Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik daripada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itupun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan.
Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan. Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban kejahatannya.
Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat.
Iapun merasa iba kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya telah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia dapat merasakan betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek.
Dia sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walaupun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang.
Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt....!”
Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu.
Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga.
Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biarpun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhaya terpelanting. Saat itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan....!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp....!”
Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi Sian....!”
Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu.... maafkan.... aku....”
“Bi Sian.... anakku....!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku.... untuk apa aku.... hidup lebih lama....? Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu.
“Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang....”
Bi Sian tersenyum walaupun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
“Paman.... kalau aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin.... menyesali kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada ayah.... engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik....”
“Bi Sian....” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah.... jangan banyak cakap.... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik....”
“Paman, engkau amat mencinta.... Ling Ling....?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk.
“Aku.... cinta padanya, Bi Sian. Aku.... aku cinta....”
“Dan.... aku? Kau.... sayang padaku, paman....? Bukan? Kau sayang kepadaku....?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia mengangguk-angguk saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku....!”
Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu.... katakanlah, engkau.... memaafkan aku, ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan aku....” Bi Sian merangkul di antara isaknya ia berbisik.
“Ibu memaafkanmu.... nak....”
Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi Sian....!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan.
Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan. Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban kejahatannya.
Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat.
Iapun merasa iba kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya telah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia dapat merasakan betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek.
Dia sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walaupun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang.
Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt....!”
Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu.
Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga.
Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biarpun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhaya terpelanting. Saat itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan....!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp....!”
Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi Sian....!”
Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu.... maafkan.... aku....”
“Bi Sian.... anakku....!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku.... untuk apa aku.... hidup lebih lama....? Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu.
“Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang....”
Bi Sian tersenyum walaupun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
“Paman.... kalau aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin.... menyesali kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada ayah.... engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik....”
“Bi Sian....” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah.... jangan banyak cakap.... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik....”
“Paman, engkau amat mencinta.... Ling Ling....?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk.
“Aku.... cinta padanya, Bi Sian. Aku.... aku cinta....”
“Dan.... aku? Kau.... sayang padaku, paman....? Bukan? Kau sayang kepadaku....?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia mengangguk-angguk saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku....!”
Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu.... katakanlah, engkau.... memaafkan aku, ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan aku....” Bi Sian merangkul di antara isaknya ia berbisik.
“Ibu memaafkanmu.... nak....”
Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi Sian....!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
**** 122 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar