Ads

Selasa, 22 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 049

“Suhu....!” Han Ki berteriak kaget.

“Suhu....!”

Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ketimur.

“Suhu....!” Mereka berteriak.

Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.

“Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu.”

Maya dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih,

“Suheng.... Suhu pergi ke manakah?”

Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus.
“Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi kemana siapa yang tahu?”

Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee. Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata,

”Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!”

Han Ki tersenyum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa kelak akan terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.

“Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan beres,” katanya perlahan.

“Engkau adalah suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya.”

Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu.

“Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.

“Tentu saja!” jawab Maya cepat, “Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.”

“Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?”

“Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua.”

Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya,

“Siauw Bwee sumoi, bagaimana pendapatmu?”






Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus,

“Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.”

Mendengar ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan!

Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas.

Adapun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.

“Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.”

“Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita berlumba!” Maya berkata dan menantang Siauw Bee.

“Baik, marilah, Suci!”

Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin.

Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil memperhatikan cara mereka berlari cepat.

Ke dua orang gadis cilik itu dapat berlari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat berlari dengan seenaknya.

Han Ki melihat betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.

“Wah, kalau kalian berlari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan kalian, Sumoi!”

Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan ginkangnya dan berlari cepat sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka tadi.

“Suheng, larimu cepat sekali!” Maya berseru kagum.

“Seperti Suhu ketika mermbawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?” Siauw Bwee juga berkata.

“Inilah yang disebut Cio-siang-hui!” jawab Han Ki.

“Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku!”

Maya berseru dengan kagum karena ilmu “terbang di atas rumput” ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.

“Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua. Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi, hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main.

Maya dan Siauw Bwee tadinya mentaati pesan suhengnya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.

“Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!”

Melihat betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat.

Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai seseorang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.

“Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, didepan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!”

Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya.

Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun menggandeng dua orang sumoinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara guha-guha ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cukup untuk tempat berteduh dari terik matahari.

“Ini perahu Suhu!” Han Ki berseru girang. “Marilah!”

Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan mendorongnya ke atas air laut.

Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.

Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.

“Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.”

Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk.

“Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menyelidiki ke kota raja kelak, akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.”

“Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!”

Kam Han Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya.
“Hemmm.... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar