Namun, yang dihadapi pemuda lihai ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang diantara Bu-tek Ngo-sian. Sungguhpun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu silat Yu Siang Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ganas, juga kakek banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua terjangan tongkat Yu Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua senjata itu bertemu.
Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek Siu-lam ini. Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam, pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan.
Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?"
Bu-tek Siu-lam mengejek dan terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan. Jarang ia menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pikirnya. Tampan, kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidaklah mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus lebih!
Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapapun juga, ia harus mempertahankan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripadanya. Ia harus menggunakan akal, kalau tidak, hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat membunuh Bu-tek Siu-lam.
Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya, mengandung tenaga sin-kang yang kuat.
Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke dada.
Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa.
Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya dicaplok gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan kehilangan lengan kiri, akan tetapi pukulannya tentu akan membinasakan lawannya!
Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama sekali tidak mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagumkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu menyeleweng ke bawah dan menghantam paha kirinya.
"Bukkk....!"
Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Biarpun tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!"
Teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!
Yu Siang Ki kaget dan menyesal sekali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia hanya mendatangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tongkatnya. Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secara hebat. Ia melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua matanya!
Pemuda ini terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum.
Akan tetapi jarum yang diikat benang itu seperti hidup digerakkan tangan kiri Butek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap di pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh, tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang mengeluh perlahan dan roboh pingsan.
Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek Siu-lam ini. Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam, pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan.
Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?"
Bu-tek Siu-lam mengejek dan terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan. Jarang ia menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pikirnya. Tampan, kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidaklah mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus lebih!
Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapapun juga, ia harus mempertahankan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripadanya. Ia harus menggunakan akal, kalau tidak, hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat membunuh Bu-tek Siu-lam.
Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya, mengandung tenaga sin-kang yang kuat.
Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke dada.
Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa.
Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya dicaplok gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan kehilangan lengan kiri, akan tetapi pukulannya tentu akan membinasakan lawannya!
Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama sekali tidak mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagumkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu menyeleweng ke bawah dan menghantam paha kirinya.
"Bukkk....!"
Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Biarpun tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!"
Teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!
Yu Siang Ki kaget dan menyesal sekali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia hanya mendatangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tongkatnya. Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secara hebat. Ia melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua matanya!
Pemuda ini terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum.
Akan tetapi jarum yang diikat benang itu seperti hidup digerakkan tangan kiri Butek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap di pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh, tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang mengeluh perlahan dan roboh pingsan.
**** 130 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar