Ads

Rabu, 23 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 058

Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi dan untuk pelajaran ini mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.

Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biarpun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda.

Dalam hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi, dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.

Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih.

Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh,

“Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kau latih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi.”

Maya mengangguk dan menjawab,
“Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidak puasan hatinya.

“Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoinya yang ke dua.

“Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!”

Kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca, jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat.

Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata,

“Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik.”

Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata,
“Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!”

Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat

“Krakkk! Dada arca itu retak-retak dan Maya menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.

“Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!”

Han Ki berseru marah. Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusak.






Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata,

”Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman....“

Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang? Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata,

“Suheng, kalau arca itu rusak, bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.”

Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoinya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!

“Arca ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus dapat membuatkan penggantinya.”

Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali!

Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya.

Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang!

Namun, di samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa.

Han Ki adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki!

Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?

Kalau Han Ki sedang melatih silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yang cantik jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam.

Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada serangkaian peristiwa yang amat hebat!

“Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!”

Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana.

Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitab-kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.

“Kitab-kitab pelajaran ilmu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”

Karena inilah, maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.

Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.

“Prakkk” Burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!

“Ohhh....! Burungku.... aih, burungku pecah....!”

Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.

Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,

“Ahh, begitu saja menangis. Cengeng....!”

“Maya-sumoi! Apa yang kau lakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.

“Aku hanya ingin meminjam, dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!“

“Tidak! Dia memang hendak merampasnya!” Siauw Bwee membantah, terisak-isak.

“Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,”

Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.

“Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku.”

Han Ki mengerutkan keningnya.
“Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan tidak merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf kepada Khu-sumoi!”

“Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.”

Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.

“Lihat, Khu sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali menegur.

Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur.

“Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.

“Suci, kau hendak kemana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar