Ads

Selasa, 08 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 006

Saking tertariknya, pemuda yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian indahnya, sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang, yaitu taman puteri yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar berduri yang tinggi.

Namun bagi Han Ki tentu saja pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung berkilauan agaknya terbuat daripada perak dan emas, ia mengenjot tubuhnya dan melompati pagar bunga mawar.

Dia sampai berdiri bengong dan menahan napas menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang tumbuh di tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah seperti permadani dari beludru? Seperti dalam mimpi ia berjalan terus, melangkah ke arah sekumpulan bangunan yang dicat merah.

Tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungang bahkan lalu mendengar wanita menangis? Cepat ia menyelinap diantara pohon bunga, berlompatan mendekati suara yang datangnya dari balik kelompok bangunan.

Ketika ia tiba di situ dan memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali. Kalau tadi ia kagum dan merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia terpesona menyaksikan seorang dara jelita yang kecantikannya seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku?

Seorang dara jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur oleh empat orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa orang diantara wanita-wanita itu ada yang sibuk menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.

"Kalau dia tidak mau kembali dan terbang pergi.... ah bagaimana?"

Dara cantik yang berpakaian indah itu terisak. Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon, mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!

"Tenanglah, Siocia, kalau kita tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun," seorang diantara empat pelayan itu menghibur.

"Apakah tukang kebun dapat terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang (Kaisar) mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap kemarahan Hong-houw (Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya." Dara itu menangis lagi.

Han Ki merasa kasihan sekali. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa ia tiba-tiba merasa kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum dan apa urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian gelisah dan melihatnya menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Ia memandang ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang indah sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia bahwa Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas dan kini merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali. Terdorong oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat keluar dan berkata,

"Harap Siocia tidak khawatir, saya akan menangkap burung itu!"

Dara berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun menutup mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka, menjadi heran, hanya mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas pohon.

Burung itu terkejut dan terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya dan burung itu tertahan terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat turun.

"Nah, ini dia, Siocia, sudah dapat saya tangkap, kembali."

Dara itu girang bukan main, lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan seorang diantara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu sudah aman berada di dalam sangkar kembali.

Kini barulah lima orang wanita itu memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia melihat sinar kagum jelas sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.

"Eh, orang muda, apakah kau pandai terbang?" seorang diantara empat pelayan bertanya.






"Apakah engkau tukang kebun baru?" tanya yang ke dua.

Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng kepala.

"Aku tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun."

Kini puteri itu memutar tubuh dan memandang ke arah wajah Han Ki, penuh kemarahan dan bibir yang merah itu merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.

"Kalau engkau bukan tukang kebun, bagaimana engkau bisa berada disini?"

Han Ki tak gentar menghadapi pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip menghadapi serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar keluar dari sepasang mata indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!

"Aku.... aku...., melihat-lihat taman dan melompati pagar bunga mawar!"

"Aihh! Orang muda yang kurang ajar!" Seorang diantara para pelayan membentak. "Kau bicara seenaknya saja di depan seorang puteri Kaisar!"

Han Ki terkejut sekali, akan tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih.

"Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak tahu.... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini...."

Aneh sekali. Kini puteri itu tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar, kemudian ia berkata,

"Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini, engkau akan dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini”.

"Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya yang telah menangkap kembali burung yang terlepas."

"Tidak, Siocia. Saya tidak membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak bersedih? Sungguhpun begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin bebas...."

Sepasang alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu.

"Engkau bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kau katakan bahwa tentu saja burung itu ingin bebas kemudian kau mencelanya sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?"

Puteri itu memandang tajam dan kembali jantungnya berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya itu benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.

"Dia bodoh sekali, Siocia. Kalau saya menjadi dia, saya.... saya akan merasa bahagia sekali dikurung dalam sangkar dan berada di sini selamanya!"

Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.

Kembali sepasang mata itu terangkat dan sepasang mata indah itu melebar.
"Mengapa?"

"Karena.... karena setiap hari akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia...."

"Alihhh....!"

Puteri jelita itu membuang muka, wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya, mata seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata kelinci terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum malu, tersipu-sipu!

"Weh-weh, kau laki-laki kurang ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini”, kata seorang pelayan, juga tiga orang yang lain marah-marah. "Siapa sih engkau berani mati seperti ini?"

Han Ki menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia bukan menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu.

"Saya bernama Kam Han Ki, pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya diperkenankan oleh Hongsiang untuk melihat-lihat Taman, akan tetapi telah tersesat kesini, harap Siocia sudi memaafkan."

"Oohhh....! Kau.... kau.... adik sepupu Menteri Kam?"

Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari pandang matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah, kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka. Sang Puteri dapat menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak.

"Mau apa kalian tersenyum-senyum?"

Empat orang pelayan itu menunduk akan tetapi tetap tersenyum dan seorang diantara mereka yang paling berani lalu berkata,

"Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang rendah, Siocia. Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah perkasa, malah pandai terbang melebihi burung. Hemm ...."

Puteri itu tersipu-sipu akan tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona karena wajah puteri itu makin dipandang makin mempesona lalu berkata lirih.

"Kam-taihiap, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan mendapat malu. Harap suka pergi dan.... terima kasih atas bantuanmu tadi."

Han Ki mengangguk, merasa kecewa sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia berkata,

"Maaf....!"

Lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar bunga mawar dengan kedua kaki lemas.

Mengapa hatinya seperti hilang dan semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang lemas saja yang pergi, akan tetapi semangat dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri. Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.

"Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?" Sunyi sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri itu berkata lirih.

"Namaku.... Hong Kwi...."

"Terima kasih!"

Han Ki berkata dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati pagar. Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru,

"Dia.... dia menghilang. Jangan-jangan dia.... setan....!"

Puteri itu tertawa, suara tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali.

"Hushhh! Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Tai-hiap, seorang pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja....!"

"Hebat.... Betulkah, Siocia? Hi-hihik!" para pelayan tertawa.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar