Kwi Lan membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis meraung-raung seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk, maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih, penuh rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.
Pangeran Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata lirih, suaranya menggetar,
“Adikku.... sudah selayaknya kau pukul aku.... kalau belum puas pukullah lagi.... aku seperti mempermainkanmu.... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu.... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu, akan tetapi, kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi.... dan tentang.... tentang peristiwa itu.... kau tahu kita keracunan.... Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu....?” Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan.
Gadis itu melepaskan pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya.
“Kanda Talibu.... kaulah yang harus memaafkan adikmu....!”
Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya,
“Adikku sayang ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak terpatahkan oleh apapun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang....!” Mereka berpelukan.
Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menubruk mereka dengan penuh kasih sayang.
“Anak-anakku...., anak kembarku...., ah, betapa kalian sudah menderita. Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri...., ini semua akibat dosaku....“
Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan,
“Tidak, Lin-moi.... tidak.... bukan kau yang salah. Aku yang berdosa.... ya, aku yang berdosa....!”
Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalina tadi. Ia melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan dibelakangnya ikut masuk pula seorang pemuda yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas, sungguhpun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani melarang.
Melihat Suling Emas Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih,
“Anakku.... Kwi Lan...., beri hormatlah kepadanya.... ini dia.... ayah kandungmu....!”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya begitu malu dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih.
“Ayahku....!”
Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas merangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata berlinang-linang,
“Dosaku.... semua dosaku laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab.... menyembunyikan dosa dan noda.... sampai anak-anak sendiri saling cinta...., ya Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba....?” Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk--batuk.
Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah,....
“kau adikku...., adikku....“
Setelah keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka, oleh asmara gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara sendiri!
Hari itu merupakan hari dimana sekeluarga menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk ini, Pangeran Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak berunding.
Pestapora diadakan di seluruh Kerajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Adapun yang dirayakan adalah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak mengundurkan diri.
Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas depan istana yang biasanya dipergunakan untuk berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang disediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.
Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina memakai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik daripada biasa karena kebahagiaan.... hatinya bersinar-sinar pada wajahnya, membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang.
Disampingnya berjalan Suling Emas dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di dada, Suling emas terselip di pinggangnya, Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu.
Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang Liong, wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati namun yang ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Pangeran Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang Khitan.
Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sripaduka Ratu yang mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya.
Tepuk-sorak gegap-gempita menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung. Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah disitu tidak ada orang, seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan suara ratu mereka.
“Rakyatku sekalian,”
Terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khi-kang,
“Kalian semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambll keputusan untuk bicara dengan kalian untuk menceritakan keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”
Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepadanya.
“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena di selatan saya pernah bersuami dan suami saya adalah dia ini....“
Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri. Pendekar ini tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina.
Sejenak semua orang tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton pertandingan sepak bola!
“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan....!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin menggema.
Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati daripada yang mereka khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat lengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.
“Kami mengaku telah melakukan kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak, yang pertama sejak kecil diam-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat dan yang kemudian kami angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”
Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersuka cita mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.
“Adapun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terkenal dengan julukan Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan meloncat dan berdiri disamping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan
“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya, Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!
“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini. Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia dengan pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan mendengar akan keadaan kami. Betapapun juga, aku merasa bersalah telah menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”
Kini sorak-sorai yang terdengar menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri.
Ratu Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan.
Menurut tradisi dan kepercayaan turun-temurun, saudara kembar laki wanita harus dijodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat masing-masing.
Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan pertalian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di dekatnya.
“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.
Pangeran Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata lirih, suaranya menggetar,
“Adikku.... sudah selayaknya kau pukul aku.... kalau belum puas pukullah lagi.... aku seperti mempermainkanmu.... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu.... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu, akan tetapi, kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi.... dan tentang.... tentang peristiwa itu.... kau tahu kita keracunan.... Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu....?” Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan.
Gadis itu melepaskan pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya.
“Kanda Talibu.... kaulah yang harus memaafkan adikmu....!”
Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya,
“Adikku sayang ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak terpatahkan oleh apapun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang....!” Mereka berpelukan.
Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menubruk mereka dengan penuh kasih sayang.
“Anak-anakku...., anak kembarku...., ah, betapa kalian sudah menderita. Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri...., ini semua akibat dosaku....“
Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan,
“Tidak, Lin-moi.... tidak.... bukan kau yang salah. Aku yang berdosa.... ya, aku yang berdosa....!”
Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalina tadi. Ia melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan dibelakangnya ikut masuk pula seorang pemuda yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas, sungguhpun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani melarang.
Melihat Suling Emas Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih,
“Anakku.... Kwi Lan...., beri hormatlah kepadanya.... ini dia.... ayah kandungmu....!”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya begitu malu dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih.
“Ayahku....!”
Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas merangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata berlinang-linang,
“Dosaku.... semua dosaku laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab.... menyembunyikan dosa dan noda.... sampai anak-anak sendiri saling cinta...., ya Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba....?” Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk--batuk.
Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah,....
“kau adikku...., adikku....“
Setelah keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka, oleh asmara gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara sendiri!
Hari itu merupakan hari dimana sekeluarga menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk ini, Pangeran Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak berunding.
Pestapora diadakan di seluruh Kerajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Adapun yang dirayakan adalah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak mengundurkan diri.
Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas depan istana yang biasanya dipergunakan untuk berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang disediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.
Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina memakai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik daripada biasa karena kebahagiaan.... hatinya bersinar-sinar pada wajahnya, membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang.
Disampingnya berjalan Suling Emas dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di dada, Suling emas terselip di pinggangnya, Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu.
Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang Liong, wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati namun yang ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Pangeran Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang Khitan.
Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sripaduka Ratu yang mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya.
Tepuk-sorak gegap-gempita menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung. Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah disitu tidak ada orang, seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan suara ratu mereka.
“Rakyatku sekalian,”
Terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khi-kang,
“Kalian semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambll keputusan untuk bicara dengan kalian untuk menceritakan keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”
Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepadanya.
“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena di selatan saya pernah bersuami dan suami saya adalah dia ini....“
Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri. Pendekar ini tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina.
Sejenak semua orang tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton pertandingan sepak bola!
“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan....!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin menggema.
Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati daripada yang mereka khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat lengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.
“Kami mengaku telah melakukan kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak, yang pertama sejak kecil diam-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat dan yang kemudian kami angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”
Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersuka cita mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.
“Adapun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terkenal dengan julukan Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan meloncat dan berdiri disamping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan
“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya, Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!
“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini. Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia dengan pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan mendengar akan keadaan kami. Betapapun juga, aku merasa bersalah telah menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”
Kini sorak-sorai yang terdengar menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri.
Ratu Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan.
Menurut tradisi dan kepercayaan turun-temurun, saudara kembar laki wanita harus dijodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat masing-masing.
Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan pertalian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di dekatnya.
“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar