Ads

Rabu, 23 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 054

Betapapun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan terdengar keluhnya,

“Lan-moi.... isteriku....!”

Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.

“Kwi Lan....!”

Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesadarannya.

“Subo....!” Can Ji Kun berseru sambil menangis.

“Subo....!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!”

“Aku juga!”

Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar rombongan pasukan Mongol.

“Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti....!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”

Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan.

“Subo telah mereka bunuh....!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis

“Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”

Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu.

Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!






“Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,” demikian penutup surat yang panjang lebar itu. “Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.”

“Kwi Lan....!”

Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.

Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata,

“Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”

“Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”

“Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”

“Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap.”

Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya,

“.... andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.”

Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata,

“Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!”

Sambil menggandeng tangan kedua muridnya, Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.

**** 054 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar