Ads

Rabu, 13 Januari 2016

Suling Naga Jilid 077

“Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar,” kata Hong Li.

Gadis ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan sebatang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkannya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daunnya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu.

Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir.

Orang itu menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat sekali, sekarang berubah agak merah. Dia mengeluarkan suara seperti setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk memandang Hong Li dan matanya terbelalak.

“Nona, sungguh engkau hebat sekali!”

Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia telah menolong musuh gurunya, merasa seperti seorang pengkhianat.

“Kenapa engkau melanggar wilayah kami? Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihukum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar untukmu.”

Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya.

Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darahnya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.

“Apa yang kau lakukan ini?” bentaknya.

Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li.
“Engkau cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan engkau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku akan mencekikmu sampai mampus!”

Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya.

Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.

“Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!” kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li.

Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai kedua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.

“Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!” laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut.

Dia mendorong tubuh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju. Ia tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawanpun tidak akan ada gunanya. Dan iapun tidak dapat mengeluarkan suara.

Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walaupun tidak ditotok, iapun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhunya dan tiga orang pelayan? Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dialaminya ini. Perlu apa minta tolong? Memalukan saja. Biarlah, ia sudah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pundaknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang.

Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat. Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perangkap-perangkap maut, akan tetapi iapun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perjalanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.

Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di depan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan.

Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati. Namun, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka terjatuh ke dalam sumur yang di dasarnya tidak kurang dari lima belas meter dalamnya, terdapat batu-batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu.

Kalau melangkah ke kanan, mereka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula. Akan tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya adanya ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang suka makan daging manusia, yang membuat ia bergidik ngeri membayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati. Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur di sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan melampauinya dan selamat.






Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya. Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring,

“Hayo cepat tunjukkan jalan!”

Diapun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu betapa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataukah kiri.

Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan diapun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok ke kanan dan menghardik,

“Hayo jalan!”

Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terjeblos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali.

Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke dalam kolam lumpur!

“Auhhhhh, toloonggg....!”

Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong. Dalam kekagetannya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting dan terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka kini saling berpandangan.

Dan laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!

Biarpun Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Gadis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya dapat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak berdaya.

Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda yang mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja ia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apalagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya.

Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.

Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu lalu terbetot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.

Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya.
“Subo, maafkan aku.... tidak.... hukumlah aku, subo....” katanya setengah menangis saking kesal dan marahnya terhadap laki-laki jahat itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum.
“Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li.”

Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Hong Li menengok dan melihat betapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya! Hong Li tidak dapat melihat lebih lanjut dan diapun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya.

Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itupun terhenti tiba-tiba seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik. Ia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini telah terbenam kedalam lumpur. Ia tidak berani menengok.

Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering, Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.

“Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi tentu aku dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja membiarkan saja, hanya membayangi agar engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar kau ingat selalu, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan bersikaplah hati-hati selalu terhadap orang lain, apalagi yang belum kau ketahui benar bagaimana wataknya.”

“Akan tetapi, subo. Aku sungguh tak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!”

Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas,
“Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bodoh, muridku.”

Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan heran sekali mendengar nasihat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasihat gurunya ini dari nasihat ayah ibunya! Ayah ibunya selalu mengajarkan agar ia mempergunakan kepandaiannya untuk menolong sesama manusia yang menderita, untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.

Gurunya lalu mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyerbu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lemparkan begitu saja ke dalam kolam lumpur!

Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walaupun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai mempergunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemaninya berlatih silat. Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walaupun dari mereka ia tidak dapat memperoleh ilmu baru.

Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat. Mulai hari itu, gurunya seringkali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke menara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang biarpun baru beberapa hari tinggal di situ, kalau sedang berdiri melamun di puncak menara dan memandang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemasan dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara. Kemudian ia naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melainkan hanya meloncat sampai setengah tihang, menyambar tihang dan memanjat naik.

Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warnanya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari.

Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tidak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, iapun terkejut dan merasa khawatir sekali. Siapakah orang itu, pikirnya. Lawan ataukah kawan?

Dan ia merasa ngeri membayangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimanapun juga, hatinya tidak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapapun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kematian sungguh amat mengerikan dan terlalu kejam.

Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera berubah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang yang baru datang itu, biarpun hanya dengan langkah-langkah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar!

Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah. Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan iapun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seolah-olah telah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu.

Langkah-langkahnya teratur dan kakinya seperti telah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering datang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu.

Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia melihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata kini sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, akan tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang amat berbahaya itu.

Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas. Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main ketika ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salah lagi.

Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.

Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan dia memandang dengan penuh perhatian.

“Omitohud, agaknya inilah anak itu. Eh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah.!” Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li.

Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biarpun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah menghampiri kakek itu!

Melihat ini, gurunya membentak.
“Hong Li, kembali ke tempatmu!”

Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu. Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya dan iapun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.

“Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak,” bisik Ang Nio.

Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagaimana gurunya menghadapi kakek aneh itu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu?

Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut,

“Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menyerahkan anak itu kepada pinceng.”

“Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Lupakah engkau akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suhengmu? Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sendiri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!” Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.

“Omitohud.... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng.”

“Kakek tua bangka! Ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?”

Tiba-tiba Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tidak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!

Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat terkenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti.

Tentu saja ia, biarpun usianya baru tiga belas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bukan sungguh-sungguh menjadi harimau! Betapapun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan kini “harimau betina” yang hendak mempertahankan anaknya itu dengan buasnya, sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, menerjang dan menubruk ke arah Ang I Lama!

“Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!” Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merahnya berkibar ketika dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Ketika harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau. “Siancai, kembalilah kepada keaslianmu, Sin-kiam Mo-li!”

Harimau itu hendak mengelak, namun terlambat dan ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali. Ia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergulung-gulung yang segera menutupi tubuhnya dan membuat keadaan di situ menjadi gelap.

Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itupun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup,

“Omitohud....!”

Serunya berkali-kali dan diapun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nampaklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran.

Wanita cantik ahli sihir ini maklum bahwa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu kalau mempergunakan sihir, maka ia segera menerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar.

Kembali kakek itu mengelak ke samping dan kedua lengannya digerakkan untuk menangkis dari samping.

“Dukkk!”

Kedua pasang lengan itu bertemu di udara dan seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat ia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama.

Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan ia menyerang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut dan terjadilah perkelahian yang hebat. Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung yang menyerang seekor ular, akan tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang namun mantap menyambut setiap serangan dari manapun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang.

Walaupun dia hanya membalas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, namun serangannya mengandung kekuatan yang membuat lawannya harus cepat menghindarkan diri. Biarpun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi, dapat mengikuti gerakannya sehingga ia dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu.

Kalau ia tidak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini terbukti betapa gurunya selalu menghindarkan bentrokan lengan kalau serangannya ditangkis lawan, dan setiap kali terpaksa kedua lengan bertemu, tentu tubuh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.

Dugaan anak perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghindarkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah memegang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan pedang. Nama julukannya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itupun sama sekali tak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!

“Sing-sing....wuuuuttt....!”

Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang dan kebutan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.

“Siancai....!”

Ang I Lama berseru dan cepat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil mengelak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seuntai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.