Ads

Selasa, 22 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 047

Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.

“Cett!”

Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.

“Keparat, hendak lari ke mana kau!”

Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya.

Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!

“Trik-trik!”

Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.

“Suhu, awas....“

Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini, membantu muridnya.

“Tek San, lari....!”

Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.

Biarpun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima.

Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat!

Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa keluarga mereka.

Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orang perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!

“Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita disana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!”






Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima lalu memasuki terowongan pintu gerbang.

Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang perajurit pengawal, akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun kipasnya terobek.

Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan “tercuci” darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.

Akan tetapi, karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki.

Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi, muridnya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.

Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi, yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang.

Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan.

Apalagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.

Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut.

Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.

Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka berdua.

Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.

Akan tetapi, Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali.

Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.

Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.

“Tek San awas anak panah....!”

Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.

Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!

“Suhu....!” Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.

Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan diluar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentang lebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh.

Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!

Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.

“Ayahhhh....!”

Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.

“Pek-hu....!”

Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.

Akan tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu.

Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.

“Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....!”

Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah.

Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang, kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata lirih.

“Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar