Ads

Selasa, 01 Oktober 2019

Mutiara Hitam Jilid 147

“Tidak perlu! Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku....!”

Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk. Memang ia akan mengamuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan! Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke istana.

“Sumoi....!”

Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.

“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu....!”

“Kau....? Disini....?” Kwi Lan akhirnya dapat menegur.

Wajah Suma Kiat berseri-seri,
“Sudah lama aku tinggal disini. Bibi Ratu menerimaku dan.... dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku! Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku dan aku akan menjadi pangeran mantu!”

Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya tentang perjodohan dan Ibunya.... ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.

“Keparat....!” Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.

“Eh.... eh, Sumoi.... eh....!”

Suma Kiat mengelak dan menangkis. Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh.

Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan!

Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik dan menyeretnya menuju ke pondok dimana tadi ia melihat Pangeran Talibu.

Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya begitu buruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia, kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi cinta asmara!

Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam.

Akan tetapi, pada saat mereka hendak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi ketika ia berkata.

“Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan!”

Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.






Kwi Lan berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang akan tetapi gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah.

Pengawal dalam sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang diantara mereka, mengerahkan lwee-kang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergulingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.

“Tangkap penjahat....!”

Para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal yang mencabut senjata.

“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun kalau menghalangi akan mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.

Pada saat itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.

“Engkau Mutiara Hitam....?”

“Engkau Ratu Khitan....?”

Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua lengan dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.

Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya,
“Kau.... kau...., telah belasan tahun menyiksa hatiku.... kau....“ Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya bercucuran.

Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada.

“Siapa yang menyakitkan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti orang membuang sampah?”

“Haaahhh....!” Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya terbelalak memandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan.... Mutiara Hitam.... mari kita bicara....”

Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar, akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila macam Suma Kiat!

Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.

“Kau anakku.... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kau dengarkan penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu Si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka, kini kau datang.... Anakku, kenapa kau bersikap begini....? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku.... betapa rinduku.... ah, Anakku....“

Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir keluar melalui celah-celah, jarinya.

Ratu Yalina bangkit berdiri, menghampiri anaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapapun inginnya ia memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati puterinya lebih dahulu.

“Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?”

“Ibu.... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah, kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu.... menjodohkan aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu kepadaku?”

Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata,

“Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapapun juga. Tentang perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun Ibumu takkan melarang....”

Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata,

“Aku tidak mau menikah dengan siapapun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Talibu!”

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti berdetik, kepalanya pening. Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru memanggil,

“Ibu....!” Dan melompat menghampiri.

Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil,

“Talibu.... dia.... dia cinta padamu.... dia.... ingin menikah denganmu.... oohh, Anakku....!”

Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. ia menubruk dan memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata ibunya.

“Kwi Lan.... Anakku.... aduhhh, kasihan sekali kau.... ketahuilah, Anakku.... dahulu kau terlahir kembar.... engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian Eng.... dan.... dan kakakmu.... kakak kembarmu.... dia Pangeran Talibu....”

Terdengar suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya, pingsan! Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar, Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya kembang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.

“.... Anakku.... Kwi Lan anakku....”

Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.

“.... Adikku.... Kwi Lan....“

Suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya dengan senyum penuh kasih.

Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.

“Plak-plak....!”

Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyung-huyung.

“Kwi Lan....!” Ratu Yalina menjerit.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar