Ads

Selasa, 01 Oktober 2019

Mutiara Hitam Jilid 150 (TAMAT)

Suling Emas juga mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti Bu-tek Lo-jin. Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat, adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah perbuatan mereka termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan menjura.

“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”

“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan. Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan Pek-bin-twako ini datang hanya karena ditangisi murid kami, Siangkoan Li ini. Kami datang hendak meminang Mutiara Hitam!”

Kata Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut ke arah keluarga tuan rumah.

Suling Emas terkejut. Benar saja dugaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang benar mereka baru datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah dijodohkan dengan Hauw Lam, namun cara mereka datang ini jelas menantang keributan. Biarpun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun pendekar sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.

“Mutiara Hitam adalah puteriku. Banyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi Sian-ong dan kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru saja anakku ini telah dijodohkan dengan pemuda lain.”

Siangkoan Li mengangkat muka, memandang ke arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam Kwi Lan merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biarpun masih pendiam dan serius, namun matanya liar!

“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali, mengerikan.

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!”

Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak, tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek itu. Dia sendiri masih minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.

“Mutiara Hitam gadis galak telah menjadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho, kita tua sama tua, mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta lagu apa kuturuti. Hayoh....!”

Bu-tek Lo-jin memang terkenal mempunyai hobby (kegemaran) berkelahi. Ia senang berkelahi baik saling maki maupun saling gasak!

“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan jodoh adalah di tangan Thian. Harap tidak menimbulkan keributan,”

Kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya halus, namun di balik kata-katanya mengandung peringatan.

Dua orang kakek saling pandang. Mereka tentu saja tidak gentar biarpun berada di negara orang. Akan tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan dapat mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ hadir pula Suling Emas yang lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu Yalina yang kabarnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid orang-orang sakti.






“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sungkan membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita bereskan. Suling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo, Siangkoan Li, kau bocah sial dangkalan. Pergi!”

Lam kek Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ tanpa pamit lagi.

Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan meriah.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu dengan Mimi dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan. Setelah menikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di Khitan.

Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan, seperti burung di angkasa. Adapun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami Ratu Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari Pegunungan Go-bi-san. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan dimana ia hidup tenteram dan melayani Mimi dengan kasih sayang.

Kam Liong meninggalkan Khitan, pergi merantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia melayani kasih sayang seorang wanita cantik dimana saja, hanya sebagai keisengan belaka, bukan karena dorongan asmara.

Namun, kesenangan ini pun tidak membuatnya menyeleweng daripada kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia tidak pernah lupa untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah mendapat pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh Ratu Yalina sehingga namanya terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat bebas menengok ibunya di kota raja.

Bagaimana dengan Yu Siang Ki? Pemuda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan Song-yok-san-jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai berhasil membujuk dan mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda ini pun menikah. Siang Ki yang sudah menyerahkan urusan kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.

Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari Song Goat akhirnya mendapat kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa andaikata ia menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping Song Goat yang lemah lembut dan halus ini.

Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi, entah kemana perginya pemuda yang bernasib malang itu. Banyak orang yang suka mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memiliki kepandaian tinggi itu akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak Tai-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu berdua dan gelisah kalau teringat akan adik mereka, Kam Han Ki.

Kemanakah perginya Kam Han Ki? Seperti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti setengah dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan terluka parah dan bagaimana nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai pengarang cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!

Sampai di sini cerita MUTIARA HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain cerita!

TAMAT
Bandung, awal April 1970







Tidak ada komentar:

Posting Komentar