Ads

Kamis, 21 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 189 (TAMAT)

Akan tetapi tanpa disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat Siangkoan Lee menjadi merah sekali karena dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci Goat, dia merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri dan berkata,

"Mengapa Suheng berkata demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biarpun Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya, bagaimana berkata demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak menunjukkan kekuasaan disini menuntut warisan dengan kekeraaan?"

Menggigil tubuh Suma Hoat saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu.

"Bedebah, kau sombong sekali, Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang telah menerima budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang ajar kepadaku? Apa kau kira aku takut kepadamu?"

Melihat ini, Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri,
"Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali ribut-ribut di depan peti mati!"

Suma Hoat menarik napas panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu tirinya itu.

"Kalian dengarlah baik-baik. Biarpun aku putera Ayah, namun Ayah sudah tidak mengakui aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku tidak akan menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku."

Setelah berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi datang sampai peti ayahnya dikubur. Hatinya menjadi makin risau dan tertekan. Dia merasa betapa hidupnya penuh dengan kekecewaan dan kesengsaraan. Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai seorang yang amat jahat.

Tiap kali dia teringat akan semua perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa kalau sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua kesalahannya, akan membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang!

Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara berat mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.

"Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal sehingga tidak ada yang tahu. Ke dua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri darimu dengan mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini."

Suma Hoat mengeluh dan semenjak saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha menghibur dan merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan hidup, kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian.

Akhirnya, hanya berselisih setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu, satu-satunya orang yang mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya!

Dengan sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di lereng bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf : MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT. Kemudian dia membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit sambil bernyanyi!

Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh sekali, berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga seringkali dia dianggap berotak miring.






Apakah benar bayangan yang menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh Suma Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya maupun Khu Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada orang yang bertemu dengan seorang diantara mereka.

Juga Kam Han Ki lenyap dan sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang sakti dan aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah bersepatu, berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan namanya.

Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Keanehannya adalah serupa dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusia dewa yang menjadi dongeng di dunia kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih bulu! Karena itu, banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada siapa saja yang memintanya.

Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia dapat melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan hal itu kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia.

Yang jelas, duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal diri sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting mengenal sumber dari segala duka di dalam diri sendiri. Kalau sudah mengenal diri sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka, bukanlah menjadi duka lagi baginya.

Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran yang mengingat masa lampau. Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak akan menghilangkan sumber dari segala macam duka. Akan tetapi menghadapi duka, menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan mengenal diri sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh dari jangkauan duka.

Koai-lojin yang kelihatan sebagai seorang kakek sederhana itu, paling suka berkelana di tempat-tempat sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat polah-tingkah manusia. Akan tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam Istana Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga arca buatannya sendiri, dan setelah membersihkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan lagi Pulau Es. Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoinya, bahkan kemudian sama sekali tidak mencarinya. Namun, sebagai penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh surat-surat itu di dalam Istana Pulau Es.

Puluhan tahun kemudian, Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor biruang salju yang berbulu putih, meninggalkan biruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni dan penjaga! Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul di dunia ramai.

Semua kedukaan yang menimpa diri tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah gara-gara cinta, tentu demikian pendapat kita. Akan tetapi, benarkah demikian? CINTA tidak akan mendatangkan sengsara, karena CINTA itu adalah KEBENARAN, CINTA adalah KENYATAAN, CINTA adalah TUHAN! Di dalam CINTA, tidak ada si pemberi dan si penerima, tidak ada si pencinta dan yang dicinta. Berbahagialah manusia yang mengenal dan memiliki CINTA ini di dalam dirinya, karena CINTA ini sesungguhnya juga BAHAGIA!

Cinta yang dikenal umum bukanlah cinta sejati. Kalau Suma Hoat menyatakan "Aku cinta Bi Kiok!" maka sesungguhnya bukan Bi Kiok yang dicintanya, melainkan dirinya sendiri! Segala macam derita, kekecewaan, kebencian, cemburu, kemunafikan, iri hati dan dengki, semua ini timbul dari apa yang disebut cinta itu, yaitu cinta kepada si aku, bukan CINTA yang sejati.

Cinta kepada si aku sajalah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Aku dirugikan, anakku diganggu, hartaku dicuri, keluargaku dihina, bangsaku, negeriku, agamaku tidak dihargai, maka marahlah AKU, bencilah AKU kepadanya!

Karena itu, selama AKU, ENGKAU, dan DIA menjadi pendorong semua perbuatan, maka timbullah pertentangan, dan selama ada pertentangan, timbullah duka sengsara. Sebaliknya, kalau semua perbuatan itu berdasarkan CINTA tanpa perpecahan aku-engkau-dia, kiranya sebutan Sorga bukan hanya terdapat dalam dongeng belaka, karena bumi kita ini menjadi Sorga dan kita adalah mahluk-mahluk manusia yang sebenarnya, bukan hanya hamba-hamba nafsu.

Sampai disini, pengarang mohon diri dan mudah-mudahan dapat berjumpa kembali dalam karangan mendatang.

T A M A T







Istana Pulau Es
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar