Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang muridnya. tadi.
“Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!”
Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab.
“Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!”
Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya.
“Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”
“Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup,
“Mutiara Hitam....?”
Hauw Lam mengangguk.
“Isteriku!”
Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang muridnya karena di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
“Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba.... mendiang Menteri Kam Liong....!”
Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu jenazah.
“Apa? Kanda Kam Liong.... mati....? Benarkah....?”
“Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid majikan hamba .... mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap....”
“Ahhh....!” Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, “Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!”
Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.
Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya.
Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya! Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya !
“Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kau maafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku....”
Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan kepergian isterinya. Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur.
Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.
Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
“Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!”
Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata,
“Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?”
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dan kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat,
“Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!”
Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,
“Apa yang terjadi dengan isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Dimana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?”
“Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!”
Panglima Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam.
Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
“Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.”
“Tunggu dulu!” Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata, “Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!”
“Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!”
Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus,
“Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna.”
Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning,
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga.
Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
“Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!”
Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab.
“Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!”
Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya.
“Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”
“Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup,
“Mutiara Hitam....?”
Hauw Lam mengangguk.
“Isteriku!”
Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang muridnya karena di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
“Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba.... mendiang Menteri Kam Liong....!”
Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu jenazah.
“Apa? Kanda Kam Liong.... mati....? Benarkah....?”
“Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid majikan hamba .... mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap....”
“Ahhh....!” Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, “Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!”
Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.
Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya.
Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya! Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya !
“Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kau maafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku....”
Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan kepergian isterinya. Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur.
Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.
Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
“Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!”
Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata,
“Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?”
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dan kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat,
“Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!”
Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,
“Apa yang terjadi dengan isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Dimana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?”
“Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!”
Panglima Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam.
Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
“Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.”
“Tunggu dulu!” Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata, “Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!”
“Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!”
Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus,
“Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna.”
Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning,
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga.
Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar