Ads

Senin, 23 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 126

Suara Pangeran Talibu tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu,

“Nona...., siapakah engkau....? Siapakah namamu....?”

Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih,

“.... aku.... namaku Kam Kwi Lan....”

Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yang menyambarnya. Tubuh itu seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sampai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sampai jatuh terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia terloncat bangun dan berdiri.

“Ada apakah....? Mengapa kau.... kau....?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.

Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal betul dengan gadis ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam.Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!

"Kau.... kau.... Mutiara Hitam....?" bisiknya dengan suara menggetar.

Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk.
"Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena.... karena.... kita saling mencinta?"

"Diam....!" Pangeran Talibu membentak. "Jangan bicara tentang itu....!"

Biarpun Kwi Lan merasa sudah tergila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati. Ia mengerutkan kening dan berkata,

"Apa? Jadi.... kau tadi.... hanya pura-pura.... dan kau tidak cinta kepadaku?"

"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi.... kau....!"

"Kenapa....?"

Tiba-tiba Kwi Lan menaruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri.

Pangeran Talibu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan mengintai. Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan, tentu keadaan mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.

Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar-sinar, hidung yang kecil mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kembang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menantang, dada yang padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk.

Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan tetapi, pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini merupakan perisai yang kokoh kuat.

Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang menggetar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah. Ia terpekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu berahi dapat tertahan.






Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu berahi yang timbul dari obat pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih ada kesadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin mendengar bisikannya? Mengapa?

Andaikata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus ada perasaan yang seperti memabokkannya ini? Di sudut hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi ia tidak tahu apa ketidakwajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda itu seperti tersiksa bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.

"Pangeran, kau kenapa? Kita.... kenapa?"

Ketidakwajaran yang makin mendesak dalam kesadarannya membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu.

Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu.
"Kwi Lan.... Mutiara Hitam ah, kita mabok. Tidak wajar ini! Kita keracunan.... begini panas dan begini.... merangsang...."

Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Racun! Biarpun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun vang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan berahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun!

Teringat akan taburan bubuk wangi yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama Pangeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia mencinta pemuda ini! Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di manapun juga.

"Benar kiranya, Pangeran. Kita terkena racun. Akan tetapi.... apa bedanya? Aku tidak menyesal...."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku.... aku.... ah, bukan main panas hawanya...."

Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu duduk di sudut dan bersandar pada dinding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak melonggar untuk mengurangi hawa panas. Gerakan gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun mundur di sudut yang berlawanan.

Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora berahi yang membakar. Namun siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu tidaklah seberat yang diderita Mutiara Hitam. Pangeran itu memaksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kembarnya sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang bertemu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi tawanan dan keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini merupakan penguat batinnya untuk melawan arus berahi yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.

Hebat memang pengaruh obat itu. Serangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sin-kang yang dikerahkannya untuk melawan hasrat yang dianggapnya gila dan tidak tahu malu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sin-kang ini dipergunakan untuk menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sendiri.

Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sungguhpun ia mempunyai perisai berupa pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya, namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dirasakannya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata mengejek,

"Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan minum!"

Daun pintu terbuka dan seorang hwesio jubah merah masuk membawa sebatang lilin merah besar yang sudah dinyalakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwesio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu.

Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya. Belum saatnya untuk turun tangan, pikirnya.

Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana kamar pengantin!

"Pangeran, apakah yang kau pikirkan?"

Kwi Lan akhirnya bertanya setelah sekian lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada turun naik bergelombang.

Talibu membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu berahi. Mata yang melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah.

Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa disadarinya saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin tersiksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulat-bulat!

"Apa yang kau pikirkan? Aku.... aku.... memikirkan.... kematian!" jawab Talibu.

Bagi Pangeran ini, keadaannya merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguhpun ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok.

Kwi Lan tersenyum dan kembali Talibu memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya, seperti ujung golok menusuk jantung!

"Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan khawatir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."

Kembali Talibu membuka matanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa mereka adalah kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang berahi sukar dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian dengan berkata gembira.

"Apapun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona!"

Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi. Talibu kembali tertawa dan berkata.

"Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"

"Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan daripada itu.," jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget.

Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!

Pangeran Talibu menarik napas panjang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya. Mempunyai kekasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar