Ads

Minggu, 20 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 045

“Tapi.... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai....“

“Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti.”

Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui.

Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya, dengan isterinya yang berwajah pucat dan mata merah, karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!

Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam mengajar Tek San.

Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!

“Gu Toan,”

Kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu.

“Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.”

“Hamba mengerti, Taijin.”

“Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Go-bi-san, kau carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?”

Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala.

“Nah, kau berkemaslah,”

Kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.

Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.

Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu.






Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.

Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka dan kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia.

Mereka mengenakan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw!

Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!

Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.

Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sambil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.

“Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu....”

Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.

“Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.

“Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh....“

Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.

“Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?” Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.

“Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....“

“Bukalah!” kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. “Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.”

Mendengar ini, penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.

Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh “pulas” di tempatnya.

Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!

Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget. Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.

“Plak!”

Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu.

Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.

“Tek San! Cepat, kau pondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!”

Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.

“Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!”

Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana.

Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu.

Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!

“Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!”

“Tek San, ikuti aku!”

Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.

Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar