Han Ki kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak, menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek botak.
“Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kapandaian mereka itu hebat sekali, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”
Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing seperti seekor ular merayap naik.
Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua orang gadis cilik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
“Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain daripada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.
“Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.
“Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
“Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita kesana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghubungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah.
Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya.
Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat besar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.
“Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal disini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru, gembira dan kagum.
“Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan disini!”
“Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil.
Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan. Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara disitu makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.
“Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”
Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan.
Di tengah pulau itu, diantara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
“Mari kita masuk!”
Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya,
“Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di....“
“Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andaikata ada penghuninya sekalipun kita takut apa?” Maya mencela dengan suara nyaring.
“Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah!”
Han Ki menggandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan diantara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.
Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil.
Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin.
Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdapat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu!
Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya. Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan daging.
Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoinya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhunya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.
“Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?”
Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.
“Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, kemana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
“Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.
“Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”
Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
“Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi perut”.
Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoinya melupakan perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya.
Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoinya.
Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya.
Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat menggembirakan hati Han Ki.
Kedua orang sumoinya merupakan ”murid-murid” yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapapun lelahnya, seorang diantara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka “sikat” satu demi satu!
“Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kapandaian mereka itu hebat sekali, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”
Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing seperti seekor ular merayap naik.
Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua orang gadis cilik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
“Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain daripada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.
“Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.
“Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
“Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita kesana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghubungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah.
Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya.
Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat besar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.
“Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal disini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru, gembira dan kagum.
“Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan disini!”
“Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil.
Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan. Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara disitu makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.
“Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”
Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan.
Di tengah pulau itu, diantara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
“Mari kita masuk!”
Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya,
“Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di....“
“Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andaikata ada penghuninya sekalipun kita takut apa?” Maya mencela dengan suara nyaring.
“Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah!”
Han Ki menggandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan diantara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.
Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil.
Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin.
Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdapat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu!
Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya. Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan daging.
Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoinya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhunya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.
“Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?”
Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.
“Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, kemana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
“Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.
“Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”
Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
“Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi perut”.
Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoinya melupakan perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya.
Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoinya.
Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya.
Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat menggembirakan hati Han Ki.
Kedua orang sumoinya merupakan ”murid-murid” yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapapun lelahnya, seorang diantara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka “sikat” satu demi satu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar