Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan.
Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka.
Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor.
Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
“Inilah yang kucari!” serunya girang.
Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil.
Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya!
Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong.
Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas.
Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.
“Trik-cringgg....!”
“Ayaaa....!”
Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini, diantara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada para penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
“Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh....!”
Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat.
Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang diantara sepasang dampit itu mengeluh,
“Mataku.... ahhh.... silaunya....!”
Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka.
Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam, melainkan perlahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
“Aduh.... silau....!”
“Tak dapat melihat....”
Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api!
Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya pula.
Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu dibelenggu!
“Eh.... aku.... aku tidak melakukan apa-apa....” Han Ki berkata gagap.
Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.
“Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.
“Akan tetapi.... dia.... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!”
Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi,
“Kami tidak mengerti apa yang kau katakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”
“Akan tetapi mereka.... lihai sekali!”
“Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!”
“Akan tetapi....!” Han Ki membantah.
“Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?”
Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah.
“Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”
“Sekarang juga!”
“Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”
Han Ki mengangguk.
“Baiklah. Mari kita pergi!”
Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai dimana perahu mereka ditinggalkan.
Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka.
Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor.
Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
“Inilah yang kucari!” serunya girang.
Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil.
Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya!
Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong.
Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas.
Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.
“Trik-cringgg....!”
“Ayaaa....!”
Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini, diantara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada para penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
“Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh....!”
Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat.
Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang diantara sepasang dampit itu mengeluh,
“Mataku.... ahhh.... silaunya....!”
Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka.
Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam, melainkan perlahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
“Aduh.... silau....!”
“Tak dapat melihat....”
Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api!
Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya pula.
Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu dibelenggu!
“Eh.... aku.... aku tidak melakukan apa-apa....” Han Ki berkata gagap.
Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.
“Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.
“Akan tetapi.... dia.... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!”
Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi,
“Kami tidak mengerti apa yang kau katakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”
“Akan tetapi mereka.... lihai sekali!”
“Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!”
“Akan tetapi....!” Han Ki membantah.
“Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?”
Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah.
“Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”
“Sekarang juga!”
“Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”
Han Ki mengangguk.
“Baiklah. Mari kita pergi!”
Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai dimana perahu mereka ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar