SIE Kauwsu (Guru Silat Sie) membaca surat itu dengan kedua tangan agak gemetar dan mukanya berubah pucat. Karena senja hari telah tiba dan cuaca tidak begitu terang lagi, dia lalu menyalakan sebuah lampu meja, kemudian dibacanya sekali lagi surat itu. Sehelai kertas yang bertuliskan beberapa huruf dengan tinta merah.
"Sie Kian, akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluargamu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh semua!"
Demikianlah bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie kauwsu atau Sie Kian tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu pada daun pintu belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata rahasia) beronce merah. Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin melancong, karena semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya mengajar para murid sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi.
Kepergiannya direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, karena anaknya yang ke dua, baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu ibunya di rumah. Maka diapun pergi seorang diri ke timur.
Di dalam perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Dia melihat perampokan di dalam hutan terhadap sebuah keluarga bangsawan yang melakukan perjalanan dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Kurang lebih duapuluh lima tahun usia mereka. Sie Kian turun tangan melindungi bangsawan itu dan terjadilah perkelahian antara dia dan suami isteri itu.
Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang. Perkelahian itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, dan luka parah pada perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya dan menanyakan Sie Kian. Sie Kian sendiri juga terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang dilempar oleh perampok itu.
"Sie Kian, kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati," demikian perampok itu sebelum pergi. "Juga kalau engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, akupun tidak perduli. Akan tetapi engkau telah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan semua penghuni rumahmu!"
Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.
Akan tetapi, ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima tahun semenjak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan ancamannya dan sumpahnya!
Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi, dia tidak takut! Selama hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki yang jantan. Demi membela kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang lain!
Setelah termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung bajunya, dan diapun memasuki kamar dimana isterinya sedang berbaring menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh bulan dan mereka beri nama Sie Liong. Dengan wajah tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada isterinya, dimana adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong.
Dia dan isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih barulah isterinya melahirkan Sie Liong.
"Ia baru saja keluar dari sini, mungkin ia berada di dalam kamarnya," jawab istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tidur pulas. "Ada apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam."
Isteri yang sudah amat mengenal watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya begitu pendiam, tidak seperti biasanya.
"Panggil dulu Lan Hong kesini, juga pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga."
Isteri Sie Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun.
Pria ini adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Si Kian memimpin para murid yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu, sebagai murid, juga sebagai pembantu guru. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar gurunya itu!
Setelah isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara.
"Kalian tentu masih ingat akan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu ketika aku mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?"
"Peristiwa yang mana?" tanya isterinya.
"Apakah suhu maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?" tanya Cu An.
Gurunya mengangguk.
"Benar. Seperti telah kuceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam perkelahian itu, aku terluka senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak menceritakan kepada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi...., hari ini ancaman perampok itu agaknya akan dilaksanan!" Sie Kian menarik napas panjang.
"Ancaman bagimana?" tanya isterinya, nampak khawatir.
"Ketika itu, sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka dia bersumpah bahwa pada suatu hari dia akan mencariku dan akan membasmi seluruh keluargaku. Ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada harganya untuk diperhatikan dan dianggap serius!"
"Akan tetapi.... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya sekali!" kata isterinya.
Sie Kian kembali menarik napas dan dia mengangguk.
"Benar sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah buktinya." Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat itu. "Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat itu berbunyi begini."
Sie Kian membacakan surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan Cua An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat maka memiliki ketabahan besar.
"Ayah, kalau dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!" kata Lan Hong dengan penuh semangat.
"Sumoi benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong seorang penjahat seperti dia...."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng.
Sie Kian meloncat dari kursinya.
"Lan Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di sini!"
Berkata demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia segera keluar dan meloncat ke atas genteng.
Pada saat dia meloncat ke atas genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara gonggongannya berubah pekik kesakitan lalu sunyi.
Sie Kian melayang turun dan lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing peliharaannya itu telah mati dan sebuah ronce merah nampak di lehernya. Anjing itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.
"Celaka....!"
Serunya dan dia cepat lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor kuda, telah menggeletak mati!
Sie Kian tidak memperdulikan lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang datangnya dari kamar para pelayan di belakang.
Sie Kian terkejut dan kembali dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah lawan dan dia lupa untuk memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher mereka hampir putus dan kamar itu banjir darah. Jelas bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!
Sie Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang masih tidur nyenyak.
"Apa... apa yang terjadi...?" tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
"Jahanam itu...., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya."
"Aihhh....!" Isterinya menangis.
"Sudah, tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak main-main dan ancamannya bukan gertak kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap berjaga disini, menjaga keselamatan ibumu dan adikmu. Aku yang akan menghadapi jahanam busuk itu!"
"Baik, ayah," kata Lan Hong dengan muka pucat walaupun ia masih bersikap tenang. Kini tangannya memegang sebatang pedang.
"Teecu akan menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!" kata Cu An dangan sikap gagah. Juga dia memegang sebatang pedang.
"Sie Kian, akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluargamu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh semua!"
Demikianlah bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie kauwsu atau Sie Kian tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu pada daun pintu belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata rahasia) beronce merah. Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin melancong, karena semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya mengajar para murid sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi.
Kepergiannya direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, karena anaknya yang ke dua, baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu ibunya di rumah. Maka diapun pergi seorang diri ke timur.
Di dalam perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Dia melihat perampokan di dalam hutan terhadap sebuah keluarga bangsawan yang melakukan perjalanan dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Kurang lebih duapuluh lima tahun usia mereka. Sie Kian turun tangan melindungi bangsawan itu dan terjadilah perkelahian antara dia dan suami isteri itu.
Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang. Perkelahian itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, dan luka parah pada perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya dan menanyakan Sie Kian. Sie Kian sendiri juga terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang dilempar oleh perampok itu.
"Sie Kian, kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati," demikian perampok itu sebelum pergi. "Juga kalau engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, akupun tidak perduli. Akan tetapi engkau telah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan semua penghuni rumahmu!"
Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.
Akan tetapi, ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima tahun semenjak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan ancamannya dan sumpahnya!
Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi, dia tidak takut! Selama hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki yang jantan. Demi membela kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang lain!
Setelah termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung bajunya, dan diapun memasuki kamar dimana isterinya sedang berbaring menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh bulan dan mereka beri nama Sie Liong. Dengan wajah tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada isterinya, dimana adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong.
Dia dan isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih barulah isterinya melahirkan Sie Liong.
"Ia baru saja keluar dari sini, mungkin ia berada di dalam kamarnya," jawab istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tidur pulas. "Ada apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam."
Isteri yang sudah amat mengenal watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya begitu pendiam, tidak seperti biasanya.
"Panggil dulu Lan Hong kesini, juga pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga."
Isteri Sie Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun.
Pria ini adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Si Kian memimpin para murid yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu, sebagai murid, juga sebagai pembantu guru. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar gurunya itu!
Setelah isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara.
"Kalian tentu masih ingat akan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu ketika aku mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?"
"Peristiwa yang mana?" tanya isterinya.
"Apakah suhu maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?" tanya Cu An.
Gurunya mengangguk.
"Benar. Seperti telah kuceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam perkelahian itu, aku terluka senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak menceritakan kepada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi...., hari ini ancaman perampok itu agaknya akan dilaksanan!" Sie Kian menarik napas panjang.
"Ancaman bagimana?" tanya isterinya, nampak khawatir.
"Ketika itu, sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka dia bersumpah bahwa pada suatu hari dia akan mencariku dan akan membasmi seluruh keluargaku. Ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada harganya untuk diperhatikan dan dianggap serius!"
"Akan tetapi.... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya sekali!" kata isterinya.
Sie Kian kembali menarik napas dan dia mengangguk.
"Benar sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah buktinya." Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat itu. "Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat itu berbunyi begini."
Sie Kian membacakan surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan Cua An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat maka memiliki ketabahan besar.
"Ayah, kalau dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!" kata Lan Hong dengan penuh semangat.
"Sumoi benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong seorang penjahat seperti dia...."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng.
Sie Kian meloncat dari kursinya.
"Lan Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di sini!"
Berkata demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia segera keluar dan meloncat ke atas genteng.
Pada saat dia meloncat ke atas genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara gonggongannya berubah pekik kesakitan lalu sunyi.
Sie Kian melayang turun dan lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing peliharaannya itu telah mati dan sebuah ronce merah nampak di lehernya. Anjing itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.
"Celaka....!"
Serunya dan dia cepat lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor kuda, telah menggeletak mati!
Sie Kian tidak memperdulikan lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang datangnya dari kamar para pelayan di belakang.
Sie Kian terkejut dan kembali dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah lawan dan dia lupa untuk memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher mereka hampir putus dan kamar itu banjir darah. Jelas bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!
Sie Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang masih tidur nyenyak.
"Apa... apa yang terjadi...?" tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
"Jahanam itu...., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya."
"Aihhh....!" Isterinya menangis.
"Sudah, tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak main-main dan ancamannya bukan gertak kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap berjaga disini, menjaga keselamatan ibumu dan adikmu. Aku yang akan menghadapi jahanam busuk itu!"
"Baik, ayah," kata Lan Hong dengan muka pucat walaupun ia masih bersikap tenang. Kini tangannya memegang sebatang pedang.
"Teecu akan menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!" kata Cu An dangan sikap gagah. Juga dia memegang sebatang pedang.
Istana Pulau Es
Tidak ada komentar:
Posting Komentar