Bi-kwi tetap tenang dan ia malah tersenyum manis.
“Mengapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau ikut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanya untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”
“Ihhh....!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.
Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa.
“Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, berlututlah mengaku salah dan nyawamu, juga nyawa suamimu, mungkin takkan kucabut.”
“Keparat!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”
Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
“Wuuuttttt.... klukkk!”
Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu, Toat-beng Kiam-ong sudah menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan.
Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, namun ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.
Siangkoan Liong yang masih marah, kini menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
“Desss....!”
Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang lihai itu.
Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Biarpun Si Raja Pedang in masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bikwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekli.
Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
“Kau.... kau.... keparat jahanam!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian sudah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.
“Sian-moi, tenanglah, sabarlah.”
“Manusia iblis.!”
Li Sian menyerang terus dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
“Sian-moi, ingat, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku.... bahkan engkau.... sudah menjadi isteriku.”
Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya. Akan tetapi sebaliknya daripada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!
“Kalian.... kalian.... iblis-iblis busuk....!”
Li Sian menjerit dan pedangnya diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.
Melihat, ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan memiliki kekuatan sakti yang menggiriskan. Apalagi gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah. Maka, Siangkoan Liong lalu memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu sehingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali.
Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sian-jin dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak.
Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jerih dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali.
Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau mengelak, melainkan mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh, dan dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.
“Mengapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau ikut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanya untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”
“Ihhh....!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.
Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa.
“Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, berlututlah mengaku salah dan nyawamu, juga nyawa suamimu, mungkin takkan kucabut.”
“Keparat!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”
Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
“Wuuuttttt.... klukkk!”
Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu, Toat-beng Kiam-ong sudah menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan.
Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, namun ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.
Siangkoan Liong yang masih marah, kini menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
“Desss....!”
Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang lihai itu.
Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Biarpun Si Raja Pedang in masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bikwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekli.
Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
“Kau.... kau.... keparat jahanam!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian sudah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.
“Sian-moi, tenanglah, sabarlah.”
“Manusia iblis.!”
Li Sian menyerang terus dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
“Sian-moi, ingat, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku.... bahkan engkau.... sudah menjadi isteriku.”
Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya. Akan tetapi sebaliknya daripada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!
“Kalian.... kalian.... iblis-iblis busuk....!”
Li Sian menjerit dan pedangnya diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.
Melihat, ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan memiliki kekuatan sakti yang menggiriskan. Apalagi gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah. Maka, Siangkoan Liong lalu memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu sehingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali.
Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sian-jin dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak.
Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jerih dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali.
Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau mengelak, melainkan mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh, dan dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.
Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia malah dapat terdesak hebat karena ia tidak bersenjata sedangkan lawan itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apalagi kini Sin-kiam Mo-li maju mengeroyoknya. Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang amat berbahaya.
Namun Bikwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jerih menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa!
Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Walaupun ia tidak bersenjata lagi, namun serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawan yang lebih kuat karena memegang senjata itu belum juga mampu menundukkannya.
Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tidak mungkin dapat dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah kini suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong.
“Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini agar di kemudian hari tidak membikin repot!”
Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan biarpun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru,
“Benar! Bunuh perempuan itu!”
Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Namun, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini.
Biarpun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, namun kedua tangan itu mempergunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam). Selain tendangan-tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh.
Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru setelah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan dan lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.
“Siangkoan Liong manusia busuk!”
Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng. Seperti telah kita ketahui, setelah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan.
Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya. Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasihat-nasihat.
Keduanya lalu bersahabat dan mereka bersama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu, setelah cuaca mulai gelap, keduanya, atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, berhasil menyelundup masuk ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.
Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati, namun Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng.
Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya.
Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka biarpun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa dan melakukan serangan secara nekat sekali!
Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.
Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, dia sudah mempersiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siangmo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apalagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.
Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Namun harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, tidak menonjol bakatnya. Oleh karena itu, biarpun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang.
Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya dengan ganas.
Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang pernah membuat ia tergila-gila (baca kisah SULING NAGA ), dan pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika kedua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya. Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan ia berteriak,
“Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng”
Dan wanita ini lalu menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini.
Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya.
Gu Hong Beng bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa. Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Biarpun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak.
Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biarpun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Namun, kenekatan kedua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka.
Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apalagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walaupun dengan paksaan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
“Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”
Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok.
Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.
“Kakak Cu Kun Tek....!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”
Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!
Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.
Andaikata pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Namun melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama.
Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong. Dalam percakapan itu, Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.
Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan mereka dengan Siangkoan Liong tadi. Setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam kedua orang tua itu masih bercakap-cakap, mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Selagi bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.
Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.
“Ah, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!
Cu Kun Tek adalah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang amat kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apalagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.
Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.
“Hyaaaaattt....!”
Dia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan dan mengeluarkan suara mengaung seperti binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya. Dia menarik kembali kedua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya ada tiga kaki!
Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh, dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu. Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek.
“Orang muda, apakah hubunganmu dengan keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman?” bentaknya.
Kun Tek maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.
“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman....”
“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku dan engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”
“Simpan bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”
“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!”
Siangkoan Lohan sudah menyerang dengan hun-cwenya dan nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang cepat memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh. Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan kedua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya.
Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya. Untung bagi Kun Tek bahwa dia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jerih, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.
Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan memiliki demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.
Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun Tiat-liong-pang memang besar dan kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tidak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sukar untuk menundukkan mereka, apalagi kalau musuh-musuh yang lebih berat.
Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri nampaknya jerih menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat itu, dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini.!” katanya, seperti kepada diri sendiri dan dia mengembangkan kipasnya, lalu dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran.
Gerakannya gesit dan ringan sekali dan mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut.
Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka, dan tiba-tiba saja, kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka sudah terkulai dan roboh dengan lemas!
Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.
Pemuda perkasa ini terkejut bukan main. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepat, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.
Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tidak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, lalu sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.
Melihat berkelebatnya kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan.
Akan tetapi, Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang. Dalam sedetik saja, pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tak dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh!
Pada saat itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, maka tiba-tiba ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot) ke arah tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaganya untuk membalas kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
“Desss....!”
Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.
“Suamiku, tunggu.... aku menyusulmu....” katanya dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi telah mencengkeram kearah kepalanya sendiri.
Ia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!
Biarpun hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang itu terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.
“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!”
Bentaknya kepada muridnya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.
Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama para pembantu yang ada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, kini sudah tiba saatnya untuk segera melakukan gerakan.
Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan menghubungi para sekutunya, terutama sekali Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas keluar, dipanggil agar segera pulang.
Namun Bikwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jerih menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa!
Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Walaupun ia tidak bersenjata lagi, namun serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawan yang lebih kuat karena memegang senjata itu belum juga mampu menundukkannya.
Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tidak mungkin dapat dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah kini suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong.
“Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini agar di kemudian hari tidak membikin repot!”
Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan biarpun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru,
“Benar! Bunuh perempuan itu!”
Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Namun, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini.
Biarpun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, namun kedua tangan itu mempergunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam). Selain tendangan-tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh.
Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru setelah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan dan lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.
“Siangkoan Liong manusia busuk!”
Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng. Seperti telah kita ketahui, setelah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan.
Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya. Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasihat-nasihat.
Keduanya lalu bersahabat dan mereka bersama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu, setelah cuaca mulai gelap, keduanya, atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, berhasil menyelundup masuk ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.
Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati, namun Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng.
Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya.
Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka biarpun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa dan melakukan serangan secara nekat sekali!
Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.
Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, dia sudah mempersiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siangmo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apalagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.
Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Namun harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, tidak menonjol bakatnya. Oleh karena itu, biarpun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang.
Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya dengan ganas.
Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang pernah membuat ia tergila-gila (baca kisah SULING NAGA ), dan pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika kedua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya. Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan ia berteriak,
“Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng”
Dan wanita ini lalu menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini.
Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya.
Gu Hong Beng bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa. Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Biarpun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak.
Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biarpun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Namun, kenekatan kedua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka.
Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apalagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walaupun dengan paksaan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
“Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”
Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok.
Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.
“Kakak Cu Kun Tek....!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”
Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!
Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.
Andaikata pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Namun melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama.
Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong. Dalam percakapan itu, Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.
Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan mereka dengan Siangkoan Liong tadi. Setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam kedua orang tua itu masih bercakap-cakap, mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Selagi bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.
Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.
“Ah, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!
Cu Kun Tek adalah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang amat kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apalagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.
Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.
“Hyaaaaattt....!”
Dia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan dan mengeluarkan suara mengaung seperti binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya. Dia menarik kembali kedua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya ada tiga kaki!
Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh, dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu. Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek.
“Orang muda, apakah hubunganmu dengan keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman?” bentaknya.
Kun Tek maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.
“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman....”
“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku dan engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”
“Simpan bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”
“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!”
Siangkoan Lohan sudah menyerang dengan hun-cwenya dan nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang cepat memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh. Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan kedua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya.
Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya. Untung bagi Kun Tek bahwa dia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jerih, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.
Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan memiliki demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.
Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun Tiat-liong-pang memang besar dan kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tidak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sukar untuk menundukkan mereka, apalagi kalau musuh-musuh yang lebih berat.
Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri nampaknya jerih menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat itu, dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini.!” katanya, seperti kepada diri sendiri dan dia mengembangkan kipasnya, lalu dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran.
Gerakannya gesit dan ringan sekali dan mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut.
Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka, dan tiba-tiba saja, kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka sudah terkulai dan roboh dengan lemas!
Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.
Pemuda perkasa ini terkejut bukan main. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepat, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.
Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tidak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, lalu sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.
Melihat berkelebatnya kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan.
Akan tetapi, Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang. Dalam sedetik saja, pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tak dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh!
Pada saat itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, maka tiba-tiba ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot) ke arah tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaganya untuk membalas kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
“Desss....!”
Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.
“Suamiku, tunggu.... aku menyusulmu....” katanya dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi telah mencengkeram kearah kepalanya sendiri.
Ia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!
Biarpun hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang itu terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.
“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!”
Bentaknya kepada muridnya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.
Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama para pembantu yang ada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, kini sudah tiba saatnya untuk segera melakukan gerakan.
Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan menghubungi para sekutunya, terutama sekali Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas keluar, dipanggil agar segera pulang.
**** 043 ****