Ads

Selasa, 06 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 021

Kota Yen-an terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shen-si. Kota ini cukup besar dan ramai dan dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han yang kini sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan Sung.

Kerajaan Hou-han dahulu terkenal sebagai kerajaan yang kecil tapi amat kuat. Terutama sekali ketika seorang diantara panglima perangnya adalah mendiang Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai mengatur siasat perang. Setelah jenderal ini mengundurkan diri keadaan kerajaan mengalami kemunduran pula.

Akan tetapi keadaannya masih amat kuat karena beberapa tahun kemudian di dalam istana kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, seorang wanita sakti yang menjadi "tante girang" di dalam istana mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para panglima muda yang tampan,

Di samping Tok-siauw-kwi (ibu kandung Suling Emas) ini terdapat pula selir raja yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk, Siang-mou Sin-ni Coa Kim Bwee. Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti ini tidak ada kerajaan makin mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara Kerajaan Sung menjatuhkan kerajaan kecil ini.

Tokoh-tokoh yang dikalahkan biasanya kalau tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul dan merupakan kelompok yang menentang si Pemenang secara diam-diam. Demiklan pula keadaan di bekas Kerajaan Hou-han ini. Orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lalu mengadakan persatuan dan bersembunyi di balik papan nama perkumpulan menjadi golongan dunia hitam yang diam-diam mencari kesempatan untuk melawan atau setidaknya merongrong pemerintahan yang tak disukainya.

Diantara perkumpulan-perkumpulan semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan terbesar, bahkan boleh dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini adalah karena bekas para panglima dan tokoh Kerajaan Hou-han banyak yang menggabungkan diri dalam perkumpulan ini.

Namun karena kesempatan untuk melawan pemerintahan Sung tidak ada, apalagi setelah para panglima yang benar-benar berjiwa patriotik meninggal dunia, jiwa perkumpulan Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat. Dasar yang semula patriotik tadinya terdorong setia kepada kerajaan berubah, berubah menjadi dasar dunia hitam, dan tujuan yang menyeleweng jauh terdorong oleh nafsu angkara murka untuk menguasai dunia, harta benda, nama besar dan kemenangan mengandalkan kekuatan.

Sisa para panglima Hou-han melihat ini sebanyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di dusun-dusun dan pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak Thian-liong-pang seluruhnya dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang menjadi Ketua Thian-liong-pang adalah seorang bekas pendeta yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti). Pendeta yang berasal dari barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia hitam dan biarpun jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah asuhannya, Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang amat kuat.

Semua anggauta Thian-liong-pang rata-rata di gembleng ilmu silat tinggi. Apalagi murid kakek itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa. Murid-murid kepala sebanyak dua belas orang sedemikian terkenalnya di dunia kang-ouw sehingga tokoh-tokoh yang besar sekalipun tidak akan berani memandang rendah Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) dari Thian-liong-pang!

Dua belas orang murid kepala yang menjadi murid kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah mewarisi kepandaian kakek itu menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah ketenaran mereka adalah senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti).

Oleh karena Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu tua dan pikun, juga sudah mulai lemah karena tuanya, maka sebagai penggantinya ditunjuk muridnya yang paling tua, seorang laki-laki tinggi besar bercambang bauk yang bertenaga besar seperti gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Tenaga Besar) bernama Ma Kiu.

Ma Kiu ini dulunya seorang jagal babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi anggauta Beng-kauw. Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi anggauta Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takut pula akan hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia melarikan diri ke utara.

Di Yen-an ia memasuki Thian-liong-pang, berhasil menarik hati ketuanya dan menjadi muridnya. Karena memang tingkatnya sudah tinggi, maka ia segera mendudukii seorang diantara murid kepala yang lihai, bahkan kemudian terpilih menjadi murid nomor satu dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti gurunya yang sudah tua, yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang!

Gedung besar yang menjadi markas Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an. Agak janggal nampaknya bahwa jalan besar dimana gedung ini berdiri kelihatan sunyi, bahkan gedung itu jauh dari tetangga.






