Ads

Rabu, 30 Desember 2015

Suling Naga Jilid 023

Sore hari itu, setelah mandi dan berganti pakaian, Bi Lan diberitahu oleh pelayan bahwa hidangan telah disediakan dan bahwa ia diharapkan oleh tuan rumah untuk makan malam di ruangan makan.

Bi Lan mengikuti pelayan wanita itu dan memasuki sebuah ruangan yang bersih dan indah, di mana telah dipersiapkan hidangan di atas meja bundar yang cukup besar. Bau masakan yang masih panas menyambut hidungnya dan tiba-tiba saja Bi Lan merasa betapa perutnya amat lapar.

Oleh pelayan wanita ia dipersilahkan duduk. Tak lama Bi Lan menanti karena segera terdengar langkah-langkah orang dan ketika ia menengok, mukanya menjadi merah sekali melihat betapa sucinya datang bersama tuan rumah dalam suasana yang amat akrab dan mesra!

Sucinya tersenyum-senyum, bergandengan tangan dengan Bhok Gun dan menggerakkan kepala menengadah, memandang pria itu dengan sinar mata penuh kasih. Ia bergantung kepada lengan Bhok Gun dengan sikap manja dan mesra, seperti pengantin baru saja! Juga pakaian sucinya itu baru dan berbau harum ketika sudah tiba dekat. Tanpa diberitahupun maklumlah Bi Lan bahwa telah terdapat persetujuan dan kecocokan antara sucinya dan ketua baru Ang-i Mo-pang itu!

Mereka berdua duduk bersanding, berhadapan dengan Bi Lan dan Bi-kwi yang lebih dulu membuka suara berkata kepada sumoinya,

“Siauw-kwi, kami telah bersepakat untuk saling bantu, dan memang antara kami masih ada ikatan keluarga seperguruan. Sute Bhok Gun dan aku mau bekerja sama dan engkau menjadi pembantu kami.”

“Benar, sumoi Can Bi Lan, mulai sekarang aku adalah suhengmu. Kita berdua harus mentaati semua perintah suci Ciong Siu Kwi,” kata pula Bhok Gun dengan senyum manis kepada Bi Lan.

Diam-diam hati Bi Lan menjadi geli mendengar namanya dan nama sucinya disebut dengan lengkap. Sambil tersenyum geli ia menoleh kepada sucinya. Agaknya Bi-kwi maklum akan isi hati sumoinya, maka iapun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh,

“Sumoi, kita tidak lagi tinggal bersama tiga orang suhu kita dan sute tidak suka mendengar sebutan Bi-kwi dan Siauw-kwi. Bagaimanapun juga, kalau kelak kita menjadi orang-orang berkedudukan tinggi, segala sebutan jelek itu harus ditinggalkan dan mulai sekarang kita harus belajar menjadi orang sopan.”

Hati Bi Lan menjadi semakin geli.
“Suci, apakah ini berarti bahwa mulai sekarang engkau juga tidak akan melakukan hal-hal yang jahat lagi?”

Bi-kwi dan Bhok Gun saling bertukar pandang, lalu Bhok Gun yang menjawab,
“Sumoi, apa sih yang dimaksudkan dengan perbuatan jahat itu? Dia tidak pernah melakukan perbuatan jahat, yang kita lakukan adalah perbuatan yang menguntungkan diri sendiri. Bukankah ini sudah benar dan tepat? Kita berbuat untuk memperebutkan sesuatu yang baik dan menguntungkan untuk diri kita, untuk kehidupan kita. Kalau perlu kita singkirkan siapa saja yang manjadi penghalang kita.”

Bi Lan sudah hafal akan pendapat seperti itu, pendapat yang selalu ditanamkan oleh Sam Kwi, bahkan semua orang di dunia hitam atau golongan sesat.

“Maksudku bukan itu, suci,” katanya, tetap kepada Bi-kwi karena ia masih enggan harus bicara kepada laki-laki yang mengaku suhengnya dan yang matanya memiliki sinar seperti hendak menelanjanginya itu.

“Biasanya suci tidak perduli akan segala sopan santun, akan tetapi sekarang mendadak hendak merobah cara hidup. Sungguh lucu nampaknya,” katanya sambil tersenyum.

“Sudahlah, engkau masih terlalu muda untuk tahu akan urusan penting,” kata Bi-kwi.

“Mari kita makan, perutku sudah lapar sekali!”

Mereka lalu makan minum dan dua orang yang sedang berkasih-kasihan itu menyelingi makan minum itu dengan tingkah dan ucapan-ucapan mesra, kadang-kadang saling suap dengan sumpit mereka. Tentu saja hal ini membuat Bi Lan merasa canggung sekali dan ia menundukkan muka saja sambil makan dengan amat hati-hati.

Pengalamannyaa ketika ia diloloh arak oleh tiga orang suhunya, kemudian ditawan oleh Sam Kwi membuat ia berhati-hati dan sedikitpun tidak mau menyentuh arak. Ia tidak khawatir akan racun yang dicampurkan makanan atau minuman karena ia pernah mempelajari tentang racun dari Iblis Mayat Hidup yang ahli racun sehingga ia dapat menolak kalau sampai makanan atau minuman itu dicampuri racun.

Maka ia hanya makan makanan yang telah dimakan oleh tuan rumah, dan ia sama sekali tidak mau minum arak setetespun. Ia tidak melihat, karena selalu menundukkan muka, betapa Bi-kwi dan Bhok Gun kadang-kadang mengamatinya dengan pandang mata penuh selidik dan sikapnya yang hati-hati itu agaknya diketahui pula oleh mereka.

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa tadi, di dalam kamar Bhok Gun, ketika beristirahat dari kegiatan mereka untuk “saling mengenal” atau melihat apakah mereka dapat “bekerja sama”, dua orang itu telah menyinggung namanya, bahkan membicarakan tentang dirinya dengan serius.

“Agaknya sumoimu itu tidak suka padamu, atau tidak begitu cocok, bahkan nampaknya bercuriga terhadap kita,” kata Bhok Gun.

“Memang antara aku dan ia tidak ada kecocokan. Aku juga heran mengapa Sam Kwi mau mengambil anak macam itu sebagai murid mereka yang ke dua. Hemm, anak itu kelak hanya akan mendatangkan pusing saja bagiku.”

“Hemm, suci yang baik, kalau memang begitu, kenapa tidak dari dulu-dulu kau bunuh saja sumoi yang tiada guna itu?”

Bi-kwi menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya.
“Ah, kau kira aku begitu bodoh? Memang ada keinginan itu di hatiku, akan tetapi aku selalu tidak memperoleh kesempatan yang baik. Ketika ia masih kecil, aku yang disuruh melatihnya. Aku tidak dapat membunuhnya karena Sam Kwi kelihatan sayang kepadanya. Aku akan mendapat marah besar kalau ketika itu kubunuh. Aku lalu melatihnya, akan tetapi sengaja kuselewengkan sehingga ia tidak dapat mempelajari ilmu silat yang benar, melainkan kacau balau, bahkan latihan sin-kang yang kuselewengkan membuat ia hampir gila.”

“Bagus sekali! Ha-ha, engkau sungguh cerdik mengagumkan sekali!”






Bhok Gun demikian kagum dan girang sehingga dia menghadiahkan beberapa ciuman mesra kepada Bi-kwi yang membalasnya dengan takkalah bersemangatnya. Sejenak mereka lupa akan percakapan tadi, akan tetapi ketika teringat kembali, Bhok Gun bertanya,

“Lalu mengapa ia kini tidak kelihatan seperti gila lagi?”

Kembali Bi-kwi menarik napas panjang. Biasanya, wanita ini tidak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Akan tetapi kini ia berada dalam keadaan santai dan suasana mesra, maka iapun seperti wanita biasa yang diombang-ambingkan antara suka dan duka, puas dan kecewa tanpa pengendalian diri sama sekali.

“Entah ia terlalu beruntung ataukah aku yang terlalu sial. Ketika Sam Kwi sedang bertapa untuk menciptakan ilmu baru, aku memperoleh kesempatan sepenuhnya terhadap diri Siauw-kwi. Ia sudah hampir gila karena latihan yang salah. Akan tetapi tiba-tiba saja ia menjadi sembuh dan setelah kuselidiki, ternyata ia bertemu dengan suami isteri yang telah mengobatinya!” Bi-kwi mengepal tangan kanannya dengan gemas. “Dan aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka!”

“Eh?” Bhok Gun mengangkat alisnya, memandang heran. Kalau kekasihnya ini sampai tidak mampu melakukan sesuatu, tentu suami isteri itu bukan orang sembarangan. “Siapakah mereka?”

“Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya.”

“Ohhh....!”

Sepasang mata Bhok Gun terbelalak dan tentu saja dia pernah mendengar nama pendekar yang sudah seperti nama dalam dongeng itu karena dunia kang-ouw hanya mengenal namanya tanpa pernah melihat orangnya.

“Akan tetapi, apakah setelah itu engkau tidak dapat membunuhnya? Kulihat ia melakukan perjalanan bersamamu, berarti engkau mempunyai banyak kesempatan.”

Bi-kwi menggeleng kepala.
“Kami berdua mempelajari ilmu baru dari Sam Kwi. Kulihat ia telah menguasai ilmu-ilmu kami, dan ia dapat merupakan seorang pembantu yang cukup lihai. Mengingat akan cita-citaku, aku merasa bahwa dari pada membunuhnya, lebih baik menjadikan ia sebagai pembantuku untuk merampas Liong-siauw-kiam dan kedudukan bengcu. Dan ia sudah berjanji untuk membantuku.”

“Akan tetapi, bukankah sekarang ada aku!”

Bi-kwi mengangguk dan meraba dagu laki-laki itu.
“Memang, sekarang ada engkau. Sebaiknya kita bunuh saja anak itu, karena kurasa kelak ia hanya akan menjadi penghalang bagi kita. Wataknya berbeda sekali dengan kita, dan ia tidak pantas menjadi murid Sam Kwi. Bahkan ada kecondongan hatinya untuk memihak musuh-musuh kita, para pendekar. Ia berlagak menjadi pendekar agaknya. Hatinya lemah.”

Bhok Gun mengangguk-angguk, kemudian berkata dengan hati-hati,
“Bagaimanapun juga, apakah tenaga yang demikian baiknya harus dimusnahkan begitu saja? Ingat, sekarang ini, untuk mencapai cita-cita kita, kita membutuhkan banyak tenaga yang kuat dan lihai. Dan kurasa sumoimu itu merupakan tenaga yang amat berharga.”

Bi-kwi mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya aku belum membunuhnya sampai sekarang. Ia telah menguasai semua ilmu Sam Kwi, dan agaknya hanya sedikit selisih tingkatnya dengan tingkatku. Akan tetapi kalau tidak dibunuh dan kemudian ia berdiri di pihak yang menentang kita, bukankah hal itu akan merugikan?”

“Orang-orang pandai jaman dahulu berkata bahwa api adalah musuh yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi pembantu yang amat menguntungkan. Kurasa demikian pula dengan sumoimu Can Bi Lan itu. Kalau kita pandai mempergunakan, bukan membunuhnya melainkan menundukkannya dan ia dapat membantu kita, bukankah hal itu menguntungkan sekali?”

Sepasang mata wanita itu memandang dengan tajam penuh selidik, lalu bibirnya berjebi.
“Huh, laki-laki di manapun sama saja! Aku tahu apa yang terbayang dalam pikiranmu yang kotor itu!”

Bhok Gun tersenyum lebar dan merangkul Bi-kwi, menciumnya dengan mesra sehingga wanita itu dapat tersenyum kembali.

“Aihh, benarkah seorang seperti engkau ini masih dapat cemburu?”

“Siapa yang cemburu!”

Bi-kwi membentak. Memang, ia tidak pernah merasa cemburu. Baginya, mempunyai kekasih bukan berarti mengikatkan diri ia boleh bebas memilih pria, sebaliknya iapun tidak akan melarang kekasihnya mendekati wanita lain. Kalau memang masih sama suka, tentu tidak akan menoleh kepada orang lain.

“Akan tetapi, Sam Kwi juga tadinya berusaha untuk menggagahi sumoi agar dapat menundukkan hatinya yang keras. Akan tetapi aku mencegah dan melarikan sumoi, karena dengan demikian ia akan berhutang budi dan untuk membalasnya, ia sudah berjanji untuk membantuku.”

“Akan tetapi sekarang engkau ragu-ragu karena sikapnya yang seperti hendak menentang kita. Habis, bagaimana baiknya? Dibunuh kau tidak setuju. Kutaklukkan ia kau pun tidak setuju.”

“Bukan tidak setuju, hanya aku sangsi akan hasilnya. Andaikata engkau mampu menundukkannya dan menggagahinya, aku tidak yakin ia akan mau tunduk. Bahkan mungkin ia akan merasa sakit hati, mendendam dan memusuhi kita. Orang macam ia amat mementingkan kehormatan seperti para pendekar. Kecuali kalau ia mau menyerahkan diri dengan tulus dan suka rela kepadamu.”

“Hal itu bisa diusahakan! Aku memiliki modal cukup untuk itu, bukan? Kalau ia kurayu, kuperlakukan dengan baik, aku tidak percaya akhirnya ia tidak akan bertekuk lutut dan menyerahkan diri.”

Dalam hal ini, Bhok Gun tidak membual karena memang sudah tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh oleh rayuannya ditambah ketampanan dan kelihaiannya.

“Hemm, jangan sombong kau! Sumoiku adalah seorang perawan yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan pria dan agaknya belum siap untuk menyerahkan diri kepada seorang pria.”

“Ha-ha-ha, justeru yang masih hijau itulah yang paling mudah. Kau lihatlah saja, dalam waktu satu dua hari saja ia tentu akan jatuh ke dalam pelukanku dan selanjutnya menjadi boneka yang akan mentaati segala perintahku.”

“Kita sama lihat saja.”

Demikianlah rencana yang diatur oleh Bi-kwi dan Bhok Gun. Usia mereka sebenarnya sebaya, dan mungkin Bi-kwi lebih tua satu dua tahun. Bukan karena usia maka Bi-kwi minta disebut suci oleh ketua Ang-i Mo-pang itu, melainkan sebutan itu membuat ia merasa bahwa ia lebih unggul dan lebih menang dalam tingkat dan kedudukan.

“Sumoi, pertemuan antara kita sungguh merupakan peristiwa yang amat menggembirakan, bukan? Siapa mengira bahwa aku akan bertemu dengan suci dan sumoi, dua orang saudara seperguruan. Kalau tidak melihat gerakan-gerakan silat kalian, tentu aku tidak akan pernah menduga. Bahkan dengan ketiga orang guru kalianpun yang masih terhitung paman-paman guruku, belum pernah aku bertemu.”

Bi Lan mengangguk, lalu berkata sambil melirik ke arah sucinya.
“Bagi suci tentu amat menggembirakan karena kalian dapat bekerja sama untuk merampas kembali pedang pusaka Suling Naga, dan dapat bersama-sama merebut kedudukan bengcu. Akan tetapi aku yang tidak mempunyai keinginan apa-apa, tidak ada artinya.”

“Eh, kenapa begitu, sumoi?” Bhok Gun berseru sambil tersenyum, memasang senyumnya yang paling menarik. “Bagiku, kegembiraan ini besar sekali, bukan karena kalian yang menjadi saudara-saudara seperguruanku amat lihai, akan tetapi juga kalian merupakan dua orang gadis yang amat cantik jelita seperti bidadari!”

“Hi-hik, sute Bhok Gun ini ganteng dan pandai merayu, bukan, sumoi? Senang sekali punya saudara seperguruan seperti dia ini!”

Bi Lan hanya tersenyum simpul saja mendengar ucapan sucinya itu, tanpa menjawab, akan tetapi diam-diam mukanya berubah agak merah karena percakapan itu, puji memuji ketampanan dan kecantikan, asing baginya.

“Suci dan sumoi, perkenankanlah aku memberi ucapan selamat datang kepada kalian dan terimalah hormatku dengan secawan arak!”

Bhok Gun lalu menuangkan arak dari sebuah guci merah ke dalam dua buah cawan dan dia menyerahkan dua cawan itu kepada Bi Lan dan Siu Kwi. Setan Cantik itu cepat menyambar cawan arak suguhan Bhok Gun, akan tetapi Bi Lan menolak.

“Aku tidak biasa minum arak, biarlah aku minum teh ini saja,” katanya sambil mengangkat cangkir teh.

“Aih, sumoi yang manis. Pemberian secawan arak ini merupakan penghormatan dariku, biarpun engkau tidak biasa minum arak, apa salahnya sekarang minum satu dua cawan untuk merayakan pertemuan yang menggembirakan ini? Terimalah, sumoi."

Bi Lan tetap menolak.
“Tidak, suheng. Aku tidak biasa dan minum sedikit saja tentu akan mabok. Aku sudah mendapatkan pengalaman yang pahit sekali dengan minum arak dan mabok, dan aku tidak mau mengulangnya lagi”.

Bhok Gun melirik ke arah Siu Kwi dan tertawa, suara ketawanya lantang dan sepasang matanya bersinar sinar.

“Ha-ha-ha, sumoi yang jelita. Maksudmu tentulah pengalaman minum arak, mabok dan hendak diperkosa oleh tiga orang gurumu? Ha-ha, akan tetapi aku bukan Sam Kwi, sumoi. Aku takkan melakukan hal yang keji itu. Bagiku, cinta harus dilakukan dengan suka rela, bukan paksaan.”

“Suka rela atau paksaan, aku tidak sudi!”

Bi Lan berkata ketus dan iapun bangkit berdiri dan melangkah hendak meninggalkan ruangan makan itu, kembali ke kamarnya.

Akan tetapi dengan beberapa loncatan saja Bhok Gun sudah menghadang di depannya dan laki-laki ini lalu memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, merangkap kedua tangan di depan dada.

“Maaf, ah, apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, sumoi. Aku memang suka berkelakar dan kalau tadi aku mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan hatimu yang halus, maafkanlah aku. Maafkanlah aku sebagai tuan rumah, juga sebagai suheng yang menyayang sumoinya dan menghormati tamunya. Aku tidak akan mengulang lagi tentang minum arak.”

Melihat pria itu bersikap dengan sopan dan demikian menghormat, Bi Lan merasa tidak enak kalau melanjutkan kemarahannya. Apalagi mendengar sucinya tertawa terkekeh dan berkata,

“Aiihh, sumoi, apakah mendadak saja engkau menjadi seorang yang suci dan tidak dapat menghadapi kelakar dan godaan? Hi-hik, kami berdua agaknya malah kedahuluan olehmu. Kami belum biasa hidup sopan santun seperti yang diminta sute, engkau malah agaknya sudah menjadi orang sopan yang tidak sudi mendengar kelakar nakal, hi-hik.”

Bi Lan terpaksa kembali ke tempat duduknya dan dengan sikap serius ia berkata, ditujukan kepada sucinya, tidak langsung kepada Bhok Gun walaupun kepada pria itulah sebenarnya ucapannya ditujukan,

“Aku tidak perduli akan kelakar atau apa saja, akan tetapi asal tidak menyangkut diriku. Kalau menyangkut diriku, aku tidak sudi orang bersikap kurang ajar kepadaku, siapapun juga orang itu.”

“Maaf, sumoi, aku sama sekali tidak berani kurang ajar kepadamu, Dan kalau ada seorang laki-laki berani kurang ajar kepadamu, akulah yang akan menghajarnya. Engkau adalah sumoiku yang cantik jelita, manis dan sopan, aku harus menjagamu baik-baik.”

“Hi-hik, masih perawan lagi, selamanya belum pernah bersentuhan dengan pria, bukankah begitu, sumoi?” kata Bi-kwi mengejek.

“Ah, kalau begitu sumoi Can Bi Lan adalah seorang dara yang bagaikan setangkai bunga masih bersih dan suci, tak pernah terjamah tangan, tak pernah tersentuh kumbang, harus makin dijaga baik-baik,” kata Bhok Gun yang sengaja bersikap baik untuk mencari muka.

Akan tetapi dasar dia seorang gila perempuan, ucapan-ucapannya itu malah membuat Bi Lan merasa tidak enak walaupun itu merupakan pujian. Ia tidak mau mencampuri ucapan-ucapan mereka itu dan melanjutkan makan minum yang tadi belum selesai.

“Hemm, aku sih tidak ingin menjadi kembang yang belum tersentuh kumbang, tidak ingin menjadi dara atau perawan murni yang belum pernah berdekatan dengan pria, aku tidak mau tidur sendiri kedinginan. Aku ingin kehangatan setiap saat.” kata pula Bi-kwi dan iapun bangkit dari tempat duduknya, merangkul Bhok Gun dan mencium bibir pria itu dengan penuh napsu.

Bhok Gun tersenyum dan maklum akan maksud kekasih barunya ini, yaitu untuk membangkitkan rangsangan dan berahi dalam hati Bi Lan. Maka diapun membalas ciuman itu dan keduanya lalu bercumbu, berangkulan dan berciuman begitu saja di depan Bi Lan, tanpa malu-malu lagi bahkan mereka sengaja melakukan cumbuan-cumbuan yang tidak sepantasnya diperlihatkan orang lain. Bhok Gun menggunakan sumpitnya menggigit sepotong daging dan secara pamer sekali dia menyuapkan daging itu dari mulutnya ke mulut Bi-kwi yang menerimanya sambil terkekeh genit.

Dapat dibayangkan betapa besar rasa malu menekan batin Bi Lan. Selamanya belum pernah ia melihat adegan-adegan seperti itu, dalam mimpipun belum. Biarpun ia tahu bahwa sucinya adalah juga kekasih tiga orang gurunya dan mereka melakukan hubungan suami isteri. Namun tiga orang gurunya tidak pernah mencumbu sucinya itu di depannya.

Dan iapun tahu bahwa sucinya seringkali menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan untuk menggaulinya, namun hal inipun terjadi di luar tahunya. Baru sekarang ia melihat sucinya bercumbu sebebas itu dengan seorang pria di depannya. Tadinya ia hanya menundukkan muka sambil makan dan tidak sudi memandang, akan tetapi suara-suara cumbuan itu masih saja menusuk telinganya dan akhirnya iapun bangkit berdiri.

Tak dapat ia bertahan lebih lama lagi. Bukan karena suara-suara dan pandangan-pandangan itu dianggapnya tidak sopan dan cabul, karena semenjak kecil ia digembleng oleh tiga orang guru yang berjuluk Tiga Iblis, yang tidak mengenal sama sekali tentang sopan santun, dan hanya karena memang nalurinya yang halus saja Bi Lan tidak terseret, akan tetapi yang membuat ia tidak dapat bertahan adalah karena adegan itu mendatangkan suatu perasaan yang membuatnya takut sendiri. Perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Yang membuatnya berdebar-debar dan menimbulkan perang di dalam batinnya.

Di satu pihak, ada suara hatinya membisikkan bahwa perbuatan yang dilakukan dua orang di depannya itu sama sekali tidak patut dilihat atau didengar, akan tetapi perasaan lain membuat ia ingin sekali melihat dan mendengarkan dengan diam-diam. Hal inilah yang menakutkan hatinya dan membuat ia tidak dapat bertahan lagi, lalu ia bangkit berdiri.

“Aku.... aku mau beristirahat dulu di kamarku,”

Tanpa menanti jawaban dua orang yang masih saling rangkul dan saling berciuman itu iapun meninggalkan mereka dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu keras-keras. Ia tidak tahu betapa dua orang itupun menghentikan permainan mereka.

“Hemm, kurasa usaha kita hampir berhasil,” kata Bhok Gun lirih.

“Hi-hik, ia mulai panas dingin. Kau memang hebat, sute. Akan tetapi awas, kalau sampai engkau berhasil kemudian lebih mementingkan sumoi dan mengesampingkan aku, kau akan kubunuh!”

Bhok Gun tersenyum dan merangkulnya.
“Heh heh, cemburu lagi?”

“Tidak cemburu, akan tetapi ia masih dara, masih perawan murni. Laki-laki tentu lebih suka dan setelah mendapatkan yang muda, lalu melupakan yang tua.”

“Hemm, aku bukan pria seperti itu. Aku lebih menyukai buah yang sudah matang dari pada yang masih hijau dan mentah. Kalau aku menaklukkannya, bukan karena ingin mendapatkan yang hijau dan mentah, melainkan demi kelancaran usaha kita, bukan? “

“Nah, mari teruskan menggodanya sampai ia jatuh,”

Kata Bi-kwi dan sambil bergandeng tangan mereka lalu menuju ke kamar mereka yang berada di samping kamar yang ditinggali Bi Lan, hanya terpisah dinding kayu di mana terdapat sebuah pintu tembusan yang tertutup.

Dengan jantung masih berdebar dan kedua pipi kemerahan, mukanya terasa panas Bi Lan memasuki kamarnya. Apa yang dilihatnya dan didengarnya di depannya tadi, di ruangan makan, benar-benar membuat hatinya tidak karuan rasanya. Rasa kedewasaannya tersentuh dan ada dorongan amat kuat dan aneh yang membuat ia ingin mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara pria dan wanita. Gairahnya timbul, keinginan untuk mengetahui, mengalami.

Akan tetapi kesadarannya bahwa Bhok Gun adalah seorang laki-laki yang tidak baik, yang tidak mendatangkan rasa suka di hatinya, membuat ia menolak keras dan hatinya sudah mengambil keputusan bahwa kalau kelak tiba saatnya harus melayani pria, mencurahkan hasrat yang bernyala-nyala di dalam hatinya dan di seluruh syaraf tubuhnya itu dengan seorang pria, maka pria itu bukan Bhok Gun dan tidak seperti Bhok Gun!

Rasa tidak suka kepada Bhok Gun ini menolong dan meredakan gelora batinnya yang dibakar oleh gairah berahi yang wajar dari seorang dara yang mulai bangkit dewasa. Karena tadi tubuhnya tidak karuan rasanya, Bi Lan melempar tubuhnya ke atas pembaringan tanpa berganti pakaian, tanpa membuka sepatu. Ia menelungkup dan perlahan-lahan mulai menenteramkan hatinya yang bergelora.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang di kamar sebelah. Langkah dua orang disusul ketawa cekikikan dari sucinya! Bi Lan mengangkat kepalanya dengan hati-hati agar jangan sampai mengeluarkan bunyi.

Sucinya dan Bhok Gun memasuki kamar itu, kamar sebelah yang hanya terpisah dinding kayu. Baru langkah kaki mereka saja dapat terdengar oleh pendengarannya yang terlatih dan amat tajam. Apalagi suara-suara lain. Tanpa melihat saja Bi Lan dapat mendengar betapa mereka berkecupan, betapa mereka berdua menjatuhkan diri di atas pembaringan, berbisik-bisik, terkekeh dan terutama sekali suara erangan kemanjaan dari mulut sucinya terdengar jelas.

Kembali jantung Bi Lan berdebar keras, lebih hebat dari pada tadi. Api yang tadinya sudah hampir dapat dipadamkannya itu kini berkobar lagi, mendatangkan gairah rangsangan yang membuatnya gelisah. Ia bangkit duduk, otaknya dijejali gambaran-gambaran yang terbentuk oleh pendengarannya. Agaknya dua orang di sebelah itu mengumbar nafsu mereka tanpa dikendalikan lagi.

“Ssttt, suci.... jangan keras-keras, nanti terdengar sumoi di sebelah,” terdengar suara Bhok Gun berbisik, akan tetapi dapat didengar oleh Bi Lan dengan jelas sekali.

“Kalau dengar mengapa? Iapun seorang wanita, ia berhak untuk menikmati. Kalau ia mau, sebaiknya kalau engkau yang memberi pelajaran kepadanya tentang hubungan pria dan wanita, sute. Dari pada ia belajar dari laki-laki lain yang tak dapat dipercaya!

“Ah, mana ia mau?” terdengar laki-laki itu berkata lagi, sementara jantung di dalam dada Bi Lan berdebar semakin keras.

“Bodoh kalau ia tidak mau. Kenapa malu-malu? Aku membolehkan kalian bermain cinta, bukankah kalian masih saudara seperguruanku sendiri? Suatu waktu ia tentu akan menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria, untuk yang pertama kali, untuk menjadi gurunya yang pandai dan berpengalaman, mengapa tidak engkau, sute?”

Api yang berkobar di dalam dada Bi Lan semakin besar dan gadis ini cepat bersila dan bersamadhi mengumpulkan kekuatan batin seperti yang pernah ia pelajari dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Ia masih mendengar percakapan dua orang itu yang makin memberi bujukan tak langsung kepadanya dan mendengar mereka bercumbu, akan tetapi kini batinnya menjadi tenang karena cara bersamadhi itu dan ia dapat menguasai nafsunya sendiri yang membakar.

Ia menjadi marah. Agaknya sucinya dan Bhok Gun sengaja, pikirnya. Mereka berada itu tentu maklum bahwa ia yang berada di kamar sebelah akan mampu mendengar semua percakapan dan perbuatan mereka. Akan tetapi mereka itu agaknya sengaja hendak menjatuhkannya dengan rayuan dan pembangkitan gairah napsunya. Bi Lan lalu menyambar buntalan pakaiannya, kemudian berkata dengan suara lantang,

“Suci dan suheng, aku akan pergi meninggalkan tempat ini sekarang juga!”

Suara dua orang di kamar sebelah itu tiba-tiba terhenti dan pintu tembusan itupun terbuka. Kiranya dua orang itu masih berpakaian lengkap dan semakin yakin hati Bi Lan bahwa mereka tadi hanya bermain sandiwara dengan tujuan tertentu, yaitu membangkitkan napsu berahinya agar mudah dilalap oleh Bhok Gun tanpa memperkosanya, melainkan memaksanya melalui pembakaran nafsu berahi agar ia dapat menyerahkan diri dengan suka rela kepada Bhok Gun. Semua nampak jelas olehnya dan Bi Lan menjadi semakin marah.

“Sumoi, apa yang kau katakan tadi? Kau mau pergi? Ke mana?” teriak Bi-kwi, mengerutkan alisnya karena mulai marah melihat betapa sumoinya itu sama sekali tidak dapat dibujuk.

“Suci, aku mau pergi sekarang juga.”

“Kenapa?”

“Bukan urusanmu.”