Ads

Rabu, 13 Januari 2016

Suling Naga Jilid 072

“Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!”

Dan diapun mencabut keluar sepasang pedangnya. Siang-kiam (sepasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut mengeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pedang itu saling berpapasan dan mengeluarkan suara berdencing dan muncratlah bunga api. Dia telah memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.

Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian lawan dan diapun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mencelakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, tidak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi.

Tentu saja pendekar ini bersama muridnya mengenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu memang Siu Kwi dimusuhi para pendekar bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan gurunya sama sekali tidak tahu, bahkan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merobah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana!

Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau dia sekarang terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.

Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja gerakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya dan diapun mulai meragu apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu karena memang ada dasarnya yang kuat! Diapun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.

Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian!

Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jerih menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan sin-kang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya.

Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa ia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebatan sinarnya yang bergulung-gulung, sedangkan dara ini lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang dengan serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama semakin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk menghentikan perkelahian sementara, dan nampaklah oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannya merayap ratusan ekor ular besar kecil seperti sekumpulan bebek yang sedang digembalakan oleh orang kurus bongkok itu.

Ratusan ekor ular itu mengeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-binatang inilah yang mengeluarkan bau amis. Suara mendesis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu nampak lima orang lain lagi yang kesemuanya bersenjata tongkat.

Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.

“Lan-moi, mari kita pergi!” katanya dan diapun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

“Hendak lari ke mana kau?” bentak Hong Beng yang hendak mengejar, akan tetapi suhunya berseru. “Hong Beng, jangan kejar!”

Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhunya yang masih memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Kini ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terlatih saja, mengepung tempat itu seperti barisan mengepung musuh.

Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggauta Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda tadi benar-benar telah bersekongkol dengan siluman betina yang menjadi sahabat orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi menbela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.

Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya juga memiliki ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang pernah dipelajari dari ibu suhunya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian.

Dia sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walaupun merasa jijik. Dia melihat betapa kini semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Suma Ciang Bun.

Pendekar itu menggerak-gerakkan kedua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Seng-jin yang menggembala ular-ular itu. Dan kini ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!






Coa-ong Seng-jin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain. Diapun cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang juga membentuk tubuh ular yang mengangkat kepalanya, dengan tangan menjadi kepala ular. Dia mengerahkan seluruh kepandaian pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya.

Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perintah yang mana di antara keduanya itu karena keduanya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu lari simpang-siur, saling bertabrakan dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!

“Hooo-hoooo, anak-anak bodoh.... dengarkan aku, majulah.... maju dan serang musuhku....!” Coa-ong Seng-jin berteriak-teriak marah.

Akan tetapi karena dia berteriak-teriak, dengan sendirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular ular itupun membuyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai-berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!

Coa-ong Seng-jin menjadi marah bukan main. Dengan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan panjang, dan ular itu segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata adalah seekor ular senduk yang amat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.

“Setan, siapakah engkau?” bentaknya.

Coa-ong Seng-jin tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang dipergunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin untuk mengadu domba antara pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia bersama teman-temannya sedang mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tiga belas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cin-jin.

Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular ita untuk mengepung agar dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan kini ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tampan yang pakaiannya indah ini!

Suma Ciang Bun sudah mengenal Coa-ong Seng-jin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka diapun terus terang menjawab dengan tenang.

“Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng.”

“Suma....? Keluarga Pulau Es....?” Coa-ong Seng-jin membentak dan empat orang temannya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.

Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya.

“Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!”

Dan diapun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang saja mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan!

Coa-ong Seng-jin menerima ularnya kembali, akan tetapi ular itu segera dibantingnya karena dianggap tidak ada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan sebatang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Kiranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.

Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang tadi sudah disimpannya. Dua gulungan sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Seng-jin yang terdiri dari tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dan seorang anggauta Pat-kwa-kauw maju pula mengeroyok. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat dia maju menghadapi dan membantu gurunya.

Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang dengan mendesak lima orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Seng-jin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Namun, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sampai tiga puluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyambar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.

Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran.
“Tidak perlu mengejar musuh yang melarikan diri,” katanya. “Kecuali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu.”

Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali.

“Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri.”

Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wajah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya,

“Hong Beng, apakah engkau mencinta gadis itu?”

“Gadis.... gadis mana.... apa maksud suhu?”

Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biarpun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhunya, saking kagetnya dia menjadi gugup.

“Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?”

Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit, lalu dia mengangguk.

“Teecu tidak dapat berbohong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta.... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan.”

“Dan menurut ucapan gadis tadi, hubungan kalian putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?”

“Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan tetapi ketika itu ia belum mencinta siapapun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.

“Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu. Bodoh sekali kalau menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya ditolak.”

Wajah Hong Beng menjadi merah.
“Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wanita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw.”

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya.
“Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak berkelahi sungguh-sungguh tadi ketika melawanku.”

“Ah, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!” kata Hong Beng penasaran.

“Ban-tok-kiam....?” tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pedang itu.

“Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu adalah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”

“Apa....?” Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak.

“Kau maksudkan pedang milik.... bibi Wan Ceng....? Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu.”

“Eh? Bukankah kau bilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?”

“Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Sungguh aneh sekali. Bagaimana mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi?”

“Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi seorang wanita sesat.”

“Jangan menuduh sembarangan lebih dulu, Hong Beng. Bagaimanapun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan.”

Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi encinya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong, selain untuk menjenguk kakaknya itu, juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pusaka itu untuk bertindak sesat.

“Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Sudah beberapa kali, di tengah pertandingan engkau memaksa aku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-sudah engkau selalu mempunyai alasan. dan sekarang apalagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah menghadapi Hong Beng yang sombong itu, dan engkaupun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itupun tidak membuat aku menjadi jerih. Kenapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?” tanya Bi Lan dengan suara mengandung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.

“Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, akan tetapi engkau dan Hong Beng demikian bernafsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak semestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya salah paham dengan kita.”

“Salah paham apa? Hong Beng menghinaku!” bentak Bi Lan marah.

Sim Houw tersenyum.
“Dia marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terhadap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Kemudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bukan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu.“

“Kenapa mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulang perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek kalang-kabut seperti orang gila. Kemudian tadi.... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apanya, dia tidak berhak untuk cemburu!”

Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.

“Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi.”

“Apa dia akan memaksa bahwa aku harus membalas cintanya? Phuhh, memang wataknya buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak marah-marah dan cemburu macam dia!”

Sim Houw tertarik sekali.
“Siapakah dia itu, Lan-moi?”

Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab,

“Kun Tek juga menyatakan cintanya kepadaku dan kutolak!”

Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena ia teringat bahwa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, walaupun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pemuda Lembah Naga Siluman itu.

Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang diapun sudah pernah menduganya.

“Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?”

Bi Lan mengerutkan alisnya.
“Habis, kalau aku tidak mempunyai perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara mereka?”

Sim Houw menggeleng kepalanya.
“Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi.... apakah selama ini engkau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?”

Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia tersenyum.
“Agaknya nasibku sama dengan engkau, Sim-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, akupun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali akupun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?”

Dan gadis itupun lari mendaki bukit di depan dengan cepat. Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya sejak pertama kali bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang merupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya. Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja.

Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang amat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia melihat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta kepadanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya? Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu.

Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apalagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya sudah tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pamannya!

Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat mencinta seorang tua seperti dia? Sukar untuk dapat dipercaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya.

Takut kalau-kalau pernyataan cintanya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah tidak menyatakan cinta, disimpannya sebagai rahasianya sendiri saja asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya ditolak oleh Kam Bi Eng.

Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka diapun segera mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi.

**** 072 ****