Pertempuran telah selesai. Kim Sim Lama dalam keadaan luka-luka berat menjadi tawanan. Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya. Dalai Lama sendiri datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan peti mati dan disembahyangi.
Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan.
Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara. Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam.
Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya. Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin.
Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun. Alangkah jantannya pria itu. Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik.
Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita. Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat bagi seorang calon isteri!
Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Betapa setiap orang manusia selalu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa setiap orang manusia haus akan hal ini.
Dari seorang kanak-kanak sampai tua renta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut akan kehilangan arti dirinya, takut untuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA.
Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpandai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbulkan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia.
Justeru keinginan untuk menjadi yang “ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berarti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya.
Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhinya?
Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuhnya bahwa kita ini sesungguhnya “bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini hanyalah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah?
Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hubungan kontak dengan Tuhan? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melakukan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, hanya selewat. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan.
Akhirnya, semua itu akan musna, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama ini? Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar ke dua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak terpisahkan.
Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, malas melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi saat. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya.
Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut disyukuri, tak perlu dikeluhkan. Kehendak Tuhan jadilah!
Dia melangkah terus dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbingnya, dan kekuasaan Tuhan yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan natsu daya rendah. Kekuasaan Tuhan yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga dia akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal darah daging yang dijadikan boneka oleh nafsu daya rendah.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Dia mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako....” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu.
“Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkan encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita....”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
“Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya kemudian tentang perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk, tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata,
“Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enciku, Lie-toako.”
“Ah, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, setelah apa yang kau lakukan kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terina kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” Kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan manghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku, aku pasrah kepada Tuhan ke manapun aku akan dibimbing.”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu....”
Sie Liong tersenyum, bukan senyum bahkan wajahnya nampak cerah.
“Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Kehendak Tuhan terjadilah! Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi kepadaku, akan tetapi Tuhan sudah menghendaki demikian dan aku hanya dapat menerima, penuh keikhlasan dan ketawakalan. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.”
Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan.
Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara. Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam.
Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya. Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin.
Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun. Alangkah jantannya pria itu. Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik.
Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita. Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat bagi seorang calon isteri!
Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Betapa setiap orang manusia selalu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa setiap orang manusia haus akan hal ini.
Dari seorang kanak-kanak sampai tua renta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut akan kehilangan arti dirinya, takut untuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA.
Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpandai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbulkan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia.
Justeru keinginan untuk menjadi yang “ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berarti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya.
Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhinya?
Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuhnya bahwa kita ini sesungguhnya “bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini hanyalah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah?
Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hubungan kontak dengan Tuhan? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melakukan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, hanya selewat. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan.
Akhirnya, semua itu akan musna, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama ini? Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar ke dua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak terpisahkan.
Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, malas melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi saat. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya.
Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut disyukuri, tak perlu dikeluhkan. Kehendak Tuhan jadilah!
Dia melangkah terus dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbingnya, dan kekuasaan Tuhan yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan natsu daya rendah. Kekuasaan Tuhan yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga dia akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal darah daging yang dijadikan boneka oleh nafsu daya rendah.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Dia mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako....” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu.
“Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkan encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita....”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
“Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya kemudian tentang perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk, tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata,
“Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enciku, Lie-toako.”
“Ah, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, setelah apa yang kau lakukan kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terina kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” Kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan manghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku, aku pasrah kepada Tuhan ke manapun aku akan dibimbing.”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu....”
Sie Liong tersenyum, bukan senyum bahkan wajahnya nampak cerah.
“Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Kehendak Tuhan terjadilah! Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi kepadaku, akan tetapi Tuhan sudah menghendaki demikian dan aku hanya dapat menerima, penuh keikhlasan dan ketawakalan. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar