Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhunya. Dengan dasar yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak.
Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
“Aku akan mempelajari ilmu disini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”
Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk.
“Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”
Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya,
“Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingga kau hendak membasminya semua?”
“Musuh-musuhku?”
Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!
“Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!”
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya ini akan lebih “ngotot” lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau “kalah” begitu saja dan ia langsung mencela,
“Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!”
“Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Dimana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?”
Biarpun Maya menyebut “sumoi yang manis” namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat.
Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.
“Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kaki tangannya.”
“Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya,
“Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya,
“Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka”
Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan.
“Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?”
Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya “siansu”. “Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!”
“Akan tetapi, Suheng,” Siauw Bwee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu , sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas.
“Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”
Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.
“Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apapun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!”
Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh semangat itu.
“Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”
“Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan dimana Suheng bekerja sebagai seorang panglima yang setia! Aku sendiri tertimpa malapetaka, ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”
Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana.
“Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.”
“Ah, mana mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”
Han Ki menggeleng kepala,
“Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biarpun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia.
Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan dimata manusia, juga dimata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”
Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
“Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.
“Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!” Siauw Bwee berkata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia belaka. Kesadaran datang bukan oleh palajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman.
Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.
“Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih.
Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak.
Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
“Aku akan mempelajari ilmu disini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”
Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk.
“Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”
Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya,
“Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingga kau hendak membasminya semua?”
“Musuh-musuhku?”
Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!
“Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!”
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya ini akan lebih “ngotot” lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau “kalah” begitu saja dan ia langsung mencela,
“Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!”
“Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Dimana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?”
Biarpun Maya menyebut “sumoi yang manis” namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat.
Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.
“Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kaki tangannya.”
“Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya,
“Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya,
“Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka”
Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan.
“Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?”
Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya “siansu”. “Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!”
“Akan tetapi, Suheng,” Siauw Bwee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu , sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas.
“Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”
Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.
“Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apapun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!”
Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh semangat itu.
“Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”
“Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan dimana Suheng bekerja sebagai seorang panglima yang setia! Aku sendiri tertimpa malapetaka, ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”
Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana.
“Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.”
“Ah, mana mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”
Han Ki menggeleng kepala,
“Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biarpun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia.
Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan dimata manusia, juga dimata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”
Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
“Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.
“Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!” Siauw Bwee berkata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia belaka. Kesadaran datang bukan oleh palajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman.
Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.
“Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar