnya dari kanan Ciang Bun tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang Iblis Membuka Pintu). Jurus ini bukan hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang hebat.

Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas dari depan, yaitu pedang yang diserangkan oleh Siu Kwi ke arah dadanya. Serangannya sedemikian cepatnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan pantulan tenaga ketika menangkis tongkat naga hitam, pedang kanannya mental dan meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, sedangkan pedang kirinya dengan tenaga sin-kang masih menempel tongkat ular hitam.

“Cringgg....!”

Siu Kwi mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya hampir terlepas dari pegangannya ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Akan tetapi pada saat itu, tongkat naga hitam menyambar dari belakang dan tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ciang Bun lagi.

“Bukkk....!”

Tubuh Ciang Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah oleh pukulan tongkat yang mengenai punggungnya itu, maka ketika dia terguling-guling, dia sengaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan diri, tentu tiga orang lawan itu akan membunuhnya.

“Kejar dia....!”

Thian Kek Seng-jin berseru marah ketika melihat lawan yang sudah terluka itu melarikan diri.
“Kenapa mesti dikejar?” Siu Kwi membantah. “Dia sudah kalah dan lari.”

“Kejar! Kita harus membunuhnya!”

Thian Kek Seng-jin berteriak dan diapun mengejar diikuti Ok Cin Cu, Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.

“Jangan mencari penyakit!” kembali ia berkata sambil berlari di samping kakek itu.

“Jangan mendesak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pulau Es lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku sudah banyak bertemu dengan mereka, yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia!”