Ads

Rabu, 18 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 108

“Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak panglima yang pandai dan pasukan-pasukan yang kuat.”

“Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng selidiki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai hubungan dengan banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita.”

“Bu-tek Ngo-sian? Siapakah mereka?”

Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.

“He-heh-heh, tidak heran kalau Paduka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan memiliki kepandaian mengerikan.”

“Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedudukan kita, Pangeran Talibu. Karena itu, pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan kami.”

“Bouw Lek Couwsu, aku hanya seorang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat kuputuskan sendiri. Apakah yang harus kulakukan sekarang?”

“Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya.”

“Kalau Ibuku menolak....?”

“Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami....“

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu tiba di ruangan itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke depan.

Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan tangis. Mereka kelihatan bingung, sedih dan ketakutan. Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.

“Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hutang kepadamu!” kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. “Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutiara Hitam, akan tetapi sebagai gantinya, lima orang gadis paling cantik yang kutemui di sepanjang perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi kalian menjamu Pangeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah, kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik, Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah!”

Melihat kedatangan Siauw-bin Lo-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang. Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apalagi setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah kemana perginya itu. Ia tertawa bergelak.

“Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lomo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Talibu!” perintahnya kepada lima orang gadis yang masih berlutut.

Karena sudah mengalami siksaan apabila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu seperti kehilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit berdiri.






Wajah mereka yang cantik itu menjadi agak terang ketika mereka melihat siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan untuk menolak! Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pendeta yang biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandanan seperti orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlumba menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.

Talibu hampir tak dapat mengendalikan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenalkan Pak-sin-ong sebagai seorang di antara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah sekali. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khitan dapat bekerja sama dengannya?

Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah lemas dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia merasa seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk menerkam dan mengeroyoknya!

Ia memandang dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan benci di hatinya. Sebaliknya, mereka itu bukan lima ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih. Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk. Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang memusuhinya ini. Tak dapat pula ia menahan kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.

“Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing.”

Lima orang gadis itu kelihatan bingung, saling pandang, meragu dan seperti tidak percaya kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw-bin Lo-mo yang masih duduk sambil tertawa. Melihat ini serentak timbul harapan mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemuda tampan itu. Otomatis mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu bangkit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.

Mendadak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah meloncat melalui lima orang gadis itu, berdiri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.

“Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau kemana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!”

Sekali rangkul, ia telah menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.

“Tahan!” Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya menyaksikan perbuatan Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah kubebaskan dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata disini?”

“Eh-eh, orang muda! Aku yang membawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak membebaskan mereka? Kau berani memandang rendah Siauw-bin Lo-mo?” Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.

Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah.

“Bouw Lek Couwsu, engkaulah tuan rumah disini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?”

Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya!

“Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan menolak hidanganku untuk menikmati wanita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual lagak. Ha-ha-ha, apa kau kira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau pura-pura bersikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khitan? Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja disini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau menulis surat itu sekarang juga?”

“Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak melihat perubahan mukanya? Sudah kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa.”

Kata Bu-tek Siu-lam sambil membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya secara tak tahu malu.

“Couwsu, serahkan saja bocah ini kepadaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya saja? Tanggung dalam beberapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu.”

Kata pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah merah.

Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siu-lam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang menggigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak,

“Hayo kalian bertiga buka pakaian!”

Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang diantara mereka berkata dengan suara gemetar,

“Ampunkan kami.... ampunkan kami....“ sedangkan yang dua orang lainnya menangis.

“Masih belum memenuhi perintah?”

Bouw Lek Couwsu membentak lalu mengerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia tertawa, kedua lengannya yang besar berbulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara “brett, brett, brett....!” diantara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek semua sehingga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat. Mereka hanya dapat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan.

Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan sengaja ia meraih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul seperti tadi! Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakaian cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang dalam waktu beberapa detik sudah telanjang pula seperti teman-teman senasib mereka.

“Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Talibu? Maukah kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau, biarlah pinceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!” Bouw Lek Couwsu berkata penuh ejekan.

Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang terjadi, sampai mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia macam ini, dan bahwa ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.

“Jahanam berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut dibasmi!”

Ia menyerbu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatangkan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil membalikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lo-mo sudah berdiri di depannya, tertawa-tawa dan berkata.

“Couwsu, apakah kau ingin dia mampus?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar