Ads

Senin, 11 Januari 2016

Suling Naga Jilid 070

Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dan Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nampaknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebelah utara.

Tembok Besar nampak bagaikan seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.

Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walaupun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu.

Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruangan itu yang tadinya sudah mulai gelap menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan. Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun, di depannya.

Memandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang mengejek. Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya.

Akan tetapi ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, diapun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan. Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya terjilat api.

“Uhhh....!”

Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.

“Eh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?” tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.

”Ah, hanya terjilat sedikit, tidak terluka.”

Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.
“Sakitkah, koko?”

Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Akan tetapi dia menggeleng kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena merasa malu diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan.

“Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati.”

Hening sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.

“Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu.”

Sim Houw mengangkat mukanya memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya.

“Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?”

“Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?”

Sim Houw mengangguk-angguk.
“Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya.”

“Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habis kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?”

Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang kepadanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan diapun menundukkan muka memandangi api unggun, seolah-olah hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.

“Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang.”

Kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.

Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang.
“Kenapa hal itu saja kau tanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahava maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri saja mencari Istana Gurun Pasir yang demikian jauhnya, melakukan perjalanan yang demikian berbahayanya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi.”

“Akan tetapi,.... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu mempunyai banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan hal yang sama? Akupun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!”






“Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya dan aku.... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu.”

Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaimanapun juga, tidak baik kalau ia terlalu mendesak, dan iapun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar itu. Ia tidak menyadari bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona dan pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya untuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.

“Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu. Sim-ko.”

Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukan seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, denqan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.

“Sim-ko....”

“Hemmm....?”

Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan. Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.

“Sim-ko,” katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api. “Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena ia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?”

Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas.

“Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati.”

“Maksudku bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?”

Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan diapun menggeleng kepala dengan pasti.

“Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apapun yang terjadi di dalam hidup, suka maupun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan. Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan.”

“Tapi.... tapi.... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?”

“Jera bagaimana maksudmu?”

“Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali.”

“Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi.”

Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti.
“Akan tetapi.... apakah semenjak engkau gagal.... eh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?”

Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan!

Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.

“Aku sudah tua sekarang, Lan-moi siapakah yang mau menaruh hati kepadaku?” jawabnya menyimpang.

Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.
“Hi-hi-hik,” Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu “coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia.!”

“Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja.“

“Aku justeru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko.”

Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tidak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan!

“Sesukamulah, Lan-moi.”

“Kau marah....?”

Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia dapat marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup.

“Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu.”

“Kenapa?” Tiba-tiba dara itu mendesak.

“Karena.... karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira.“

Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.

“Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kau cinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?”

Sim Houw tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya dan melalui atas api unggun. Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya.

Kiranya seekor ular sebesar kelingking, akan tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw mengetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.

“Mari....!” kata Sim Houw sambil menyambar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan gerakan cepat.

Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hilanglah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan oranq! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadipun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, iapun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.

Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah penerangan empat buah obor besar yang dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gambar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelaslah bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.

“Kalian ini tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa kauw dan Pek-lian-kauw!” Bi Lan membentak marah. “Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?”

Seorang di antara tiga belas orang itu adalaah seorang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga amat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw.

Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tida lumrah seperti tubuhnya karena yang terdengar hanya suara “kek-kek-kek-kek!” seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.

“Heh-heh-heh!”

Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek dan diapun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika ekornya digutat-guratkan pada tanah tadi.

“Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona.”

“Kakek iblis jahanam!” bentak Bi Lan dan iapun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkok itu.

Ia marah sekali karena dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini iapun langsung saja menyerang dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia teringat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka iapun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)!

Pukulan dengan ilmu ini memang amat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.

Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Seng-jin, berusia enam puluh lima tahun dan dia masih terhitung sute dari Thian Kek Seng-jin. Biarpun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir, tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Seng-jin, namun kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai.

Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberitahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Seng-jin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan.

Padahal, andaikata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.

Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari “kiriman” ular, Coa-ong Seng-jin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apalagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Seng-jin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!

“Dukkk!”

Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Seng-jin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan kanan. Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular, untuk dicengkeram hancur.

Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya memiliki indriya yang tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun.

Biarpun ia tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka iapun meloncat ke belakang. Coa-ong Seng-jin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang banyak jumlahnya dan dia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia lalu melangkah maju.

“Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?”

“Siancai!”

Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, memegang sebatang tongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw.

Sejenak mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, diapun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini adalah seorang dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi.

Dugaannya juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cin-jin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

“Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?”

Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak memperdulikan gadis itu, walaupun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coaong Seng-jin.

“Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu siluman itu!” Bi Lan berseru.

“Benar, totiang,” jawab Sim Houw. “Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan.”

Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk.
“Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?”

Sim Houw mengerutkan alisnya.
“Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan karena kami sesungguhnya sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak manapun juga.”

“Hemm, enak saja, heh-heh!” kata Coa-ong Seng-jin. “Sudah melukai orang sampai menderita luka parah, minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang membunuh Kim Hwa Nio-nio!”

Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nio-nio, mungkin kenalan baik karena mereka sealiran.

“Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nio-nio memang terbunuh olehku,” jawabnya tenang.

Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi marah. Bahkan Thian Kong Cin-jin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nio-nio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.

“Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang telah terbunuh atau terluka olehmu!”

“Tidak kelirukah jalan pikiran totiang?” Sim Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali. “Semua yang kulakukan itu bukan berdasarkan permusuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Kalau sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?”

“Siancai....! Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!”

Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw. Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawan, maka tanpa ragu-ragu lagi diapun cepat menghunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan iapun menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu.

“Pedang iblis.... pedang iblis....!” katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai serangan.

Tiga orang tosu lain sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Seorang membantu Coa-ong Seng-jin dan dua orang membantu Thian Kong Cin-jin.

Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, hanya tingkat Thian Kong Cin-jin yang paling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sin-kang yang kuat. Kekuatannya itu ditambah dengan kekuatan ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!

Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apalagi kakek itu dibantu oleh dua orang tosu lain yang juga lihai, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung bahwa di tangannya terdapat suling Liong-siauw-kiam.

Kehebatan permainan pedang suling yang mengeluarkan suara seperti orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.

Di lain pihak, Bi Lan juga mengamuk dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.

Thian Kong Cin-jin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu.

Melihat kegagahan dua orang muda itu diapun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan!

Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.

Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi gelap dan di dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata dari lima penjuru! Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka saja.

Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang dengan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yapg cukup keras.