Ads

Rabu, 02 Oktober 2019

Mutiara Hitam Jilid 149

Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwi Lan. Akan tetapi mereka segera berangkulan dan keduanya menangis! Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti kasih sayang antara saudara yang mesra.

Dan dimulailah pesta itu. Musik dimainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu demonstrasi pasukan Khitan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang menghampiri tempat kehormatan ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling Emas sebagaimana mestinya.

Setelah para tamu yang memberi selamat habis, tampak seorang pemuda yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari rombongan tamu menghampiri tempat kehormatan itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek cebol berkepala besar.

“Bibi Bi Li....!” Kwi Lan bangkit dan lari menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah dia Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”

Nyonya itu memang Phang Bi Li dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh Yalina ia ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan terharu dan halus Ratu Yalina berkata.

“Kakak yang baik. Karena engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau adalah keluarga sendiri. Duduklah disini.”

Mereka lalu bercakap-cakap dan betapapun juga, nyonya itu kelihatan sungkan dan malu-malu karena duduk di lingkungan keluarga besar.

“Hauw Lam, kau Berandal!”

Pangeran Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut pemuda itu. Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu memberi hormat kepada Ratu Yalina dengan berlutut.

Ratu Yalina tertawa.
“Baiklah, Berandal. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau merupakan tuan penolong anakku. Bangkit dan duduklah, kita diantara orang sendiri!”

Hauw Lam bangun dan menjura kepada Talibu,
“Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”

“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera ayahku dan kakakku sendiri, kenapa kau menyebut Kiang-kongcu.”

“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu....!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat dua orang pemuda bangsawan itu tertawa.

Sementara itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas yang menjura dan berkata,

“Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan kehormatan besar.”

Kakek itu longak-longok, bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak orang tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi terkejut, mereka berbisik-bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatan-perbuatan yang lucu dan mengagumkan (dalam cerita SULING EMAS).

“Heh-heh-heh, tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu Yalina tampak makin maju saja. Heh-heh-heh!”

Melihat kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan tersenyum lebar.
“Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”

Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata,
“Rejekimu besar, Ratu Yalina. Suamimu pendekar sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak memandang rendah muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu Si Mutiara Hitam yang galak itu agar menjadi isteri Tang Hauw Lam.”

Kata-kata yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap. Suasana hening, bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke arah Kwi Lan.






Suling Emas dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan ini harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam memang tidak mengecewakan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani memutuskan, apalagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang menimpa diri Kwi Lan, yang pernah mencinta kakak kembar dan dicinta kakak tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu menoleh ke arah Kwi Lan.

Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan puteri Ratu Khitan! Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara, ia terpaksa mau diajak serta. Kini melihat keadaan disitu dan mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi ketakutan dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ratu Yalina.

“Mohon Paduka sudi mengampuni kelancangan kami....”

Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li.
“Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan keputusannya kepada anak kami sendiri.”

Kwi Lan yang kini menjadi pusat perhatian bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak, sebentar memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si Berandal meminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia membuat perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan pilih andaikata bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong. Setelah ternyata bahwa kedua orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia tidak tahu siapa yang berkenan di hatinya.

Yu Siang Ki juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat dan ia tidak suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li, entah bagaimana jadinya pemuda itu yang dahulu terseret kedalam dunia sesat. Ia memandang Hauw Lam, teringat akan semua pengalamannya dengan pemuda ini, teringat betapa pemuda ini menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam dan ia teringat kepada pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat.

Pemuda yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan padanya, bahkan yang lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan tertawa bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina sekarang.

Hauw Lam yang menanti dengan tegang, melihat Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada gadis itu,

“Mutiara Hitam, dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara Hitam, keadaan kita dahulu sederajat. Akan tetapi sekarang, engkau seorang puteri kerajaan dan aku.... tetap Berandal maka kalau engkau tidak setuju terus terang sajalah.”

Kwi Lan menjawab,
“Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”

“Jadi....?”

“Jadi...., apa....?”

“Jadi kau setuju....?”

Kwi Lan menggigit bibir, lalu mengangguk! Hauw Lam saking girangnya hanya melongo!

“Tapi terus terang saja, biarpun aku suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”

Luar biasa percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang bicara tentang cinta seperti orang bicara tentang pakaian atau topi saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh pengakuan ini. Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewajarnya.

“Orang macam aku mana boleh banyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena ingin kau cinta. Aku mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin membikin hidupmu cemerlang penuh kegembiraan. Aku ingin seperti matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap kau ingat atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu, melindungimu, menghiburmu, melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar kebahagiaanku”.

Hebat pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan petuah yang amat menusuk hati. Memang sebagian besar orang muda kalau bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta dan meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk memberi!

Cinta itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia yang dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.

“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”

“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu berusaha menyenangkan hatimu, tak usah kau tinggal, kau minta saja aku pergi sendiri.”

“Kalau aku mati?”

“Aku akan ikut! Aku takut kau disana akan kesepian dan susah....”

Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin,
“Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada pencinta seperti muridku? Mutiara Hitam, kalau engkau tidak menerima dia, engkau akan kehilangan! Ha-ha-ha!”

“Aku suka sekali mempunyai adik ipar Si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada pemuda ini berkata.

“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.

Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak suka tinggal di dalam istana, terikat oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung dan kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti burung. Sepasang burung terbang di angkasa, bercumbu dengan angin.

“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil duduk kembali.

“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin berseri-seri.

Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apalagi melihat, peminangan dan penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu dijamu oleh Suling Emas.

Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan membalas Kwi Lan dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan cekikikan sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua calon pengantin itu.

Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang, diam-diam menaruh kasihan kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang amat tidak patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda yang baik dan perbekalan yang cukup, ditambah sekantung emas.

“Ah, kalau saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula, sebagai anggauta keluarga. Gembirakah dia? Entah, dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah, merupakan hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin dapat seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta wanita!”

Selagi semua orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang aneh bersama seorang pemuda yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan, juga rambutnya awut-awutan seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang kedua bermuka merah.

Hauw Lam dan Kwi Lan segera mengenal pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah manusia-manusia sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar