Ceng Liong menganggguk-angguk.
“Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimanapun juga, andaikata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmupun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab malapetaka yang melenyapkan Pulau Es.”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak.
“Apa? Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong menghela napas panjang.
“Dia berkali-kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan amat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”
“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku.”
“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Bagaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”
Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.
Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga.
“Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”
“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”
Tiba-tiba wajah Bi Eng berobah merah sekali dan bersungut-sungut.
“Engkau yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”
Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati.
“Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”
Bi Eng menggeleng kepala.
“Bukan karena benci, akan tetapi mana mungkin aku berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan orang tuaku saja.”
“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walapun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekalipun.”
Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan ia melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.
“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka.?”
“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapapun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”
“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”
Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang, matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang! Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Akan tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh.
“Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.
“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”
Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu manjadi gugup.
“Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... eh, memang ada, ya, ada memang.”
Gadis itu mengerutkan alisnya.
“Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”
“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.
“Hemm.... dan.... dan iapun cinta padamu?”
Ceng Liong menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu.”
“Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimanapun juga, andaikata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmupun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab malapetaka yang melenyapkan Pulau Es.”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak.
“Apa? Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong menghela napas panjang.
“Dia berkali-kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan amat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”
“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku.”
“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Bagaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”
Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.
Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga.
“Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”
“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”
Tiba-tiba wajah Bi Eng berobah merah sekali dan bersungut-sungut.
“Engkau yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”
Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati.
“Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”
Bi Eng menggeleng kepala.
“Bukan karena benci, akan tetapi mana mungkin aku berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan orang tuaku saja.”
“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walapun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekalipun.”
Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan ia melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.
“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka.?”
“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapapun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”
“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”
Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang, matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang! Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Akan tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh.
“Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.
“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”
Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu manjadi gugup.
“Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... eh, memang ada, ya, ada memang.”
Gadis itu mengerutkan alisnya.
“Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”
“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.
“Hemm.... dan.... dan iapun cinta padamu?”
Ceng Liong menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu.”
Karena pertanyaan-pertanyaan itu makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka diapun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.
“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”
“Aku.... aku takut, Bi Eng.”
“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”
“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasihat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”
Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh.
“Engkau....? Minta nasihat dariku? Ah, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”
Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.
“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”
Ceng Liong memandang kagum.
“Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda.”
“Kalau itu sih belum pernah!”
Ceng Liong terbelalak dan nampak girang.
“Eh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?”
“Aku kan wanita dan yang kau cinta itupun wanita, bukan?”
Ceng Liong mengangguk-angguk bingung.
“Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasihatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia mencintaku, dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku.”
“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, kalau pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tidak menyatakan cintamu, mana ia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasihatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”
“Begitukah nasihatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”
“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cinta padamu.”
Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong, mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.
“Apa....? Apa yang kau katakan itu.?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu.”
“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berobah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Melihat ini, Ceng Liong menjura.
“Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang menasihatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah.”
“Tapi....tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”
“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”
“Tapi.... kita baru saja berjumpa dan kau menyatakan cinta....?”
“Bi Eng, sejak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkaupun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa.?”
Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya dan air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya.
Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan diapun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah, aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi matipun aku tidak akan membalas.”
Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.
Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”
Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan biarpun pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.
“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain.”
Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berobah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.
“Tapi, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”
Gadis itu terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju.
“Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja.”
“Ah, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepala.
“Diapun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua, dan kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”
Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!
“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”
“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”
Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong.
“Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”
“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”
“Ahh....?”
Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang.
“Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal.”
Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
“Ceng Liong.....!”
Terdengar seruan lemah dan Ceng Liong seperti tertahan kakinya. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.
“Ceng Liong.... jangan.... jangan pergi, jangan tinggalkan aku.!” gadis itu berkata terisak-isak.
“Bi Eng.... apa artinya ini....?”
Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan iapun menangis terisak-isak.
Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya. Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya membuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya.
Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambutpun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarangpun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis.?”
Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.
Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu,
“Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu.”
Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.
“Bi Eng.... mimpikah aku.?”
Ceng Liong bertanya seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat. Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra.
Biarpun dia belum berpengalaman, dan biarpun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.
Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang sejak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercaya kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, kemudian terdengar Ceng Liong berkata lirih.
“Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan.”
Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berobah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.
“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”
“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulupun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Pula, aku amat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi pengrusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”
“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, kenapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”
“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu.”
“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu agar mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”
“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga. Aku berani bersamamu menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”
Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan.
“Akupun tidak takut, Eng-moi.”
Bi Eng tersenyum.
“Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimanapun juga, selain lebih tua darimu, akupun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”
“Liong-koko.... ih, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itupun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.
Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan iapun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan merekapun berciuman, canggung namun mesra.
“Eng-moi, aku cinta padamu dan aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”
“Tak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungkan lebih dulu, tanpa memperdulikan isi hati antara yang bersangkutan.”
“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang ke tempat ini bersama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”
Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu.
“Akupun heran mengapa orang- orang seperti mereka itu hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut suhu, Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dahulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.
“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya, akan tetapi diapun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja.
“Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya dan mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra.
Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian diapun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”
“Aku.... aku takut, Bi Eng.”
“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”
“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasihat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”
Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh.
“Engkau....? Minta nasihat dariku? Ah, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”
Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.
“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”
Ceng Liong memandang kagum.
“Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda.”
“Kalau itu sih belum pernah!”
Ceng Liong terbelalak dan nampak girang.
“Eh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?”
“Aku kan wanita dan yang kau cinta itupun wanita, bukan?”
Ceng Liong mengangguk-angguk bingung.
“Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasihatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia mencintaku, dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku.”
“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, kalau pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tidak menyatakan cintamu, mana ia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasihatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”
“Begitukah nasihatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”
“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cinta padamu.”
Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong, mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.
“Apa....? Apa yang kau katakan itu.?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu.”
“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berobah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Melihat ini, Ceng Liong menjura.
“Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang menasihatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah.”
“Tapi....tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”
“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”
“Tapi.... kita baru saja berjumpa dan kau menyatakan cinta....?”
“Bi Eng, sejak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkaupun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa.?”
Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya dan air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya.
Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan diapun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah, aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi matipun aku tidak akan membalas.”
Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.
Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”
Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan biarpun pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.
“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain.”
Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berobah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.
“Tapi, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”
Gadis itu terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju.
“Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja.”
“Ah, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepala.
“Diapun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua, dan kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”
Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!
“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”
“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”
Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong.
“Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”
“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”
“Ahh....?”
Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang.
“Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal.”
Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
“Ceng Liong.....!”
Terdengar seruan lemah dan Ceng Liong seperti tertahan kakinya. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.
“Ceng Liong.... jangan.... jangan pergi, jangan tinggalkan aku.!” gadis itu berkata terisak-isak.
“Bi Eng.... apa artinya ini....?”
Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan iapun menangis terisak-isak.
Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya. Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya membuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya.
Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambutpun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarangpun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis.?”
Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.
Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu,
“Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu.”
Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.
“Bi Eng.... mimpikah aku.?”
Ceng Liong bertanya seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat. Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra.
Biarpun dia belum berpengalaman, dan biarpun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.
Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang sejak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercaya kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, kemudian terdengar Ceng Liong berkata lirih.
“Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan.”
Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berobah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.
“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”
“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulupun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Pula, aku amat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi pengrusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”
“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, kenapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”
“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu.”
“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu agar mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”
“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga. Aku berani bersamamu menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”
Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan.
“Akupun tidak takut, Eng-moi.”
Bi Eng tersenyum.
“Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimanapun juga, selain lebih tua darimu, akupun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”
“Liong-koko.... ih, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itupun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.
Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan iapun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan merekapun berciuman, canggung namun mesra.
“Eng-moi, aku cinta padamu dan aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”
“Tak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungkan lebih dulu, tanpa memperdulikan isi hati antara yang bersangkutan.”
“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang ke tempat ini bersama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”
Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu.
“Akupun heran mengapa orang- orang seperti mereka itu hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut suhu, Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dahulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.
“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya, akan tetapi diapun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja.
“Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya dan mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra.
Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian diapun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
**** 102 ****