Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih,
“Liong-ko....“ dan ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis.
Hatinya merasa terhibur dan disaat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik daripada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya, bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan ia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu.
Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab dan memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.
Mereka duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut ia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
“Ah, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Bersenang-senang di depan makam kakakku.!” katanya agak menyesal.
“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu menjura sebagai penghormatan terakhir dan berkata,
“Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini akan membalaskan kermatianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim.!”
“Bagus.... bagus....!”
Terdengar suara yang dalam dan lantang. Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang tiba-tiba muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
“Paman Siangkoan....!” Li Sian memberi hormat.
“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu telah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”
“Ayah, ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”
“Hemmm, berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”
“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”
“Liong-ko....“ dan ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis.
Hatinya merasa terhibur dan disaat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik daripada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya, bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan ia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu.
Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab dan memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.
Mereka duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut ia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
“Ah, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Bersenang-senang di depan makam kakakku.!” katanya agak menyesal.
“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu menjura sebagai penghormatan terakhir dan berkata,
“Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini akan membalaskan kermatianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim.!”
“Bagus.... bagus....!”
Terdengar suara yang dalam dan lantang. Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang tiba-tiba muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
“Paman Siangkoan....!” Li Sian memberi hormat.
“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu telah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”
“Ayah, ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”
“Hemmm, berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”
“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”
Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh merupakan berita yang amat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali dan biarlah nanti kalau sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”
Siangkoan Liong cepat berkata,
“Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.”
Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.
Ketika mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ telah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, juga beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang.
Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedang makan minum, atau baru saja selesai. Ketika melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, dan mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan,” kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira.
Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira, ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.
“Ah, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini lalu menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan, bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah kedua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li lalu membawanya menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri, dan dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.
“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia,” katanya.
Semua orang sudah mengisi cawan arak mereka masing-masing dan mereka pun mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata,
“Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”
Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi ia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa ia menerimanya pula, dan mereka semua minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua dengan asyik.”
Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.
Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, dan menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.
Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain.
Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang yang berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik.
Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua kini membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.
Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah, kemudian ia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan keputusan Siangkoan Lohan bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong.
Dalam makan minum lagi sebelumnya ia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Namun, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong pandai menghiburnya, apalagi karena pemuda itu adalah calon suaminya, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya.
Sama sekali ia tidak sadar bahwa ia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang diatur oleh Siangkoan Liong bersama sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.
Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh merupakan berita yang amat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali dan biarlah nanti kalau sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”
Siangkoan Liong cepat berkata,
“Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.”
Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.
Ketika mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ telah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, juga beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang.
Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedang makan minum, atau baru saja selesai. Ketika melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, dan mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan,” kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira.
Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira, ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.
“Ah, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini lalu menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan, bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah kedua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li lalu membawanya menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri, dan dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.
“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia,” katanya.
Semua orang sudah mengisi cawan arak mereka masing-masing dan mereka pun mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata,
“Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”
Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi ia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa ia menerimanya pula, dan mereka semua minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua dengan asyik.”
Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.
Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, dan menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.
Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain.
Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang yang berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik.
Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua kini membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.
Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah, kemudian ia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan keputusan Siangkoan Lohan bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong.
Dalam makan minum lagi sebelumnya ia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Namun, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong pandai menghiburnya, apalagi karena pemuda itu adalah calon suaminya, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya.
Sama sekali ia tidak sadar bahwa ia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang diatur oleh Siangkoan Liong bersama sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.
Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.
**** 040 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================