Ads

Senin, 28 Desember 2015

Suling Naga Jilid 018

Dengan cerdik Bi Lan dapat mengambil Ban-tok-kiam ketika ia diajak pergi oleh sucinya malam itu, dengan alasan bahwa ia hendak kembali sebentar mengambil pakaiannya. Bi-kwi menanti di bawah puncak tanpa curiga dan dengan menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, Bi Lan mengikuti sucinya yang membawanya lari menuju ke selatan.

Perjalanan ini mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati Bi Lan. Sejak kecil, dalam usia sepuluh tahun, ia telah ikut bersama Sam Kwi yang membawanya tinggal di gunung-gunung dan di tempat-tempat sunyi. Jarang Bi Lan memperoleh kesempatan bergaul dengan orang lain dan ia hanya mengenal keadaan dunia melalui cerita tiga orang gurunya dan sucinya saja.

Paling banyak, ketika ia masih ikut suhu-suhunya, ia melihat dusun-dusun dan bertemu dengan penduduk dusun dan pegunungan yang hidup sederhana. Oleh karena itu setelah kini melakukan perjalanan bersama Bi-kwi, memasuki kota-kota besar, Bi Lan merasa gembira sekali, gembira dan penuh keliaran memandangi rumah-rumah besar di dalam kota, toko-tokonya dan keramaian kota. Mulai teringat pulalah kehidupan di dunia ramai yang ditinggalkan semenjak ia berusia sepuluh tahun itu.

Kenyataan yang mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat kerusakan-kerusakan dan bekas kehancuran sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan di selatan, juga ia harus menahan perasaannya ketika ia dan sucinya memasuki kota-kota besar, ia melihat betapa pandang mata kaum pria yang ditujukan kepada ia dan sucinya, hampir semua mengandung kekurang ajaran dan nafsu berahi yang menjijikkan. Ia melihat seolah-olah kaum pria itu, sebagian besar, memiliki mata serigala yang melihat kelinci-kelinci montok lewat di depan hidung mereka!

Bi Lan adalah seorang gadis berusia tujuhbelas tahun lebih. Walaupun pengalamannya dengan kaum pria dapat dikata nol, akan tetapi naluri kewanitaannya dapat menangkap semua pandang mata kaum pria itu yang membuat gadis ini selain heran juga terkejut dan tidak enak, merasa canggung dan ngeri, seolah-olah dikepung bahaya.

Akan tetapi, jauh di dalam batinnya terdapat pula suatu perasaan aneh, perasaan bangga dan senang yang dengan keras ditutupnya. Ia tidak tahu bahwa semua perasaan wanita, semenjak ia dewasa, sama dengan perasaannya itu.

Sudah menjadi watak pria yang sesuai dengan naluri dan kejantanan mereka untuk tertarik apa bila melihat wanita muda yang cantik, dan pandang mata mereka selalu akan menempel pada penglihatan itu seperti bubuk-bubuk besi menempel pada semberani sehingga pandang mata mereka mengandung kekaguman dan kemesraan.

Dan justeru naluri alamiah wanita adalah butuh akan kekaguman dari kaum pria ini. Tidak ada wanita yang tidak merasa bangga, dan senang dikagumi pandang mata pria, walaupun hukum-hukum kesopanan dan kesusilaan memaksa wanita itu pura-pura tak senang, atau bahkan marah, atau setidaknya akan menyimpan rasa bangga dan senang ini jauh di dalam hatinya sendiri sebagai suatu rahasia pribadinya.

Inilah sebabnya mengapa wanita paling mudah jatuh menghadapi rayuan-rayuan mulut manis dari para pria petualang asmara mempergunakan kelemahan wanita ini untuk menjatuhkannya dengan rayuan-rayuan dan pujian-pujian.

Bi-kwi mengajak Bi Lan memasuki Propinsi Yunan di selatan. Pada waktu itu, pemberontakan telah dapat dipadamkan dan Propinsi Yunan sudah menjadi tenang dan tenteram kembali. Rakyat di daerah itu yang paling parah menderita akibat perang pemberontakan, telah kembali ke daerah masing-masing. Yang kehilangan rumah kini mulai membangun kembali dari bawah dan biarpun masih nampak bekas reruntuhan akibat perang, namun agaknya para penghuninya sudah merupakan peristiwa menyedihkan itu dan tidak lagi terbayang ketakutan pada wajah mereka.

Pada suatu pagi, tibalah dua orang wanita itu di kota Kun-ming yang merupakan kota terbesar di Propinsi Yunan. Karena dalam perjalanan itu Bi-kwi memilih jalan terdekat, maka jarang mereka melewati kota besar, hanya dusun-dusun dan kota-kota kecil, maka begitu memasuki kota besar Kun-ming di selatan ini, Bi Lan memandang penuh kekaguman. Ia masih ingat bahwa keluarga orang tuanya juga datang dari Yunan selatan.

Ketika perjalanannya membawanya tiba di Propinsi Yunan, mendengar suara percakapan orang-orang di dusun-dusun yang dilewatinya saja sudah mendatangkan keharuan di hatinya, mendatangkan keyakinan bahwa memang ia berasal dari Yunan. Ia mengenal betul logat bahasa daerah Yunan, walaupun ia sendiri kini sudah berlogat lain, namun logat bahasa selatan itu tidak asing baginya, bahasa orang tuanya, bahasanya ketika ia masih kecil.

Hari itu masih pagi, akan tetapi jalan-jalan raya di kota Kun-ming sudah ramai oleh mereka yang pergi ke pasar-pasar. Banyak toko yang masih tutup, akan tetapi toko-toko yang sudah buka merupakan penglihatan yang mendatangkan kagum dan heran di hati Bi Lan. Berkali-kali ia bertanya kepada Bi-kwi arti tulisan-tulisan yang terpampang di depan toko-toko atau rumah-rumah besar sehingga Bi-kwi menghardiknya untuk diam karena ia merasa jengkel harus menerangkan sejak tadi arti tulisan-tulisan yang hanya merupakan nama-nama dari toko yang mereka lewati atau kata-kata reklame toko untuk menarik langganan.

Memang Bi Lan seorang gadis buta huruf, ia hanya puteri seorang petani yang tidak sempat menyekolahkannya, dan sejak berusia sepuluh tahun ia ikut dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang sama sekali tidak perduli akan pendidikannya, bahkan menganggap bahwa melek huruf merupakan hal yang tidak ada gunanya bagi wanita! Akan tetapi Bi-kwi sempat mempelajari baca tulis walaupun hanya secara sederhana.

Ketika mereka melewati sebuah rumah makan besar yang sudah buka, hidung mereka dilanggar bau masakan yang sedap dan perut mereka segera memberi isyarat bahwa sejak kemarin siang mereka belum makan apa-apa. Bi-kwi memberi isyarat kepada sumoinya dan merekapun melangkah ke arah restoran itu.

Bi Lan tersenyum girang.
”Wah, kalau yang ini tak perlu kau ceritakan, suci. Aku tahu bahwa di sini tentu dijual makanan enak.”

Mau tak mau Bi-kwi tersenyum juga.
”Engkau memang gadis tolol. Tak perlu banyak bertanya, lihat saja dan kau tentu akan mengerti sendiri.”

Seorang pelayan menyambut dua orang tamu ini dan wajahnya tersenyum gembira ketika dia melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik dan manis-manis. Dia memandang dengan sinar mata penuh selidik. Seorang wanita berusia tigapuluh tahunan, berpakaian mewah dan indah, sinar matanya genit, wajahnya manis dan bertambah cantik oleh riasan muka, seorang wanita yang matang dan menarik.

Orang ke dua adalah seorang yang jelas merupakan seorang gadis yang baru mekar, berpakaian sederhana sekali, bahkan mukanya tanpa bedak, akan tetapi kulit muka itu jauh lebih halus dan mulus dibandingkan dengan wanita pertama, dan bentuk tubuh gadis belasan tahun itu demikian ramping seolah-olah pinggangnya dapat dilingkari empat jari tangan si pelayan.

“Selamat pagi, nona-nona. Apakah ji-wi hendak sarapan?”






Bi-kwi mengangguk.
“Silahkan masuk, ji-wi siocia, silahkan duduk.”

Pelayan itu membawa mereka ke sebuah meja di sudut, di mana para pelayan dan pengurus rumah makan dapat melihat mereka dengan jelas, sebaliknya tempat ini menyenangkan hati Bi-kwi karena di sini ia dapat duduk sambil melihat ke semua penjuru, juga ke arah jalan raya di depan restoran.

Tidak banyak tamu di restoran itu sepagi ini. Hanya ada lima meja yang terisi, di antara tigapuluh lebih meja di ruangan yang cukup luas itu. Bi-kwi lalu memesan makanan dan minuman. Bi Lan tak pernah membuka mulut, membiarkan sucinya yang memesan makanan apa saja karena ia tidak tahu harus memilih apa. Akan tetapi ia teringat akan minuman dan berbisik.

“Suci, aku minum teh saja, teh panas.”

Mendengar ini, pelayan itu tersenyum lebar dan memandang kepada Bi Lan sambil mengangguk.
”Kami terkenal dengan teh kami yang harum, nona.”

Bi-kwi mengangkat mukanya dan memandang wajah pelayan itu. Sinar matanya menyambar seperti dua batang anak panah dan muka yang tadinya menyeringai dalam senyum ramah itu segera berobah dan si pelayan menunduk dan membungkukkan tubuhnya. Dia terkejut melihat sepasang mata yang jeli itu seperti berapi, dan tahu bahwa wanita itu marah, maka dia tidak berani lagi bersikap main-main.

“Apakah arakmu juga sebaik tehmu?” tanya Bi-kwi ketus.

Pelayan itu membungkuk-bungkuk.
”Tentu, tentu.... nyonya, arak kami....“

“Brakk!”

Bi-kwi menggebrak meja sehingga pelayan itu terkejut. Bi Lan menahan ketawanya karena geli melihat sikap sucinya dan pelayan itu.

“Suci bukan nyonya, masih nona,” katanya karena ia dapat menduga mengapa sucinya marah-marah disebut nyonya.

“Oh.... eh.... nyo.... nona, maafkan saya” melihat si pelayan menjadi gagap gugup, Bi Lan tertawa.

Suara ketawanya bebas lepas, tanpa menutupi mulutnya karena ia memang tak pernah diajar sopan santun seperti orang-orang kota, seperti wanita-wanita yang dianggap sopan menutupi mulut kalau tertawa. Hal ini tentu saja menarik perhatian para tamu lain yang duduk di situ dan merekapun menengok, lalu ikut tersenyum melihat betapa seorang gadis, agaknya gadis dusun, tertawa begitu gembira.

“Sumoi, diam kau!” Bi-kwi mendesis dan Bi Lan menahan ketawanya. ”Dan kau jangan cerewet dan ceriwis!” bentak Bi-kwi kepada si pelayan. ”Cepat sediakan teh panas, arak baik dan nasi, daging panggang dan dua mangkok sayur yang paling enak!”

Kini pelayan itu tidak berani banyak lagak lagi. Dia membungkuk-bungkuk.
”Baik, nona, baik, nona.“

Akan tetapi saking gugupnya, ketika dia meninggalkan meja itu dan menghampiri meja pengurus untuk melaporkan pesanan, dia lupa berapa banyak sayuran yang dipesan Bi-kwi, maka dengan muka kecut terpaksa dia menghampiri lagi meja dua orang wanita itu.

Hal ini tak lepas dari perhatian Bi Lan yang merasa betapa orang ini lucu sekali.
“Maaf, nona. Tadi.... pesanan sayurnya berapa banyak?”

Bi-kwi sudah hampir menghardiknya, akan tetapi didahului oleh Bi Lan yang membentak dengan wajah tersenyum geli.

”Dua mangkok!”

Bentaknya nyaring, mengejutkan si pelayan dan kembali menarik perhatian para tamu. Setelah si pelayan pergi, Bi-kwi mengomel kepada sumoinya.

“Tak perlu engkau tertawa dan berteriak-teriak seperti itu. Apakah kau ingin menarik perhatian orang-orang?”

“Maaf, nyo.... eh, nona....”

Bi Lan menirukan suara dan gaya si pelayan sehingga Bi-kwi terpaksa menyeringai gemas. Bi Lan adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki dasar watak gembira dan lincah jenaka. Kalau tadinya ia bersikap aneh, hal itu adalah karena ulah sucinya yang memberi pelajaran yang menyesatkan sehingga pikirannya bingung dan agak berobah.

Akan tetapi setelah ia menerima pengobatan dari Pendekar Naga Sakti dan isterinya, dan sembuh sama sekali dari pengaruh hawa beracun, dasar wataknya itupun muncul kembali. Maka, setelah ia berada di dalam kota dan merasa gembira dapat melihat daerah asalnya, kegembiraannya timbul dan melihat ulah pelayan yang demikian lucu, iapun segera menggodanya.

Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa makanan dan minuman yang dipesan, dan Bi Lan segera menikmati hidangan itu. Memang nikmat, karena selama ini di puncak Thai-san, ia makan masakannya sendiri dan masakan sucinya yang sederhana sekali, asal sudah diberi garam, cukuplah.

Dengan lirikan ujung matanya, Bi Lan melihat betapa seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan itu, sejak tadi kadang-kadang melirik ke arah mejanya. Pemuda ini belum tua benar, paling banyak duapuluh tahun. Seorang pemuda yang berwajah cerah dan tampan, namun amat sederhana, baik perawatan muka dan rambutnya yang dikuncir tebal itu maupun pakaiannya yang hanya terbuat dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit.

Pemuda itu makan bakmi dengan sumpitnya, dan cara makannya juga sopan, tanda bahwa pemuda itu bukan orang yang suka ugal-ugalan walaupun pakaiannya tidak menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar.

Di atas mejanya terdapat sebuah buntalan yang agak panjang, mungkin terisi pakaian dan ini saja menandakan bahwa pemuda itu tentu seorang pendatang dari luar kota pula, bukan penduduk di situ dan agaknya dia baru saja masuk kota, terbukti dari bekal pakaian yang masih dibawanya, seperti juga Bi Lan dan Bi-kwi sendiri yang menaruh buntalan pakaian mereka di atas meja.

Juga Bi Lan melihat betapa sucinya beberapa kali mengerling ke arah pemuda itu dan karena inilah sebetulnya maka ia menjadi tertarik dan ikut-ikut melirik. Dari sikap sucinya, ia dapat menduga bahwa sucinya sudah kambuh pula penyakitnya, yaitu penyakit mata keranjang. Tentu sucinya naksir pemuda tampan itu, pikirnya dan kembali ada perasaan tidak enak menekan hatinya. Sejak dahulu, melihat watak sucinya, ia merasa muak dan tidak senang. Akan tetapi karena hal itu adalah urusan pribadi sucinya, iapun pura-pura tidak tahu dan tidak ingin mencampurinya pula.

Tiba-tiba seorang pelayan berseru,
“Celaka, dia datang lagi.!”

Dan mendengar seruan ini, pengurus restoran menjadi pucat wajahnya, dan semua pelayan juga nampak gugup ketakutan. Pengurus restoran yang kurus itu lalu mengambil uang dari laci mejanya dan menyembunyikannya di bawah tumpukan bungkusan bumbu-bumbu masakan. Beberapa orang tamu yang melihat hal itu menjadi heran, dan ada juga yang menjadi khawatir karena tentu akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Tak lama kemudian, di depan pintu restoran itu sudah muncul seorang laki-laki. Dengan sudut matanya, Bi Lan dan Bi-kwi melirik. Laki-laki itu usianya kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya nampak tegap dan kokoh kuat. Akan tetapi yang menyolok adalah pakaian laki-laki ini yang terbuat dari kain yang berwarna serba merah! Lebih menyolok lagi adalah sepasang golok yang dijadikan satu dan masuk dalam satu sarung, tergantung di pinggang kirinya.

Di jaman itu, membawa senjara tajam secara demikian menyolok merupakan hal yang aneh, karena pemerintah sudah lama melarang membawa senjata tajam di tempat umum. Hal ini saja menunjukkan bahwa tentu orang berpakaian serba merah ini adalah seorang jagoan.
Laki-laki baju merah itu memiliki sepasang mata yang lebar dan sikap yang galak. Begitu tiba di depan pintu, matanya lalu menyapu ruangan restoran, melihat ke arah para tamu yang hanya enam meja itu, dan agak lama pandang matanya berhenti pada meja Bi Lan.

”Hemmm, rakyat hidup sengsara dan kekurangan, kurang makan kurang pakaian, dan kalian enak-enak makan lezat di sini. Sungguh tidak tahu perikemanusiaan! Hayo seorang menyumbang seharga makanan yang dipesannya!”

Tentu saja ucapan dan sikap laki-laki ini mendatangkan bermacam reaksi di kalangan para tamu. Ada yang memandang marah, ada yang ketakutan dan suasana menjadi tegang. Pengurus restoran yang kurus itu tergopoh-gopoh lari menghampiri laki-laki baju merah yang sudah melangkah memasuki restoran, tangannya membawa segenggam uang dan dia membungkuk-bungkuk di depan laki-laki itu.

“Harap si-cu (orang gagah) jangan mengganggu para tamu kami. Kemarin dulu, kedatangan si-cu menimbulkan kepanikan dan kalau terus-menerus begini, tamu-tamu dan langganan kami akan takut untuk makan di restoran kami. Harap si-cu maafkan kami dan suka meninggalkan tempat kami, ataukah si-cu ingin makan minum? Mari silahkan.”

“Diam!” hardik orang baju merah itu. ”Dan jangan mencampuri urusanku!”

“Tapi, si-cu, ini adalah tempat kami, tempat kami mencari nafkah.... harap si-cu suka menerima sedikit sumbangan ini. Biarlah kami atas nama para tamu menyerahkan sumbangan ini.”

Si kurus itu dengan tangan gemetar lalu memberikan segenggam uang itu kepada si baju merah. Si kurus melihat segenggam uang itu dan karena uang itu hanya terdiri dari uang kecil, marahlah dia.

“Aku bukan pengemis!”

Bentaknya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia sudah mencengkeram baju si pengurus restoran bagian dadanya, mengangkat tubuh orang itu dan sekali lempar, tubuh si kurus itu terjengkang dan terbanting, uang kecil segenggam itu jatuh berhamburan di atas lantai.

Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan semua tamu. Tiga orang tamu pria yang duduk paling depan, merasa takut dan cepat-cepat mereka membayar harga makanan ke meja pengurus yang kini sudah melangkah ketakutan dan kembali ke belakang mejanya tanpa memunguti uang yang berhamburan tadi, kemudian tiga orang itu hendak melangkah keluar dari restoran.

Akan tetapi tiba-tiba orang baju merah itu sudah menghadang mereka dan memalangkan lengan kanannya depan pintu.

“Bayar dulu kepadaku seharga makanan kalian itu, baru kalian boleh keluar dari sini,” katanya.

“Akan tetapi kami sudah bayar makanan kami. Kalau engkau hendak minta sumbangan, seharusnya kepada pemilik restoran, bukan kepada kami!” kata seorang di antara tiga orang itu, sikapnya agak berani karena mereka bertiga dan pengacau itu hanya seorang saja.

“Aku minta kepada pemilik restoran atau tidak adalah urusanku, kalian tidak perlu mencampuri. Aku datang untuk minta pajak kepada kalian, kalau tidak mau beri, terpaksa aku akan mengeluarkan lagi makanan dan minuman yang tadi kalian makan!”

Ucapan ini biarpun berupa ancaman akan tetapi dianggap tak masuk akal, maka tiga orang itu berkeras menolak.

”Engkau sungguh mau enak sendiri saja!” seorang di antara mereka mencela.

Tiba-tiba si baju merah itu bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu tiga orang itu telah dipukul dan ditendangnya, masing-masing satu kali dan tepat mengenai perut mereka bagian atas, bawah ulu hati. Keras sekali pukulan dan tendangan itu, mengguncangkan pencernaan mereka dan tanpa dapat dicegah lagi, tiga orang itu lalu muntah-muntah dan semua makanan yang tadi mereka makan benar saja keluar semua!

“Masih belum mau bayar?” bentak si baju merah.

Tiga orang itu dengan menahan rasa nyeri dan ketakutan, terpaksa merogoh saku dan membayar kepada si baju merah sebanyak yang mereka bayar kepada pengurus restoran tadi. Tamu-tamu lain dari tiga meja berikutnya, cepat membayar harga makanan dan tanpa banyak membantah merekapun membayar kepada si baju merah ketika mereka keluar dan terhadang oleh si baju merah. Kini tinggal pemuda yang duduk sendirian dan dua orang wanita yang masih melanjutkan makan minum.

Bi Lan sejak tadi merasa betapa perutnya panas. Ingin sekali ia bangkit dan memberi hajaran kepada si baju merah itu. Akan tetapi ia selalu dididik oleh Sam Kwi dan Bi-kwi agar tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak menyangkut diri sendiri. Biar ada orang membunuh atau menyiksa orang lain, kalau hal itu tidak merugikan diri sendiri, tidak perlu dicampuri, demikian pelajaran yang diterimanya.

Biarpun kini ia merasa marah sekali terhadap si baju merah, pelajaran itu yang sudah meresap di hatinya membuat Bi Lan menahan kemarahannya. Apa lagi karena ia melihat betapa sucinya tetap makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Dan anehnya, ketika melirik ke arah pemuda itu ia melihat pemuda itu juga masih makan bakminya, perlahan-lahan seolah-olah pemuda itu sengaja berlambat makan bakminya dan memberi kesempatan kepada dua orang gadis itu untuk selesai lebih dulu dan membayar lebih dulu!

Akan tetapi Bi Lan melihat betapa sucinya juga melakukan hal yang sama, seolah-olah sucinya ingin melihat pemuda itu selesai lebih dulu dan sucinya ingin menjadi tamu yang paling akhir meninggalkan tempat itu.

Karena dua meja yang dinanti-nantinya itu agaknya sengaja memperlambat makan mereka, akhirnya si baju merah menjadi kehabisan sabar. Sejak tadi dia menanti sambil mengumpulkan uang hasil pemerasannya itu ke dalam sebuah kantong kecil. Dia duduk di atas meja paling depan dan memandanq kepada pemuda dan dua orang gadis yang masih enak-enak makan minum seolah-olah dunia ini amat tenteram dan penuh kedamaian!

Si baju merah menjadi tidak sabar. Dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan itu dan karena meja Bi kwi dan Bi Lan berada lebih dekat dari pada meja pemuda itu, maka si baju merah berhenti dekat meja mereka, kedua matanya yang lebar itu melotot memandang kepada Bi-kwi dan Bi Lan secara bergantian. Akan tetapi dia tidak jadi marah ketika melihat bahwa dua orang wanita itu ternyata lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari depan tadi.

Tiba-tiba Bi Lan yang sejak tadi merasa marah dan mendongkol kepada si baju merah berkata dengan suara lantang,

”Suci, masakan di restoran ini cukup lezat, akan tetapi sayang, ada lalat merah yang mengotorkan tempat ini. Sungguh menjijikkan!”

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan dan pemuda yang duduk sendirian itu mengomel seorang diri,
”Tepat sekali, lalat merah memuakkan!”

Tentu saja si baju merah menjadi marah karena dia tahu bahwa yang dinamakan lalat merah itu tentu dirinya. Akan tetapi dia malah tersenyum menyeringai dalam kemarahannya dan berkata,

”Dua nona manis, kalian tidak perlu membayar pajak kepadaku, cukup kalau kalian masing-masing memberi ciuman di bibirku, masing-masing tiga kali. Bagaimana?” Dia terkekeh secara kurang ajar sekali.

Bi Lan melihat api bernyala di kedua mata sucinya dan kalau tadi ia marah kepada si baju merah, kini ia merasa khawatir. Tak dapat diragukan lagi, kalau sucinya bangkit dan turun tangan, tentu si baju merah ini akan mati dalam keadaan mengerikan. Ia sudah mengenal kekejaman hati sucinya kalau sedang marah dan pada saat itu, sucinya marah sekali. Maka ia mendahului sucinya, bangkit berdiri dan menghadapi si baju merah tadi.

Melihat Bi Lan bangkit, si baju merah tertawa girang.
”Heh-heh, nona manis. Engkau yang akan memberi ciuman lebih dulu? Bagus, aku senang sekali!” katanya dan diapun meruncingkan bibirnya yang hitam kasar dan tebal.

“Plakk! Inilah ciumanku!”

“Aduhhh.... !”

Laki-laki itu terpelanting ketika pipinya terkena tamparan tangan Bi Lan. Dia merasa seolah-olah kepalanya pecah, demikian kuatnya tamparan itu tadi. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki kepandaian maka berani menamparnya. Kemarahan membuat dia lupa akan rasa nyeri di pipinya yang sudah membengkak merah, hampir sama dengan warna pakaiannya.

“Keparat! Berani engkau memukul aku? Tidak, tahu bahwa aku seorang tokoh Ang-i Mo-pang?” bentak laki-laki itu dan dia sudah mencabut keluar sepasang goloknya.

Tentu saja Bi Lan sudah mendengar nama perkumpulan Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah), karena sucinya pernah bercerita bahwa perkumpulan itu telah ditaklukkan oleh sucinya dan bahkan menjadi pembantunya. Akan tetapi mengapa ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang dan berani bersikap kurang ajar terhadap sucinya?

Akan tetapi pada saat itu, orang baju merah itu sudah menggerakkan sepasang goloknya, diputar-putarnya sepasang golok itu di atas kepala, dengan muka beringas dan sikap mengancam dia hendak menyerang Bi Lan.

Pada saat itu nampak cairan putih menyambar ke arah muka si baju merah yang tidak sempat mengelak dan tahu-tahu mukanya sudah kena siram kuah bakso yang panas. Dia gelagapan dan melangkah mundur, mengusap mukanya dan terutama matanya yang terasa pedih itu dengan lengan baju, lalu memandang ke kanan.

Kiranya yang menyiram mukanya dengan kuah bakso dari mangkok itu adalah seorang pemuda yang tadi duduk sendirian makan bakmi di meja sebelah dalam. Sepasang mata orang berpakaian merah itu mendelik. Kemarahannya memuncak. Baru kemarahan terhadap gadis di depannya yang telah menampar mukanya saja belum terlampiaskan, kini muncul lagi seorang pemuda yang begitu berani mati menyiram mukanya dengan kuah bakso.

Apa lagi ketika dilihatnya bahwa pemuda ini biasa saja, seorang pemuda yang usianya belum ada duapuluh tahun, berpakaian sederhana berwarna biru, tubuhnya sedang-sedang saja dan wajahnya bersih dengan kulit putih sehingga nampak cukup tampan. Tidak ada apa-apanya yang istimewa, juga tidak membayangkan seorang yang terlalu kuat atau yang memiliki ilmu silat tinggi.

Agaknya, pemuda itu tadi ketika melihat si baju merah mengeluarkan golok dan hendak menyerang Bi Lan, sudah bangkit dari tempat duduknya, tangan kanan masih memegang sepasang sumpit dan tangan kiri menyambar mangkok bakso yang sudah dimakannya dan tinggal kuahnya, lalu bangkit menghampiri laki-laki itu dan menyiramkan kuah bakso.

“Kau.... kau.... keparat bosan hidup!” bentak si tokoh Ang-i Mo-pang dan kini goloknya yang kanan sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.

Bi Lan yang sejak tadi memandang dengan heran atas keberanian pemuda itu, kini terkejut. Akan tetapi ia tidak mau mencampuri karena ia melihat betapa pemuda itu bersikap tenang sekali. Ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, pemuda itu sama sekali tidak nampak takut atau hendak mengelak, sebaliknya malah mengangkat tangan kanannya yang memegang sumpit dan dengan sepasang sumpit itu dia menyambut sambaran golok.

“Wuuuuttt.... !” Golok menyambar.

“Trakkk.... !”

Sepasang sumpit itu menyambut dan tahu-tahu sudah menjepit golok secara cepat dan luar biasa sekali. Tahu-tahu golok itu telah dijepit oleh sepasang sumpit dan tidak bergerak lagi!

Si baju merah terkejut bukan main karena tiba-tiba goloknya terhenti gerakannya. Dia cepat mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia belaka. Goloknya seperti telah dijepit jepitan baja yang amat kuat dan sama sekali tidak mampu dia menggerakkan golok itu, apalagi melepaskannya dari jepitan. Barulah dia dapat menduga bahwa seperti juga gadis cantik itu, si pemuda inipun ternyata bukan orang sembarangan.

Akan tetapi dasar wataknya memang sombong, dia tidak mau mengerti akan kenyataan ini, dan bahkan merasa penasaran. Golok di tangan kirinya juga menyambar, dengan cepatnya dia telah menggerakkan golok kiri itu untuk menusuk perut si pemuda baju biru.

Pemuda itu kembali tidak mengelak, akan tetapi tiba-tiba mangkok di tangan kirinya digerakkannya ke depan dan tepat memukul pergelangan tangan kiri lawan. Demikian cepat gerakannya sehingga sebelum golok itu menyambar, pergelangan tangan tokoh Ang-i Mo-pang sudah dihantam mangkok itu.

“Dukk!” Si baju merah mengeluarkan seruan kesakitan dan golok itu terlepas dari tangan kirinya.

“Mundurlah kau, kami tidak minta bantuanmu!”

Tiba-tiba Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi berseru dengan suara dingin. Pemuda itu agaknya terkejut mendengar suara dingin ini dan dia menarik kembali sepasang sumpitnya, lalu melangkah mundur dan menjura ke arah dua orang gadis itu.

“Maafkan saya,” katanya, lalu dia kembali ke mejanya, melanjutkan makan bakminya yang belum habis! Pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

“Hemmm, kau masih bengong di situ, tidak lekas berlutut? Kau harus mencium lantai sampai tiga kali dan minta ampun, baru aku akan membiarkan engkau pergi dari sini!” kata Bi Lan dengan sikap galak dibuat-buat.