Ads

Selasa, 22 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 048

Sungguh mengherankan, dua orang perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.

Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.

Kakek tua renta itu mengangguk-angguk.
“Bahagialah orang yang memiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka,”

Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata,

“Hamba mohon petunjuk.”

Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya.

Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang sekali dan “membuka” semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu.

Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa dalam saat yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.

Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah pekuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.

Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya “besar”, namun sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.

Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu.

Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya.

Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat merobohkannya!

Dengan langkah tenang, Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka.






Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.

Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri.

Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee dan dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat.

Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.

Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur.

Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.

Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus.

“Han Ki....”

Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh.

Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya dan Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.

“Suhu....!”

Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.

“Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku”.

“Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.

Kakek itu menoleh dan menunduk tersenyum.
“Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu. Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kau hadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias.

Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan. Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha batu karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.”

“Pulau Es....?” Han Ki berdebar tegang.

“Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri....“ kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.

Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.

“Suhu hendak ke manakah?”

Tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.
“Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee.”

“Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?”

Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.

“Bertanyalah selagi ada kesempatan, Maya.” .

“Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?”

Kakek itu tersenyum dan memandang kepada Han Ki.
“Jawabannya boleh kau dengar dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal dapat kau tanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.“

Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu.

“Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”

Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.

“Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap.... Cinta....!” Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah tebing!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar