Ads

Selasa, 10 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 084

Lembah Sungai Nu-kiang yang meluncur turun dari lereng Gunung Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia.

Lembah ini penuh dengan hutan-hutan liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di samping ini semua, keadaan daerah pegunungan yang amat sukar didatangi orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk datang menyerbu.

Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan pasukan Hsi-hsia, maka disitu telah dibangun pondok-pondok darurat yang cukup besar. Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung.

Akan tetapi Bouw Lek Couwsu yang suka dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di markas baru ini, ditemani Siang-mou Sin-ni yang biarpun tua namun masih kelihatan cantik dan menyenangkan hatinya, apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini disampingnya merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya menghadapi musuh.

Dan kakek berkepala gundul yang wajahnya masih tampan ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membunuh tokoh-tokoh Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.

Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul mundur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidaklah terlalu kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar adalah Kerajaan Sung. Ke dua, ia telah berhasil membunuh Ketua Beng-kauw dan para tokohnya sehingga ia dapat membalas kekalahannya dahulu. Ketiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita muda.

Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik, sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat bersenang-senang sepuas hatinya.

Juga Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih sehingga terpenuhilah kebutuhannya untuk menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat!

Siang-mo Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi makan minum secukupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia campuri obat untuk memperkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia “pergunakan” untuk keperluan ilmunya.

Akan tetapi tidaklah mudah membujuk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan dibawa ke dalam rimba lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah menangis lagi sejak ditangkap, namun tidak mengenal takut dan selalu menolak apabila diberi makan.

Setidaknya, ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan minuman yang lezat dan berlebihan, ditunggu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin segar, melainkan makin kurus dan pucat.

Setengah bulan kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat.

Wanita inilah yang bersama pendeta gundul berkaki buntung yang membunuh ayah bundanya dan wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari seperti terbang cepatnya ke tempat ini.

Melihat wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh tempat tidur, lalu ia duduk di pembaringannya. Matanya tak pernah berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin berniat baik terhadap dirinya.






Sejenak Siang-mou Sin-ni memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis.

“Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan? Ah, mengapa kau mengecewakan hatiku? Kau tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu? Aku sayang padamu, Han Ki.”

“Kalau sayang kenapa kau bunuh Ayah bundaku? Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi dari sini”

Sambil berkata demikian, Han Ki yang melihat betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri. Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat dan sebentar saja ia sudah lari keluar menerobos pintu.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terbetot ke belakang, bahkan melayang kembali ke dalam kamar. Han Ki meronta dan kaget sekali melihat betapa tubuhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.

“Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus”

Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup, membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangannya tak dapat bergerak. Ia tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut yang amat kuat. Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya.

Akan tetapi ia tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata terbelalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan yanci. Ia makin serem dan ngeri.

“Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu dahulu pernah menjadi kekasihku, tahukah kau anak baik? Dia amat cinta kepadaku.... hi-hik”

“Bohong....!”

Han Ki tidak begitu mengerti akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta iblis betina ini, mana ia mau percaya?

“Hi-hi-hik, siapa bohong? Kau lebih tampan dari dia, hem.... kulitmu lebih halus, darahmu lebih bersih dan murni.... hemmm....!”

Tiba-tiba wanita itu mencium dahinya, pipinya, hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya!

Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita itu akan menggigiti dan seperti seekor serigala akan memakannya. Ia merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah.

Ketika Siang-mo Sin-ni mencium mulutnya seperti orang gila, atau lebih mirip dengan seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa dada dimana tubuhnya menempel itu terengah-engah, merasa betapa mulut yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan marahnya, ia menggunakan kesempatan selagi rambut yang membelitnya itu mengendur, ia meronta sekuat tenaga sambil menarik mukanya ke belakang.

Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan terdorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan.... menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni!

Mulutnya bertemu kulit leher yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya biarpun ia dipukul sampai mati!

“Aiihhh....!”

Siang-mou Sin-ni menjerit lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang diantara Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun yang bahkan dialah satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu menghadapinya, belum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam pukulan darah beracun, bukan main kejinya.

Akan tetapi karena dalam detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh nafsu binatang karena mengilar akan kemurnian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia berada dalam keadaan seorang mabok dan pada detik-detik itu, semua tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang dikuasai oleh nafsu binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dilatihnya.

Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok!

Betapapun juga, sebagai seorang berilmu tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sin-ni terkejut. Kalau saja ia bukan orang yang memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali menggerakkan jari tangan membunuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut, melainkan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah itu mengeluh dan gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan.

Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokannya dan tersenyum memandang anak itu.
“Hebat,” bisiknya, “kulit leherku sampai pecah-pecah terluka.” Ia lalu melangkah keluar dan memanggil penjaga yang datang berlarian. “Jaga baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua hidangan dariku untuknya harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam mulutnya secara paksa.”

Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi. Ia merasa beruntung masih hidup, dan semalam itu ia duduk termenung memikirkan pengalamannya. Yang selalu terngiang di telinganya adalah pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih iblis betina itu! Ia tidak sudi untuk mempercayai hal ini, akan tetapi entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.

Tentu saja anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi kepada mendiang ayahnya, seorang pendekar dan menantu Ketua Beng-kauw. Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis betina ini dahulu akan tetapi kekasih paksaan karena Kam Bu Sin melayani semua kehendak dan nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki obat perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!

Pada keesokan harinya, seperti biasa, pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.

“Kau makan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara paksa.”

Hwesio itu mengancam sambil menyeringai, tampak giginya yang besar-besar dan berwarna kuning dekil.

Melihat gigi besar-besar kuning dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu makan sama sekali biarpun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah terhadap Siang-mou Sin-ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.

“Aku tidak sudi. Kau makan sendiri!” ia menjawab sambil membuang muka.

“Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku menjejalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel!”

Bentak hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih, mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini mendekat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar