Ads

Rabu, 06 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 116

Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat.

Para penduduk di kaki pegunungan ini seringkali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan adakalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.

Biarpun semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri.

Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu dimana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.

Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan kepandaiannya yang tinggi.

Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan dan karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak orang.

Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu dibawa ke bentengnya, kemudian dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik!

Karena inilah, maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya dan masih terus minta ditambah!

Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya.

Pihak pimpinan Beng-kauw yang asli, sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi, juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta dibunuh termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu ditawan.

Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, adapun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biarpun kedua orang encinya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula, maka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.

Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya.






Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.

"Tok-tok-tok! Suhu....!" Terdengar ketukan di pintu kamar itu.

"Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?" Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.

"Teecu hendak melapor, ada musuh datang!" Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.

"Heh, keparat!"

Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena muridnya cantik.

"Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?"

"Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kau jaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!"

Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang sambil menangis mengguguk.

Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok dimana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.

"Dimana mereka? Dan berapa orang yang datang?"

"Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama)," jawab seorang pembantunya. "Enci adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga."

"Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka."

"Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?"

"Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Dimana mereka?"

"Mereka mendaki dari lereng sebelah utara."

"Aku tidak ingin mengorbankan anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka."

Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong.

Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran, akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali Beng-kauw.

Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka.

Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mujijat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga muridnya.

"Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku menduga bahwa di bagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki."

"Baik, Cici,"

Jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman disamping lebih tinggi tingkat ilmunya.

Mereka berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas diantara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.

"Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!" kata Siang Hui.

"Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi jebakan."

Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.

"Trakk!"

Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.

Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw asli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!

"Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?"

"Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar