Pangeran Talibu sungguhpun tahu bahwa Ratu ini hanya ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun, namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.
“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu menyayangnya. Memang kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kiranya tidak cukup untuk disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”
Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum.
“Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit dalamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai daripada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian Ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kau lakukan, biarpun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”
“Biarpun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.
Ratu Yalina menggeleng-geleng kepalanya.
“Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu.”
Pangeran Talibu membelalakkan matanya yang lebar dan bersinar tajam.
“Siapakah dia, Ibu?”
“....Suling Emas....”
“Ohh....!”
Pangeran ini tentu saja sudah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin.
“Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?”
Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya mengerti.
“Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!” Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih,
“Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan berhasil dan dia suka datang kesini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak tidur.”
Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah air matanya membasahi bantal.
Sejenak Pangeran Talibu berdiri bengong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksikan kedukaan ibunya.
“Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur disini menemani Ibu.”
Dengan suara serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang kepadanya, ia menjawab.
“Baiklah, Talibu.”
Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam dukanya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.
Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa girang mendapat kenyataan betapa Pangeran Talibu, sungguhpun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu mewarisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan.
Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalaman istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam memang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.
Kini ia berdiri di tengah kamar. Hatinya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar dimana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula menjadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan.
Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan madu! Maka kini ia merasa wajar berada disini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, membuat ia merasa canggung. Betapapun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa.
Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenalkan diri kepada Lin Lin.
Suling Emas lalu menanggalkan penyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.
Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melangkah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk guling menghadap ke dinding.
“Lin-moi....!”
Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu berguncang keras.
Ratu Yalina, biarpun seorang ratu, adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Sebagaimana lazimnya seorang ahli silat, dalam keadaan bagaimana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancaman. Oleh karena itu, biarpun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apabila tersentuh atau terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri.
Ketika Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat keluar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya menggigil.
“....Song-koko (Kanda Song)....?” bisiknya meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.
“Lin-moi, sudah lama sekali....”
“Song-ko....!” Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. “Song-koko.... ah, Song-koko....!”
Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu, kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya terlepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
“Ah...., tak mungkin.... ini tentu hanya mimpi.... hanya mimpi....!”
Ia tersedu dan.... “plakkk!” ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.
“Ahhh.... Song-koko.... kau benar-benar datang....?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin menjadi-jadi.
Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.
Suling Emas amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meramkan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa bahagianya dapat memeluk wanita ini.
Namun, dalam keadaan demikian, telinganya masih dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya mengerahkan sinkang menjaga punggung.
“Desss....!”
“Auuuhhh....!”
Pangeran Talibu meloncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa sakit setelah memukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.
Ratu Yalina terkejut dan cepat melepaskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh menghadap Pangeran Talibu. Biarpun tangannya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk menerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya.
“Keparat berani kau....!”
Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali tidak bergerak, hanya tersenyum.
“Plakk.... traanggg....!” Pedang itu terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.
“Ibu....?” Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”
Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini seorang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sungguhpun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!
Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata,
“Paman, mohon maaf atas kekurangajaranku, karena saya tidak tahu....“
“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah.... A... Ayahmu....!”
“Ibu!”
“Lin-moi....!”
Entah siapa lebih kaget antara Pangeran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini, wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!
“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu menyayangnya. Memang kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kiranya tidak cukup untuk disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”
Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum.
“Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit dalamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai daripada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian Ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kau lakukan, biarpun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”
“Biarpun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.
Ratu Yalina menggeleng-geleng kepalanya.
“Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu.”
Pangeran Talibu membelalakkan matanya yang lebar dan bersinar tajam.
“Siapakah dia, Ibu?”
“....Suling Emas....”
“Ohh....!”
Pangeran ini tentu saja sudah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin.
“Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?”
Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya mengerti.
“Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!” Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih,
“Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan berhasil dan dia suka datang kesini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak tidur.”
Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah air matanya membasahi bantal.
Sejenak Pangeran Talibu berdiri bengong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksikan kedukaan ibunya.
“Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur disini menemani Ibu.”
Dengan suara serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang kepadanya, ia menjawab.
“Baiklah, Talibu.”
Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam dukanya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.
Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa girang mendapat kenyataan betapa Pangeran Talibu, sungguhpun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu mewarisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan.
Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalaman istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam memang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.
Kini ia berdiri di tengah kamar. Hatinya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar dimana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula menjadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan.
Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan madu! Maka kini ia merasa wajar berada disini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, membuat ia merasa canggung. Betapapun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa.
Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenalkan diri kepada Lin Lin.
Suling Emas lalu menanggalkan penyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.
Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melangkah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk guling menghadap ke dinding.
“Lin-moi....!”
Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu berguncang keras.
Ratu Yalina, biarpun seorang ratu, adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Sebagaimana lazimnya seorang ahli silat, dalam keadaan bagaimana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancaman. Oleh karena itu, biarpun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apabila tersentuh atau terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri.
Ketika Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat keluar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya menggigil.
“....Song-koko (Kanda Song)....?” bisiknya meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.
“Lin-moi, sudah lama sekali....”
“Song-ko....!” Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. “Song-koko.... ah, Song-koko....!”
Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu, kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya terlepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
“Ah...., tak mungkin.... ini tentu hanya mimpi.... hanya mimpi....!”
Ia tersedu dan.... “plakkk!” ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.
“Ahhh.... Song-koko.... kau benar-benar datang....?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin menjadi-jadi.
Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.
Suling Emas amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meramkan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa bahagianya dapat memeluk wanita ini.
Namun, dalam keadaan demikian, telinganya masih dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya mengerahkan sinkang menjaga punggung.
“Desss....!”
“Auuuhhh....!”
Pangeran Talibu meloncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa sakit setelah memukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.
Ratu Yalina terkejut dan cepat melepaskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh menghadap Pangeran Talibu. Biarpun tangannya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk menerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya.
“Keparat berani kau....!”
Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali tidak bergerak, hanya tersenyum.
“Plakk.... traanggg....!” Pedang itu terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.
“Ibu....?” Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”
Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini seorang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sungguhpun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!
Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata,
“Paman, mohon maaf atas kekurangajaranku, karena saya tidak tahu....“
“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah.... A... Ayahmu....!”
“Ibu!”
“Lin-moi....!”
Entah siapa lebih kaget antara Pangeran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini, wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar