Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, yaitu Raja Talibu.
Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol!
Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan, bersama dua orang muridnya.
Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu dan di lubuk hatinya Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kalau dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit kecil, dan tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isterinya.
Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan, dan hidup sebagai pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya. Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua orang muridnya.
“Suhu! Ada orang membongkar kuburan!” '
Tang Hauw Lam membuka matanya yang klni tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
“Ceritakan yang betul, apa yang terjadi”, katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di depannya.
“Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,” kata Can Ji Kun.
“Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing saja!” Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam.
“Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?”
Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.
“Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!”
“Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.
“Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!”
Dan dia melanjutkan pekerjaannya menggali tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak,
“Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok
“Dukk!”
Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.
Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras,
“Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?”
Anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
“Plakk! Aduh....!”
Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
“Hemm.... anak-anak nakal!”
Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.
“Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!"
“Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?” kata Ok Yan Hwa.
Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kalau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,
“Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri.”
Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jauh dari kuburan raja Khitan.
Ia memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja Khitan?
“Sobat, apa yang kau lakukan di sini?” Ia menegur.
Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun kurus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat.
“Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!”
Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
“Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!”
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan.
“Hemm.... siapa yang melarangnya?”
“Aku yang melarangnya!” Hauw Lam berkata tegas.
Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang.
“Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engkau mau apa?”
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali.
“Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”
“Hemm, kau kira akan gampang saja? Cobalah!”
Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak
“Manusia sombong! Pergilah!”
Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang amat ampuh dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya.
“Desss....!“
“Ahhh....!”
Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat hebat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto Tang Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki kepandaian sehebat ini?
Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol!
Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan, bersama dua orang muridnya.
Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu dan di lubuk hatinya Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kalau dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit kecil, dan tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isterinya.
Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan, dan hidup sebagai pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya. Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua orang muridnya.
“Suhu! Ada orang membongkar kuburan!” '
Tang Hauw Lam membuka matanya yang klni tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
“Ceritakan yang betul, apa yang terjadi”, katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di depannya.
“Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,” kata Can Ji Kun.
“Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing saja!” Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam.
“Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?”
Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.
“Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!”
“Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.
“Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!”
Dan dia melanjutkan pekerjaannya menggali tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak,
“Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok
“Dukk!”
Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.
Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras,
“Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?”
Anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
“Plakk! Aduh....!”
Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
“Hemm.... anak-anak nakal!”
Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.
“Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!"
“Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?” kata Ok Yan Hwa.
Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kalau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,
“Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri.”
Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jauh dari kuburan raja Khitan.
Ia memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja Khitan?
“Sobat, apa yang kau lakukan di sini?” Ia menegur.
Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun kurus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat.
“Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!”
Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
“Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!”
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan.
“Hemm.... siapa yang melarangnya?”
“Aku yang melarangnya!” Hauw Lam berkata tegas.
Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang.
“Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engkau mau apa?”
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali.
“Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”
“Hemm, kau kira akan gampang saja? Cobalah!”
Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak
“Manusia sombong! Pergilah!”
Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang amat ampuh dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya.
“Desss....!“
“Ahhh....!”
Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat hebat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto Tang Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki kepandaian sehebat ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar