Ads

Kamis, 21 Januari 2016

Suling Naga Jilid 085

Dengan hati berat oleh kegelisahan dan kedukaan, suami isteri pendekar Kao Cin Liong dan Suma Hui terpaksa meninggalkan Tibet dan daerah Himalaya.

Mereka telah gagal menemukan puteri mereka walaupun mereka telah berhasil menjumpai pertapa yang berjuluk Ang I Lama. Mereka masih menggunakan waktu berbulan-bulan untuk melakukan pencarian di daerah itu, namun tak pernah dapat menemukan jejak puteri mereka. Jejak satu-satunya hanyalah bahwa puteri mereka diculik oleh seorang berjuluk Ang I Lama dan ternyata kakek pertapa itu tidak menyembunyikan puteri mereka! Ke mana lagi mereka harus mencari?

Akhirnya Kao Cin Liong berhasil membujuk isterinya yang kini menjadi kurus dan pucat karena selalu merasa gelisah dan berduka memikirkan puteri mereka yang hilang untuk pulang saja ke Pao-teng.

“Jelas bahwa tidak ada jejaknya di barat ini,” katanya kepada isterinya. “Sebaiknya kita pulang saja karena siapa tahu kalau adik Suma Ciang Bun dapat menemukan jejak di sana.”

Merekapun melakukan perjalanan pulang ke Pao-teng dengan hati berat. Mereka merasa lelah lahir batin ketika mereka tiba kembali di rumah mereka, dan kedukaan mereka ditambah lagi oleh kekecewaan karena Suma Ciang Bun yang sudah lama menanti mereka di situ mengabarkan bahwa diapun gagal dalam penyelidikannya.

“Aku telah melakukan penyelidikan ke delapan penjuru berpusat dari Pao-teng, akan tetapi tidak seorangpun pernah melihat kakek berjubah merah membawa seorang anak perempuan tiga belas tahun. Agaknya, penculik itu dapat membawa Hong Li keluar dari Pao-teng dan pergi jauh tanpa ada yang melihatnya. Orang itu tentu lihai sekali.” Suma Ciang Bun menerangkan ketika begitu tiba di rumah dan bertemu dengannya encinya, Suma Hui, mengajukan pertanyaan padanya. “Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian?”

Suma Hui lemas tak mampu bercerita, dan Kao Cin Liong yang menceritakan kepada adik isterinya itu tentang kegagalan mereka menemukan Hong Li jauh di daerah Himalaya dan Tibet sana. Suma Ciang Bun ikut merasa kecewa dan berduka, dia mengepal tinju.

“Keparat manakah yang telah berani melakukan penculikan ini? Aku hanya menanti kembalinya Hong Beng dari Gurun Pasir, dan aku akan mengajaknya untuk mencari lagi, entah ke mana.”

“Muridmu itu belum kembali?” Suma Hui ikut bicara. “Kenapa demikian lamanya? Jangan-jangan dia tidak berhasil menemukan Istana Gurun Pasir.”

“Tidak mungkin. Sebelum berangkat sudah kuberi gambaran yang jelas tentang letak tempat itu dan jalan mana yang harus diambil untuk dapat mencapainya dengan mudah,” kata Kao Cin Liong.

“Kalau begitu, aku khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya,” kata Suma Ciang Bun.

“Sudah terlalu lama aku menanti kalian kembali di sini, dan sekarang, aku akan menyusul Hong Beng dan bersama dia mencari keponakanku itu sampai dapat.”

Suami isteri itu tidak mencegah, bahkan mereka tidak mampu mengeluarkan pendapat. Dalam keadaan gelisah dan duka, mereka seperti kehabisan akal, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tidak tahu harus ke mana mencari puteri mereka, kepada siapa harus bertanya atau minta bantuan. Dalam keadaan duka dan putus asa, orang berada dalam keadaan kosong atau hening.

Sayang bahwa keheningan itu merupakan keheningan di luar sadar, keheningan sebagai akibat terseret oleh duka, keheningan yang lumpuh. Padahal, justeru kita amat membutuhkan keheningan, karena dari sumber atau dasar keheningan dan kekosongan inilah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan! Batin kita tidak pernah mengendap, tidak pernah kosong dan hening, selalu penuh dengan prasangka, pendapat dari keinginan.

Karena itu, panca indera kita tidak pernah bekerja dengan sempurna dan hidup, melainkan hanya bergerak karena dorongan batin yang sarat oleh beban itulah. Kalau batin sudah berprasangka, mana mungkin pandang mata kita dapat memandang dengan waspada dan awas? Semua panca indera kehilangan kepekaannya karena selalu diselubungi oleh prasangka, pendapat, atau keinginan. Kita tidak lagi melihat kenyataan apa yang ada, melainkan selalu ingin melihat sesuatu seperti yang kita kehendaki, yang kita inginkan sehingga segala kenyataan, kalau tidak cocok dengan keinginan kita, nampak buruk, bahkan amat mengganggu mata.

Demikian pula dengan pendengaran, penciuman, perasaan dan semua alat tubuh yang sudah menjadi budak dari pada nafsu kita. Hilanglah semua ketajaman dan kepekaan yang pernah kita miliki ketika kita masih kanak-kanak, ketika pikiran kita belum sarat oleh beban, ketika “aku” kita belum membesar dan merajalela menguasai seluruh diri lahir batin.

Lihatlah mata orang yang baru saja bangun tidur, ketika pikirannya masih mengendap, akan nampak sinar mata yang bening dan cemerlang. Namun, begitu batinnya disibukkan kembali oleh isi pikiran yang bermacam-macam, lenyap pula kebeningan mata, kembali menjadi muram dan hampa, hanya dipermainkan suka duka, puas kecewa. Hanya melihat benda-benda yang disuka atau tidak disuka, mendengarkan dengan dasar senang dan benci, mata seolah-olah menjadi buta dan tidak pernah melihat segala sesuatu seperti keadaan yang sebenarnya, seperti apa adanya.!

Ada pula orang yang ingin mempertajam kembali panca indera, melahirkan kembali kepekaannya dengan jalan membius diri dengan candu dan obat-obat pembius lainnya. Memang, untuk sesaat baban akan menjadi kosong dan bebas, dan panca indera akan bebas pula sehingga kita akan dapat menikmati keadaan apa adanya, akan nampak betapa indahnya setangkai bunga, sehelai daun, sekelompok awan, atau wajah seorang manusia, indah tanpa batasan antara bagus dan jelek, indah yang bukan berarti bagus.

Telinga akan menangkap suara-suara yang luar biasa indahnya, bukan bagus melainkan seperti apa adanya dengan segala nada dan iramanya, dengan segala gaungnya, gemanya, antara kosong dan isi dari serangkaian suara itu. Akan tetapi, semua itu hanya ditimbulkan oleh keadaan kosong atau hening yang dipaksakan, yang timbul karena pembiusan!

Bagaikan orang minum anggur, baru menjilat percikannya saja. Dan akibatnya, orang akan menjadi kecanduan, orang akan selalu lari kembali kepada obat bius untuk dapat memasuki alam yang indah itu lagi! Dan kalau sudah begitu, maka hal itu menjadi kesenangan dan seperti biasanya, untuk mengejar kesenangan orang rela berkorban apapun juga, dalam hal ini, mengorbankan tubuhnya yang menjadi rusak oleh pengaruh obat bius.






Dapatkah kita memasuki keindahan itu tanpa bantuan obat bius? Pertanyaan ini berarti, dapatkah kita membersihkan semua debu yang mengotorkan batin kita? Dapatkah kita membuang semua beban pikiran kita? Dapatkah kita membiarkan pikiran hening dan kosong tanpa mengisinya dengan segala kesibukan yang bukan lain adalah si aku yang ingin segala itu? Dapat atau tidaknya, mari kita MENGAMATI saja. Mengamati diri sendiri, pikiran sendiri, batin sendiri. Kita amati tanpa menentangnya, tanpa berusaha menenangkan atau mengosongkannya, karena kalau ada usaha mengosongkannya, berarti TIDAK KOSONG.

Kalau kita berusaha membuatnya hening, itu berarti bahwa batin kita tidak hening lagi karena terisi kesibukan INGIN HENING. Dapatkah kita mengamati saja, tanpa pro dan kontra, seperti nonton sandiwara yang terjadi di dalam pikiran kita, tanpa komentar? Yang ada hanyalah pengamatan, bukan “aku” yang mengamati, karena kalau aku yang mengamati, tentu karena aku ingin batin ini hening, aku ingin begini dan begitu. Jadi, yang ada hanya pengamatan, yang ada hanya kewaspadaan.

Kao Cin Liong dan isterinya adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman, namun mereka juga manusia-manusia biasa dengan segala kelemahannya. Mereka tak dapat menghindarkan diri dari pada ikatan, dan ikatan dengan puteri merakalah yang membuat mereka kehilangan akal, membuat mereka berduka sekali ketika puteri mereka itu dipisahkan dari mereka.

Mereka kehilangan akal, tak sedap makan tak nyenyak tidur, selalu gelisah dan akhirnya keduanya bersepakat untuk meninggalkan rumah lagi, pergi mengunjungi Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an.

Kepergian mereka mengunjungi Suma Ceng Liong itu, selain untuk menghibur diri, juga untuk mengabarkan tentang kehilangan puteri mereka agar Suma Ceng Liong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat membantu mereka mencari Hong Li, atau setidaknya minta pendapatnya.

Gu Hong Beng melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat. Dia telah meninggalkan gurun pasir dan kini tiba di luar sebuah dusun yang letaknya di sebelah utara Tembok Besar. Tidak jauh dari tembok itu karena tadi, ketika dia menuruni sebuah bukit, dia telah melihat tembok itu melingkar-lingkar seperti seekor naga di antara pegunungan di selatan.

Melihat sebuah dusun yang berada di tempat terpencil ini, hati Hong Beng tertarik sekali. Siapa tahu dia bisa mendapatkan arak atau makanan di dalam dusun itu, pikirnya. Setiap hari makan bekal makanannya, yaitu roti kering dan daging kering, amat menjemukan. Juga dia ingin sekali minum arak setelah berpekan-pekan hanya minum air saja.

Selagi dia hendak memasuki dusun itu melalui pintu gerbangnya yang rusak tiba-tiba dia mendengar teriakan suara wanita. Hong Beng melihat seorang laki-laki berbangsa Mongol sedang memondong tubuh seorang gadis Mongol dan agaknya gadis inilah yang tadi mengeluarkan teriakan.

Hanya teriakan pendek karena kini gadis itu tak dapat berteriak lagi. Sebuah tangan pemondongnya menutup mulutnya dan biarpun gadis itu meronta-ronta, namun sama sekali ia tidak mampu melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bertubuh besar itu, bagaikan seekor kijang dicengkeram seekor harimau yang buas.

Orang Mongol itu lari keluar dari dusun, langkahnya lebar dan agaknya dia telah menculik gadis itu tanpa ada yang mengetahuinya. Biarpun Hong Beng tidak tahu apa yang telah terjadi, namun melihat seorang gadis dilarikan seorang pria secara paksa, jiwa pendekarnya bergolak dan diapun cepat meloncat dan menghadang.

“Berhenti!” bentaknya dalam Bahasa Mongol yang sudah dipelajarinya dengan baik.

Orang Mongol itu memandang dengan mata merah dan beringas, apalagi ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang pemuda Bangsa Han, bangsa yang dianggapnya sebagai musuh besar semenjak bangsanya kehilangan kekuasaannya di selatan, setelah penjajah Mongol berakhir.

“Keparat orang Han, minggir dan jangan mencampuri urusanku!” bentaknya dalam Bahasa Han yang cukup baik!

Memang, Bangsa Mongol banyak yang pandai berbanasa Han, hal ini tidak mengherankan kalau diingat bahwa mereka menjajah Tiongkok selama dua ratus tahun!

“Lepaskan gadis itu! Tidak pantas seorang laki-laki memaksa seorang gadis yang lemah!” kata pula Hong Beng sambil mengamati orang Mongol itu.

Seorang pemuda yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memiliki tubuh raksasa yang membayangkan kekuatan raksasa pula. Otot-otot menonjol keluar dan mengembang di bawah kulit yang kemerahan karena terbakar matahari. Dadanya bidang dan kedua lengannya yang berotot itu nampak mengandung tenaga luar biasa. Hal ini mudah dilihat karena pemuda Mongol itu telah menanggalkan baju atasnya yang kini diikatkan di pinggangnya. Tubuhnya yang kokoh kuat itu penuh dengan keringat yang membuat kulit tubuhnya mengkilat. Wajahnya membayangkan kekerasan hati dan keberanian, namun matanya yang agak kemerahan itu memandang beringas dan liar, dan ada sesuatu yang tidak wajar pada pandang matanya itu.

Karena marah menghadapi Hong Beng, pemuda Mongol itu lupa akan gadis yang berada dalam pondongannya dan menjadi lengah. Tangannya yang menutup mulut gadis itu mengendur dan kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu untuk menggigit tangan itu.

“Ughhhh....!”

Orang Mongol itu terkejut dan kesakitan, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas tanah. Demikian kuat lemparannya sehingga gadis itu terbanting dan bergulingan.

Hong Beng cepat menangkap dan mengangkatnya bangun. Gadis itu sejenak merasa nanar, akan tetapi ketika melihat bahwa ia telah ditolong oleh seorang pemuda Han yang tampan, ia merasa lega dan berbisik.

“Dia.... dia itu gila....“

Setelah berkata demikian, gadis ini lalu melarikan diri secepatnya kembali ke dalam dusun. Hong Beng melihat betapa gadis Mongol itu cantik dan manis sekali, akan tetapi diapun terkejut mendengar bisikan itu. Kiranya orang Mongol seperti raksasa ini adalah seorang yang gila, dan hal ini memperbesar bahaya. Melawan seorang gila amat berbahaya, karena tentu saja seorang gila berada di luar kesadarannya, dapat menjadi kuat bukan main, dan juga nekat dan tidak mengenal takut.

Melihat gadis itu melarikan diri, orang Mongol itu berseru keras dan mengejar, akan tetap Hong Beng sudah melompat di depannya dan menghadang.

“Engkau tidak boleh kejar gadis itu!” kata Hong Beng.

Orang itu berhenti, menatap wajah Hong Beng dengan matanya yang merah lalu mengeluarkan suara gerengan dari kerongkongannya seperti suara binatang buas, kemudian diapun menubruk dengan kedua lengan dipentang lebar, jari-jari tangan terbuka.

Serangan itu datang dengan mendadak dan cepat sekali, akan tetapi Hong Beng sudah siap sejak tadi. Dengan mudah dia mengelak dan menyelinap dari bawah lengan kanan lawannya. Akan tetapi orang itu membalik dan dengan kecepatan luar biasa, kini tangan kirinya menyambar untuk mencengkeram ke arah kepala Hong Beng!

“Hemm....!”

Pemuda ini terkejut juga, tidak mengira bahwa lawan ini demikian cepat gerakannya dan agaknya memiliki ilmu berkelahi yang cukup kuat dan mahir. Kembali Hong Beng mengelak dan menyampok lengan yang menyambar itu dari samping.

“Plakk!”

Hong Beng mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga yang bersembunyi di dalam lengan yang ditangkisnya itu.

Melihat betapa orang yang diserangnya itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangannya, orang Mongol itu menjadi semakin marah. Matanya melotot dan merah sekali, dan kini sambil mengeluarkan gerengan-gerengan menyeramkan, dia bergerak cepat menyerang Hong Beng membabi buta! Cepat dan kuat sekali serangannya, dan bertubi-tubi karena setiap kali dielakkan atau ditangkis, dia sudah menerjang lagi dengan lebih dahsyat.

Hong Beng tidak berniat memusuhi orang ini. Dia belum tahu apa yang telah terjadi dan siapa orang ini, siapa pula gadis tadi dan mengapa pula orang ini melarikan wanita itu. Siapa tahu kalau-kalau wanita itu masih keluarganya sendiri? Pula, dia tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Mongol karena diapun tahu bahwa orang-orang Mongol merasa sakit hati kepada orang Han dan menganggap Bangsa Han sebagai musuh mereka. Dia tidak ingin mencari gara-gara di tempat ini dan kalau dia tadi turun tangan, semata-mata karena dia ingin membebaskan seorang wanita dari tangan seorang pria yang hendak memaksanya.

Akan tetapi karena orang itu menjadi semakin ganas, serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat, Hong Beng merasa khawatir juga. Bukan tidak berbahaya kalau sampai terkena cengkeraman karena agaknya orang ini ahli gulat, ilmu berkelahi Bangsa Mongol yang terkenal itu. Dia harus dapat merobohkan orang ini tanpa membuat dia menderita luka berat, pikirnya. Ketika orang itu kembali menubruk, dia menyelinap ke samping dan kakinya menendang ke arah paha dengan maksud agar orang itu roboh dan dia akan melarikan diri.

“Bukkk!”

Hong Beng terkejut sekali karena merasa betapa sepatu kakinya bertemu dengan gumpalan daging paha yang kerasnya seperti besi saja! Kiranya orang ini selain kuat dan cepat, juga tubuhnya kebal! Dia mencoba lagi dengan memukul dan menampar ke arah pundak, dada dan bahu, namun hasilnya sama. Orang itu tidak roboh, jangankan roboh, tergoyangpun tidak oleh tamparan dan pukulannya yang dilakukan cukup keras tadi.

Pada saat itu, banyak orang berlari-lari keluar dari pintu dusun dan ternyata mereka adalah sekelompok orang Mongol. Di depan sendiri berjalan seorang laki-laki setengah tua bersama gadis yang ditolong oleh Hong Beng tadi dan kini mereka nonton perkelahian itu dengan wajah tegang.

Karena tidak nampak sikap marah dari mereka, hati Hong Beng menjadi lega. Jelas bahwa mereka itu tidak berpihak kepada si gila dan tidak akan mengeroyoknya karena kalau hal itu terjadi, tentu dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, dia menjadi semakin bingung. Bagaimana dia harus mengalahkan orang gila ini tanpa melukainya? Orang itu demikian cepat dan kuat, dan tubuhnya kebal bukan main. Sudah dicobanya untuk menampar bahkan menotok, namun hasilnya sia-sia, agaknya jalan darah orang ini terlindung oleh otot-otot kuat dan daging-daging yang keras.

Karena bingungnya, Hong Beng menjadi sedikit lengah dan tiba-tiba saja orang Mongol itu sudah menubruk dan mencengkeram lehernya! Hong Beng terkejut, membuang diri ke samping akan tetapi biarpun leher dan pundaknya luput, lengan kanannya tetap saja kena disambar dan dipegang oleh tangan kiri orang Mongol itu yang menyusul pula dengan tangan kanannya.

Dipegang oleh dua tangan yang demikian kuatnya, dengan jari-jari yang panjang dan besar, Hong Beng terkejut. Dia berusaha menarik tangannya, namun lengannya seperti dijepit oleh jepitan baja yang besar dan kuat.

Agaknya, biar dia menarik lengannya sampai copot dari pundaknya, cekalan orang Mongol itu takkan terlepas! Dan kini, orang itu mengerahkan tenaga. Hong Beng merasa betapa lengannya itu diremas dengan kekuatan raksasa. Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main. Daging lengan itu bisa hancur lebur, tulangnya bisa remuk berkeping kalau dibiarkan! Dia cepat mengerahkan sin-kangnya melindungi lengan itu, kemudian dia mencari akal untuk dapat merobohkan orang itu dan membebaskan dari cengkeraman. Biarpun lengannya sudah dilindungi sin-kang, kalau dilanjutkan, lengan itu bisa rusak. Akhirnya dia mendapatkan akal.

“Haiiiittt!”

Hong Beng mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya bergerak menyambar dengan cepat.

“Dukkk!”

Dengan tangan miring, Hong Beng memukul ke arah belakang telinga kanan orang Mongol itu. Begitu kena pukulan, tiba-tiba tubuh orang Mongol itu terkulai lemas dan pegangannya pada lengan Hong Beng terlepas. Pemuda ini meloncat ke belakang dan tubuh lawannya roboh terkulai dalam keadaan pingsan. Perhitungan Hong Beng memang tepat. Biarpun pukulannya tidak dapat melukai lawan, namun pukulan sin-kang itu cukup kuat untuk mengguncangkan otak dan membuat lawannya roboh pingsan!

Terdengar seruan-seruan heran dan kagum di antara para penonton yang terdiri dari orang-orang Mongol itu. Agaknya mereka merasa heran bukan main melihat ada orang yang mampu merobohkan raksasa Mongol yang gila itu tanpa melukainya, apalagi membunuhnya.

Orang Mongol setengah tua yang tadi berjalan di depan bersama gadis itu kini melangkah maju. Bahasanya cukup baik ketika dia menegur Hong Beng dalam Bahasa Han,

“Orang muda, terima kasih atas pertolanganmu kepada Mayani, anak perempuan kami yang tadi akan dilarikan oleh si gila ini. Dia itu adalah keponakanku sendiri, akan tetapi telah beberapa bulan menderita penyakit gila. Orang muda yang gagah, perkenalkan aku adalah Agakai, ketua dari kelompok suku yang kini berada di dusun itu. Siapakah namamu, orang muda yang gagah?”

Hong Beng memandang kepada kakek setengah tua itu penuh perhatian. Seorang laki-laki yang bersikap anggun dan gagah, sepasang matanya bersinar penuh kewibawaan. Bukan laki-laki sembarangan, pikirnya. Dan gadis bernama Mayani yang menjadi anak perempuan kepala suku ini, memang manis sekali dan gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut tersenyum ramah dan manis.

“Nama saya Gu Hong Beng, dan saya adalah seorang perantau yang sedang dalam perjalanan. Kebetulan melihat nona ini dilarikan orang, maka dengan lancang saya turun tangan membantunya, harap dimaafkan.”

Agakai tertawa.
“Ha-ha, engkau sungguh pandai merendahkan diri, orang muda. Mari, kami persilahkan engkau untuk singgah sebentar untuk mempererat perkenalan antara kita.”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Dia tadi memang ingin sekali mencari arak atau makanan, akan tetapi setelah terjadi keributan itu, dia merasa lebih senang kalau dapat melanjutkan perjalanannya. Agaknya, kepala suku itu melihat keraguannya, maka diapun cepat berkata,

“Gu-taihiap, kami mengundangmu bukan hanya sekedar mempererat persahabatan, melainkan kami ingin mengundang taihiap menghadiri pesta pertemuan antara kami dengan beberapa orang tokoh pejuang.”

“Tokoh pejuang?” Hong Beng tertarik dan merasa heran. “Siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang sakti, dan mereka itu merupakan pejuang-pejuang rakyat yang melihat betapa rakyat menderita di bawah pemerintah Mancu, mereka bergerak dan berusaha menentang pemerintah Mancu. Mereka kini mengadakan pertemuan dengan kelompok kami karena mereka menawarkan kerja sama dengan kami. Kami harap engkau suka hadir, taihiap, karena kami percaya bahwa seorang pendekar sakti sepertimu tentu dapat membantu kami dalam menentukan sikap terhadap ajakan mereka.”

Hati Hong Beng semakin tertarik. Ingin dia melihat siapakah mereka yang disebut pejuang-pejuang itu. Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa! Amat menarik hati memang. Dia sudah mendengar tentang para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan diam-diam dia menaruh hati kagum terhadap mereka, walaupun dia sendiri tidak berminat untuk mencampuri perjuangan yang belum dimengertinya benar.

Hong Beng menerima undangan kepala suku yang bernama Agakai itu, setelah Mayani, gadis Mongol itu ikut membujuk dengan mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan kesempatan membalas pertolongan Hong Beng dengan suguhan arak dan daging. Kelompok orang Mongol itu kembali ke dusun dan si Mongol gila tadi kini dibelenggu kaki tangannya dan dibawa masuk pula ke dalam dusun.

“Kami baru sepekan berada di sini,” kata Agakai ketika mereka memasuki dusun, kepada Hong Beng. “Kami memilih tempat ini, meminjam dari orang-orang Hui, untuk mengadakan pertemuan dengan para pejuang seperti telah kami rencanakan.”

Dusun itu sederhana saja dan Agakai berada di tempat itu bersama puterinya yang berusia sembilan belas tahun itu. Dia sendiri seorang duda berusia empat puluh lima tahun, dan dia membanggakan diri sebagai keturunan Jenghis Khan, itu raja besar dari Kerajaan Mongol ketika menjajah di selatan. Ayahnya, mendiang Tailu-cin, dahulu selalu menyatakan sebagai keturunan Jenghis Khan. Betul tidaknya, Agakai sendiri tidak tahu pasti.

Memang banyak dahulu raja besar Jenghis Khan mempunyai anak, banyak di antaranya di luar nikah dan tidak diakuinya, bahkan mungkin tidak diketahuinya, anak-anak yang terlahir dari wanita-wanita yang pernah menjadi tawanan perang dan dijadikan isteri untuk beberapa malam saja!

Hong Beng diterima sebagai tamu kehormatan, disuguhi minum susu dan arak, dan disuguhi pula makanan dari daging, yang biarpun aneh bagi lidahnya karena bumbunya berbeda dengan masakan yang biasa dimakannya, namun cukup lezat.

Mayani sendiri lalu berdandan, bersama beberapa orang gadis lain lalu mengadakan pertunjukan tari dan nyanyi untuk menghormat pemuda Han yang tampan dan gagah perkasa, yang telah menyelamatkannya dari tangan orang gila tadi.

Ngeri ia membayangkan bagaimana akan menjadi nasibnya kalau saja ia tidak ditolong oleh Hong Beng tadi karena si gila itu, sebulan yang lalu, pernah pula melarikan seorang gadis dan tiga hari kemudian, dia ditangkap di dalam sebuah guha sedangkan gadis itu yang diperkosanya secara buas, telah menjadi mayat!

Hanya karena raksasa gila itu masih keponakan kepala suku, maka dia tidak dibunuh melainkan dirantai dan disekap di belakang. Akan tetapi, pagi tadi dia dapat melepaskan diri dan hampir saja membuat korban baru atas diri Mayani, saudara misannya sendiri!

Dan malam hari itu, datanglah tamu-tamu lain, yaitu para pejuang yang hendak mengadakan pertemuan rapat dengan Agakai dan anak buahnya. Hong Beng sebagai seorang tamu, tidak keluar menyambut, melainkan tinggal di dalam kamar yang disediakan untuknya. Baru setelah pertemuan dan pesta itu diadakan pada malam hari itu, Hong Beng dipersilahkan keluar dan menghadirinya.

Ternyata yang datang adalah dua puluh lebih orang-orang yang berpakaian sebagai tosu, dipimpin oleh lima orang tosu tua. Mereka disambut oleh Agakai dan para pembantunya, dan pada malam hari itu, diadakanlah pesta pertemuan itu di pekarangan rumah besar di dalam dusun, di mana telah disediakan meja kursi dan penerangan lampu yang cukup banyak. Dusun itu sederhana, tidak ada rumah yang cukup besar di situ untuk menjadi tempat pertemuan, maka pesta pertemuan itu diadakan di tempat terbuka.

Lima orang tosu itu duduk di meja besar, disambut oleh Agakai yang duduk pula di situ bersama lima orang pembantunya, yaitu mereka yang dianggap tokoh di antara kelompok mereka. Mayani duduk di barisan belakang ayahnya, tidak ikut dalam rapat, akan tetapi juga tidak menjadi pelayan, melainkan bagai pendengar saja.

Ketika Hong Beng dipersilahkan duduk, pemuda itu memandang kepada lima orang tosu tadi dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia terkejut karena dia mengenal bahwa dua di antara lima orang tosu itu pernah dilihatnya. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan dia pernah berjumpa dengan dua orang tosu itu, dan dua orang tosu itupun agaknya tidak memperlihatkan tanda bahwa mereka mengenalnya. Agakai memperkenalkan Hong Beng kepada para tamunya.

“Tamu kehormatan kami yang kebetulan berada di sini adalah taihiap Gu Hong Beng yang telah menyelamatkan puteri kami dari ancaman malapetaka. Gu-taihiap, para pendeta inilah pejuang-pejuang yang pernah kami ceritakan kepadamu.”

Hong Beng memberi hormat kepada para pendeta itu yang dibalas oleh mereka, akan tetapi mereka bersikap acuh saja kepadanya. Ketika para pendeta itu bangkit membalas penghormatannya, barulah Hong Beng melihat bahwa di jubah para pendeta itu, di bagian dada, terdapat lukisan-lukisannya.

Tiga orang pendeta memiliki lukisan bunga teratai di dada jubah mereka, sedangkan yang dua lagi terdapat lukisan segi delapan. Diam-diam dia terkejut. Kiranya para tosu ini adalah pendeta-pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai! Memang dia tahu bahwa kedua perkumpulan ini merupakan pemberontak-pemberontak atau menurut istilah mereka adalah pejuang-pejuang, akan tetapi pejuang macam apa!

Mereka tidak segan-segan untuk mengelabuhi rakyat agar mendukung gerakan mereka, akan tetapi walaupun mereka memusuhi pemerintah Mancu, namun merekapun terkenal sebagai golongan yang tidak segan melakukan segala macam kecabulan dan kejahatan demi mencapai tujuan mereka!

Orang-orang gagah dari dunia persilatan tidak suka kepada mereka dan selalu menjauhi mereka. Bahkan para pendekar yang berjiwa patriot dan berjuang pula menentang penjajah, segan untuk bekerja sama dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Hatinya merasa tidak enak dan penuh curiga, akan tetapi Hong Beng hanya duduk diam saja, memperhatikan percakapan antara mereka yang mulai berlangsung.

“Selamat datang dan selamat malam, para totiang yang terhormat,” kata Agakai. “Seperti telah kita sepakati bersama, kami telah berhasil membujuk dan mengusir penghuni dusun ini, orang-orang Hui, untuk meminjamkan dusun ini kepada kami selama beberapa hari agar kita dapat mengadakan pertemuan di sini. Kami masih belum yakin benar akan cerita tentang perjuangan golongan kalian, maka kami minta agar kalian suka menjelaskan lagi agar kami dapat mempertimbangkan apakah dapat menerima uluran tangan kalian untuk bekerja sama.”

Tosu berjenggot panjang dan memegang tongkat berbentuk naga hitam, segera mengelus jenggotnya dan agaknya dialah yang menjadi juru bicara kawan-kawannya.

“Siancai kami hargai kejujuranmu, saudara Agakai. Pertama-tama pinto (aku) ingin menceritakan mengapa kami sengaja memilih saudara untuk bekerja sama. Kami tahu bahwa saudara Agakai adalah keturunan langsung dari Sang Maharaja Jenghis Khan yang maha besar di jaman lampau, oleh karena itu kami merasa yakin bahwa tentu saudara mempunyai semangat untuk mendirikan kembali Kerajaan Goan di mana bangsa saudara merajai seluruh Tiongkok. Nah, kami membutuhkan orang bersemangat seperti saudara untuk menggerakkan seluruh Bangsa Mongol yang jaya untuk menumbangkan kekuasaan Mancu.”