Namun orang tidak akan merasa heran kalau mendengar bahwa para tetangga yang tadinya tinggal dekat gedung itu berangsur-angsur diri sehingga rumah-rumah kosong di sekitar jalan itu merupakan daerah yang dianggap tidak aman bagi penduduk Yen-an. Hal ini dipergunakan oleh Thian-liong-pang untuk memperluas markas mereka dengan membeli murah secara paksa rumah-rumah dan pekarangan yang ditinggalkan.

Pada hari pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang, keadaan disitu lebih ramai daripada biasanya. Banyak tamu hilir mudik mengunjungi Thian-liong-pang dan para penduduk Yen-an hari itu merasa ketakutan selalu karena di kota Yen-an berkeliaran banyak orang-orang aneh dan sikapnya menyeramkan. Karena itu biarpun tidak tahu pasti, namun sudah dapat menduga bahwa para tamu luar kota yang hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah tamu dari Thian-liong-pang dan tentulah terdiri dari bukan orang baik-baik. Memang dugaan ini tepat.

Sebagian besar yang datang mengunjungi Thian-liong-pang adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lin dan kang-ouw (hutan lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok, bajak, gerombolan-gerombolan yang mengabdi kepada hukum rimba mengandalkan kekuatan untuk melakukan perbuatan apa saja yang mereka kehendaki.

Hari itu semenjak pagi sekali telah banyak orang-orang yang dandanannya aneh-aneh memasuki kota Yen-an. Menjelang siang hari, orang-orang yang dengan hati berdebar tidak enak menonton keramaian dan iring-iringan tamu ini, tertarik sekali melihat dua orang muda yang keadaannya tidak kalah anehnya daripada orang-orang yang menyeramkan lainnya, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan. Bahkan sebaliknya, dara remaja yang menunggang kuda hitam itu, biarpun pinggangnya digantungi pedang dan gagang pedang indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati dan sama sekali tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang pria yang memandangnya.

Adapun temannya, seorang pemuda remaja pula, juga berwajah tampan dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum. Bahkan ketika memasuki kota Yen-an, pemuda ini dengan wajah berseri lalu meniup suling sambil berjalan di samping kuda hitam! Sebatang golok besar dengan sarung pedang aneh, tidak kelihatan menyeramkan sebaliknya malah tampak lucu, seakan-akan, pemuda itu sengaja membadut dan menggantungkan golok untuk main-main saja.

Wajah Kwi Lan, dara yang menunggang kuda hitam, kelihatan gembira pula. Setelah beberapa pekan lamanya melakukan perjalanan bersama Hauw Lam, ia benar-benar mengenal watak pemuda ini sebagai seorang pemuda yang selalu gembira, jenaka, ugal-ugalan namun pada dasarnya gagah perkasa, tak kenal takut, berbudi dan.... selalu mengalah kepadanya.

Harus dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang lain, apalagi dengan orang mudanya. Teman satu-satunya hanyalah Suma Kiat, dan ia tidak suka kepada suheng ini, yang kadang-kadang memperlihatkan sikap terlalu manis berlebih-lebihan kepadanya akan tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh.

Tidak mengherankan apabila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan dalam waktu yang tidak lama itu mereka telah menjadi sahabat yang akrab. Sukar bagi seseorang untuk tidak ikut bergembira apabila melakukan perjalanan dengan Hauw Lam. Apalagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya memang lincah, jenaka dan suka bergembira.

Melihat betapa temannya memasuki kota Yen-an sambil meniup suling dan dengan lenggang dibuat-buat seperti seorang penari atau seperti orang berbaris, Kwi Lan tersenyum geli. Ia maklum bahwa kedatangan mereka ke Yen-an bukanlah sekedar pelesir, melainkan untuk mencari pengalaman dan lebih mendekati petualangan karena yang akan mereka masuki adalah sarang penjahat atau dunia hitam yang amat berbahaya! Akan tetapi melihat pemuda itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, ia menjadi kagum dan juga menjadi gembira.

Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang mudanya yang tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari belakang sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi melihat bahwa dua orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir kota, sebelum dekat mereka yang mengikuti sudah berhenti dan membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.

Setelah tiba di depan rumah gedung besar yang dihias arca singa batu dan papan nama perkumpulan itu, Kwi Lan menghentikan kudanya dan Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya.

Dari luar gedung saja sudah terdengar suara banyak orang di sebelah dalam. Beberapa orang penjaga menyambut mereka dengan menjura dan diantara mereka terdapat seorang laki-laki yang mukanya penuh cambang bauk dan yang kelihatan terkejut sekali melihat dua orang muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya terkejut itu berubah merah dan ia segera menjura dan berkata.

“Ah, kiranya Nona Mutiara Hitam dan Tuan.... Berandal yang datang berkunjung! Silakan masuk....!”

Melihat sikap Si Brewok ini, teman-temannya juga cepat memberi hormat kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan mendengar nama julukan pemuda tampan itu, diam-diam mereka merasa geli.

“Ha-ha-ha! Kiranya Si Ouw Kiu! Engkau masih hidup? Syukurlah kalau panjang umur. Kami datang memenuhi janji hendak menonton keramaian sekalian menyampaikan sumbangan kepada ketua baru Thian-liong-pang!”

Teman-teman Ouw Kiu tercengang mendengar ucapan dan menyaksikan sikap pemuda ini. Bicaranya begitu seenaknya seperti kepada seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran melihat betapa Ouw Kiu yang terkenal jagoan diantara mereka, begitu menaruh hormat yang berlebihan terhadap seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang masih amat muda.

Kalau semua temannya terheran, adalah Ouw Kiu yang menjadi merah mukanya. Peristiwa di dalam hutan dua pekan yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan Thian-liong-pang dan para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal itu merendahkan nama besar perkumpulan. Oleh karena itulah maka ketika tadi ia menyebut nama Mutiara Hitam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu bahwa dua orang inilah yang membunuh seorang anak murid Thian-liong-pang. Dengan menahan kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.

“Ah, Ji-wi ternyata memegang janji. Silakan masuk! Nona, biarlah orang-orang kami merawat kuda Nona itu. Silakan turun dan masuk ke dalam!”

“Mana bisa barang sumbangan ditinggalkan diluar?” Kwi Lan berkata.

“Barang sumbangan....? Apakah maksud Nona....?”

Kwi Lan tersenyum.
“Justeru kuda inilah barang sumbangannya untuk disampaikan kepada Ketua Thian-liong-pang!”

“Ah.... kuda bagus.... kuda hebat....!”

Ouw Kiu tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa kuda yang besar dan memang hebat ini akan dipersembahkan kepada ketuanya. Kiranya dua orang muda yang lihai ini telah merendahkan diri dan hendak menyenangkan hati ketuanya dengan hadiah seekor kuda pilihan, pikirnya. Akan tetapi jangan kira bahwa kalian akan dapat lolos dari sini, biarpun telah menyogok dengan seekor kuda.

Melihat Ouw Kiu memuji-muji sambil menjura.... seorang lain memberi isyarat dengan kedua tangan mempersilakan mereka dan yang lain-lain juga menjura. Kwi Lan lalu berkata,

“Hayo, Berandal kita masuk saja. Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun tentu suka mencicipi arak wangi Thian-liong-pang!”

“Hayo, tunggu apa lagi?”

Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian ia menempelkan suling pada mulutnya dan melangkah maju sambil meniup suling.

Adapun Kwi Lan tanpa mempedulikan gerak protes mulut, mata, dan tangan para penjaga sudah menarik kendali dan memaksa kuda hitamnya untuk menaiki anak tangga, terus menjalankan kudanya memasuki ruangan depan menuju ke dalam!

Tentu saja para penjaga kaget dan bergerak hendak mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik kepada teman-temannya dan kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat karena gentar dan sebentar merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa dua orang itulah yang membunuh seorang kawan mereka.

“Jangan sembarangan bergerak, mereka lihai sekali!” bisik Ouw Kiu. “Biarkan Pangcu yang membereskan mereka!”

Setelah berkata demikian, melalui pintu samping Ouw Kiu mendahului masuk dan diam-diam melaporkan kepada pimpinan Thian-liong-pang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar