Dia harus dapat menyelinap ke Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang berloncatan ke sana sini seperti orang nekat.
Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat mundur.
Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya
“Awas senjata rahasia!”
Bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
“Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup!”
Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki istana.
Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking lelahnya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan.
Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadapan seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang mengejarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
“Kita harus mengepung seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia!
Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wanita yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
“Jangan menjerit!” Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. “Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!”
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri.
“Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon perlindungan....”
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu.
“Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?"
“Benar, hambalah orang itu!”
“Siapa namamu?”
“Hamba Kam Han Ki....”
“She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?”
“Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba....”
“Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembunyi di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini kedalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus,
“Siapa di luar?”
“Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam!” terdengar jawaban dari luar.
“Masuklah, daun pintu tidak dikunci,” jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya!
Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
“Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?”
Tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata,
“Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar.”
Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
“Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pekhumu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.”
“Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!”
Kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar dimana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi!
Diantara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya.
Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
“Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!”
“Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
“Rrrrtt.... cring-cring....!”
Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan kesamping secara aneh dan tak terduga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat mundur.
Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya
“Awas senjata rahasia!”
Bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
“Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup!”
Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki istana.
Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking lelahnya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan.
Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadapan seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang mengejarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
“Kita harus mengepung seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia!
Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wanita yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
“Jangan menjerit!” Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. “Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!”
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri.
“Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon perlindungan....”
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu.
“Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?"
“Benar, hambalah orang itu!”
“Siapa namamu?”
“Hamba Kam Han Ki....”
“She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?”
“Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba....”
“Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembunyi di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini kedalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus,
“Siapa di luar?”
“Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam!” terdengar jawaban dari luar.
“Masuklah, daun pintu tidak dikunci,” jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya!
Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
“Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?”
Tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata,
“Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar.”
Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
“Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pekhumu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.”
“Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!”
Kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar dimana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi!
Diantara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya.
Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
“Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!”
“Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
“Rrrrtt.... cring-cring....!”
Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan kesamping secara aneh dan tak terduga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar