Ads

Rabu, 31 Juli 2019

Mutiara Hitam Jilid 008

Akan tetapi ancaman yang akan membuat orang lain merasa ngeri ini, seperti tidak didengar oleh Phang Bi Li, Suma Kiat dan Kwi Lan. Mereka bertiga sudah menjadi girang sekali. Segera mereka dibantu pula oleh Sian Eng yang masih terus mengomel sepanjang hari keluar dari pintu rahasia dan mulai membangun sebuah pondok sederhana di dalam hutan diatas istana bawah tanah itu.

Cara Kam Sian Eng menggembleng ilmu silat kepada dua orang anak itu amat luar biasa, Mula-mula ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat disamping mengajar ilmu membaca. Setelah kedua orang anak itu berusia sepuluh tahun dan pandai membaca, ia menyuruh mereka membaca kitab-kitab pusaka yang berisi ilmu-ilmu silat tinggi, peninggalan Tok-siauw-kwi. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab rahasia yang mengandung pelajaran pelik dan gawat, bukan ilmu silat biasa.

Tentu saja kedua orang anak itu, terutama sekali Suma Kiat yang otaknya tidak begitu cerdas, amat sukar menyelami isinya. Dan celakanya, ketika mereka bertanya kepada Sian Eng, mereka mendapat penjelasan yang sebenarnya menyimpang daripada pelajaran sesungguhnya.

Sian Eng sendiri melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi secara keliru sehingga ilmu silat tinggi yang diciptakan orang-orang sakti itu berubah menjadi ilmu dahsyat seperti ilmu ciptaan iblis sendiri!

Dengan bekal ilmu pengetahuan yang amat kurang ditambah sukar dan tingginya isi kitab-kitab pusaka, kemudian digembleng oleh seorang yang sudah sesat ilmunya seperti Kam Sian Eng, tentu saja kedua orang anak itupun menjadi pelajar-pelajar ilmu sesat. Namun karena mereka memang berbakat, mereka berhasil memiliki ilmu-ilmu yang amat hebat dan mengerikan.

Diam-diam Kam Sian Eng merasa kagum kepada Kwi Lan. Anak ini amat cerdas, jauh lebih cerdas daripada puteranya sendiri. Kwi Lan mempunyai watak haus akan pelajaran, tidak takut akan kesukaran sehingga diantara kitab-kitiab Pusaka itu, Kwi Lan memilih yang sukar-sukar. Justru sifat kitab-kitab pusaka itu, makin sukar dimengerti, makin sukar dipelajari, makin tinggilah mutunya! Juga Kwi Lan amat tekun berlatih sehingga Suma Kiat yang usianya setahun lebih tua itu tertinggal olehnya.

Semenjak Kwi Lan pandai bicara, menyuruh anak itu menyebut bibi kepadanya. Karena kurang pergaulan dengan anak-anak lain, ketika masih kecil, Kwi Lan tidak dapat membedakan mengapa Suma Kiat yang ia sebut suheng (kakak seperguruan) itu menyebut ibu sedangkan ia sendiri menyebut bibi kepada wanita yang ia anggap sebagai orang paling baik di dunia ini setelah Bibi Bi Li.

Memang Phang Bi Li amat kasih kepada Kwi Lan, menganggap anak itu anak kandungnya sendiri. Akan tetapi Sian Eng juga amat baik terhadapnya. Biarpun wataknya kadang-kadang aneh, namun terhadap Kwi Lan ia tidak pernah marah-marah.

Ketika Kwi Lan berusia dua belas tahun dan sudah dua tahun lamanya tinggal di pondok di atas tanah, mulailah Kwi Lan melihat perbedaan-perbedaan. Mulailah ia bertanya-tanya kepada Bi Li tentang perbedaan-perbedaan itu.

“Bibi, kenapa Kiat-suheng menyebut Ibu kepada Bibi Sian?”

Demikian tanyanya pada suatu sore ketika mereka berdua pergi memetik bunga dalam hutan. Ketika itu Suma Kiat turun ke bawah, dipanggil ibunya.

“Kenapa? Ah, Lan Lan, alangkah anehnya pertanyaanmu ini. Tentu saja karena Kiat-li memang anaknya!”

Karena tidak kuasa menyelami hati dan pikiran Kwi Lan, maka Bi Li menganggap pertanyaan itu wajar-wajar tapi bodoh.

Kwi Lan masih tetap memilih dan memetik bunga, membantu Bi Li.
“Kalau aku, kenapa aku harus menyebut Bibi Sian kepadanya?”

Masih tidak sadar akan nada suara aneh dalam pertanyaan ini, Bi Li menjawab.
“Anak bodoh, tentu saja engkau menyebut Bibi karena engkau bukan anaknya.”

Kwi Lan menggigit bibirnya yang tiba-tiba gemetar. Setelah menekan hatinya, ia berkata lagi.

“Bibi Bi Li, kau dulu pernah bilang ketika Kiat-suheng bertanya tentang ayahnya bahwa dia boleh bertanya kepada Bibi Sian. Bibi Sian marah-marah ketika ditanya dan memaki-maki, bilang bahwa ayah Kiat-suheng sudah mampus. Kemudian Bibi Sian menangis menggerung-gerung. Semenjak itu, Kiat-suheng tidak berani bertanya-tanya lagi tentang ayahnya. Benarkah, Bibi, bahwa Ayah Kiat-suheng telah mati?”

Bi Li mengerutkan keningnya, lalu berkata sambil menarik napas panjang,
“Bibi Sian-mu itu memang aneh. Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi kalau dia bilang demikian, agaknya memang benar bahwa ayah Kiat-ji telah meninggal dunia.”






Hening sejenak dan mereka melanjutkan pekerjaan memetik bunga.
“Bibi Bi Li.... kalau.... Ayah dan Ibuku.... siapakah mereka? Dimana mereka....?”

Bi Li tersentak kaget bagaikan disengat lebah. Cepat ia menoleh dan melihat betapa wajah Kwi Lan menjadi pucat, sepasang matanya memandang tajam kepadanya, bibirnya yang pucat menggigil dan anak itu hampir menangis!

Barulah tahu Bi Li bahwa sejak tadi, terjadi hal-hal yang hebat dalam hati dan pikiran anak yang amat disayangnya itu. Baru terbuka matanya bahwa anak ini mulai mengerti dan mencari ayah bundanya. Ia menjadi terharu, mengeluh perlahan lalu merangkul Kwi Lan. Tak tertahan lagi air matanya menetes-netes ketika ia mencium pipi Kwi Lan dan menariknya duduk di atas rumput.

“Lan Lan, Anakku sayang.... kau.... kau.... adalah Anakku, Lan Lan.”

Kwi Lan balas pelukan dan ciuman wanita yang semenjak ia kecil telah merawatnya penuh kasih sayang itu. Kemudian ia berkata, ada suaranya mendesak.

“Bibi Bi Li, kalau engkau Ibuku, mengapa selama ini aku dibohongi? Dan kalau benar aku anak kandungmu, mengapa aku tidak menyebut Ibu, melainkan Bibi kepadamu? Bibi Bi Li, harap jangan membohongi aku lagi, aku sudah besar dan dapat membedakan kebohongan atau bukan. Bibi, katakanlah, siapakah Ayah Bundaku dan dimana mereka sekarang? Mengapa aku bisa terpisah dari mereka dan berada disini?”

Tiba-tiba Bi Li menangis sedih. Teringat ia akan keadaannya sendiri. Dia sendiri dipaksa berpisah dari suaminya dan dari anaknya yang baru berusia dua bulan! Sedangkan Kwi Lan ini dibawa datang oleh Sian Eng sejak masih bayi, agaknya dipaksa berpisah dari ibu kandungnya!

“Aku tidak tahu, Anakku.... aku sendiri sama sekali tidak tahu tentang dirimu sedangkan aku sendiripun dipaksa berpisah dari suami dan anak....”

Kwi Lan tercengang. Ia merangkul wanita itu dan bertanya
“Apa yang terjadi, Bibi?”

Setelah mengeringkan air mata dan berkali-kali menghela napas Bi Li lalu bercerita.
“Suamiku seorang penebang pohon dan kami hidup bahagia di dalam dusun. Ketika itu, aku baru berusia dua bulan, melahirkan seorang anak laki-laki. Pagi hari itu, selagi suamiku pergi menebang pohong datang Sian-kouwnio, menangkap dan membawaku pergi meninggalkan Anakku dibawa kesini.... sampai sekarang....”

“Apa....?” Kwi Lan membelalakkan matanya yang jeli. “Mengapa....?”

Bi Li tersenyum pahit.
“Untuk merawat dan menyusui Kiat-ji.”

“Anak kandungnya sendiri? Mengapa? Mengapa harus engkau yang menyusuinya, Bibi?”

Bi Li menggeleng-geleng kepalanya.
“Entahlah. Selamanya Bibimu Sian itu seorang aneh luar biasa. Klat-ji memang anak kandungnya, akan tetapi ia menyuruh aku menyusui dan merawatnya. Ahhh, nasibku sama dengan si Belang....“

Kwi Lan makin heran. Si Belang adalah nama lembu betina yang dipelihara di bawah tanah dan sekarang sudah sangat tua.

“Apa maksudmu, Bibi Bi Li?”

Dengan senyum pahit di bibir, Bi Li menjawab,
“Aku dipaksa kesini untuk menyusui Kiat-ji, sedangkan si Belang dipaksa kesini untuk menyusui engkau, Kwi Lan. Setahun setelah aku berada disini, si Belang didatangkan oleh Sian-kouwnio untuk diambil air susunya untukmu.”

“Dan.... aku.... dari manakah aku, Bibi....?” Wajah Kwi Lan pucat dan suaranya mengandung isak.

“Aku tidak tahu, Anakku. Aku tidak tahu apa-apa.”

Tiba-tiba Kwi Lan menjatuhkan semua kembang yang dipegangnya. Kini wajahnya menjadi merah, matanya mengeluarkan kilat dan kedua tangannya yang kecil dikepal. Wajahnya yang cantik mungil itu kini nampak beringas mengancam.

“Kalau begitu Bibi Sian jahat sekali! Kau dipaksa berpisah dari suami dan anak, sedangkan aku dipaksa berpisah dari Ayah dan Ibu! Sekarang juga aku akan bertanya kepadanya, Bibi. Dia harus memberi keterangan sejelasnya!”

“Ssttt, anak bodoh, apa yang hendak kau lakukan ini?” Bi Lian memeluknya erat-erat dengan wajah penuh kekhawatiran. “Apakah engkau masih belum melihat betapa Bibimu Sian itu seorang yang amat luar biasa wataknya? Kau tidak boleh bertanya apa-apa kepadanya, tidak boleh membikin susah atau marah kepadanya.”

“Mengapa tidak boleh, Bibi?”

Kwi Lan bertanya kecewa, akan tetapi mulai membayang pula di hatinya kini rasa takut dan jerih terhadap bibinya yang selalu bersembunyi di bawah tanah itu.

“Kwi Lan, apapun juga yang telah terjadi dengan kita, namun engkau sendiri tentu telah merasa betapa baiknya sikap Sian-kouwnio terhadap kita. Segala kebutuhan kita dicukupi, bahkan engkau dianggap seperti anak sendiri, dirawat dan dididik tiada bedanya dengan Kiat-ji, putera kandungnya. Aku pun telah mendapat perlakuan yang amat baik sehingga harus kuakui bahwa keadaan hidupku disini jauh lebih baik daripada ketika masih tinggal di dusun yang kadang-kadang menderita kurang makan.”

“Makan pakaian cukup, aku pun diberi kebebasan, dan bahkan dilatih ilmu silat. Karena kebaikannya yang ia limpahkan kepada kita inilah, maka sekali-kali kita tidak boleh membikin susah hatinya. Aku tahu, dibalik keadaannya yang serba aneh luar biasa itu, tersembunyi penderitaan batin yang amat hebat pada diri Sian-kouwnio. Ia patut dikasihani. Agaknya ia menculik kita berdua bukan karena jahat, melainkan terpaksa. Ia menculikku karena ia membutuhkan air susuku untuk memelihara puteranya. Kemudian ia menculikmu karena.... agaknya, dia ingin puteranya mendapatkan teman bermain-main.”

“Tapi ia tidak peduli betapa anak kandungmu sendiri kehilangan Ibu, dan betapa Ayah-bundaku kehilangan anak!” Kwi Lan membantah.

“Benar, akan tetapi memang demikianlah watak sebagian besar manusia. Kepentingan sendiri selalu menutupi kepentingan lain orang.” Bi Li menarik napas panjang. “Kita pun tidak boleh membikin marah kepadanya, karena dia seorang aneh luar biasa, kalau sekali ia marah, agaknya ia tidak akan segan-segan untuk sekali turun tangan membunuh kita berdua!”

Bi Li bergidik ngeri. Akan tetapi Kwi Lan sama sekali tidak merasa takut, bahkan bertanya dengan suara menuntut.

“Bibi, kalau kau melarang aku membikin susah dan membikin marah Bibi Sian, habis apakah aku harus tinggal diam saja dipaksa berpisah dari Ayah Bunda kandungku?” Kini Kwi Lan tidak menangis lagi karena kemarahan memenuhi hatinya.

Bi Li memeluknya dan mengelus-elus rambutnya.
“Anakku yang baik, sama sekali bukan begitu maksudku. Kau harus bersabar, Anakku. Kau tahu bahwa yang tahu akan rahasia dirimu hanyalah Sian-kouwnio seorang. Hanya dari dialah engkau akan dapat mengetahui siapa Ayah Bundamu. Karena itu, engkau harus bersabar. Kalau sekarang kau tanyakan hal itu kepadanya dan dia tidak mau mengaku malah marah, engkau akan bisa berbuat apakah? Jangan-jangan engkau malah akan dibunuhnya! Lebih baik engkau tekun belajar, memperdalam kepandaianmu karena kepandaian silat itu merupakan bekalmu kelak kalau Sian-kouwnio tidak mau mengaku, untuk kau pakai mencari sendiri orang tuamu.”

Terbukanya rahasia tentang keadaan dirinya inilah yang membuat Kwi Lan, makin tekun dan giat belajar. Dia seorang gadis yang keras hati, yang tahan menderita. Biarpun setiap saat pertanyaan tentang ayah ibunya sudah berada di ujung lidah, namun ia dapat selalu menekan dan menelannya kembali, tidak mau bertanya akan hal itu kepada Sian Eng yang makin lama menjadi makin kagum saja akan keadaan keponakan dan muridnya ini

Semua kitab simpanan “dilalap” habis oleh Kwi Lan bahkan kitab-kitab yang oleh Sian Eng sendiri kurang dimengerti. oleh Kwi Lan dihafal di luar kepala! Memang seperti tidak ada gunanya baginya, karena tidak ada yang menerangkan artinya, juga Sian Eng tidak mengerti. namun Kwi Lan menghafalnya di luar kepala dengan keyakinan bahwa kelak tentu ada gunanya. Dalam hal kemajuan ilmu silat, Suma Kiat tertinggal jauh oleh Kwi Lan sehingga kadang-kadang Sian Eng merenung seorang diri.

“Tidak aneh! Kwi Lan keturunan seorang sakti seperti Suling Emas, sedangkan Kiat-ji anak bajingan macam Suma Boan!”

Lalu ia menangis seorang diri, menangisi kematian Suma Boan, putera pangeran yang amat dikasihinya, juga amat dibencinya sehingga kedua tangannya sendirilah yang membunuh Suma Boan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar