Seperti juga mendiang ibunya, betapapun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan Kiang Liong, Suma Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan!
Untuk kembali ke kota raja, ia tidak berani karena ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!
Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.
“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya!”
Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri di bawa ke istana menghadap Ratu Khitan.
Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung.
“Aduh, Bibi...., keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat.”
Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara,
“Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”
“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”
“Ahhh....!”
Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biarpun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan apalagi seperti orang muda itu.
Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yang bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah kemana. Kiranya inikah puteranya?
“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.
“Nama saya Suma Kiat....”
Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.
“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”
“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba.... yang sudah sebatangkara ini.”
“Heh? Kemana Ibumu?”
“Ibu.... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”
“.... puteriku? Siapa....?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.
“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan Si Mutiara Hitam?”
Berdebar jantung Ratu Yalina. jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?
“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.
“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”
“Ceritakan semua...., lekas ceritakan semua, anakku!”
Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam. Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!
Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata,
“Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang diantara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi....”
“Untung mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?”
“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”
Ratu Yalina mengangguk-angguk,
“Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”
“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apalagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siulam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi!”
Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biarpun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. Kasihan Enci Sian Eng. Demikian keluh hatinya.
“Lanjutkan, anakku.” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.
“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira.... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya.... uuh-huk-huk.... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.
Ratu Yalina menjadi terheran.
“Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”
“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”
“Aahh...., begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”
“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”
Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti.... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.
“Kau.... kalah olehnya? Bukankah kau suhengnya?”
“Sumoi lihai sekali, dan saya.... saya tidak tega untuk melawannya....”
Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian.... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.
“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.”
Ratu Yalina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami kesengsaraan.
Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada disana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan.
Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya dimana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja.
Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan Istana, di sebelah kiri dimana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya.
Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena Istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga. Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin.
Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan.
“Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri....!”
Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok. Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai.
Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok, diruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga emas yang aneh bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata.
Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling pandang dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!
Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalikkan tubuh.
“ eh, kau.... Mutiara Hitam....!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.
Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap,
“Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu....? Mari kuantar kau menghadap....”
Untuk kembali ke kota raja, ia tidak berani karena ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!
Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.
“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya!”
Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri di bawa ke istana menghadap Ratu Khitan.
Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung.
“Aduh, Bibi...., keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat.”
Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara,
“Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”
“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”
“Ahhh....!”
Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biarpun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan apalagi seperti orang muda itu.
Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yang bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah kemana. Kiranya inikah puteranya?
“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.
“Nama saya Suma Kiat....”
Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.
“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”
“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba.... yang sudah sebatangkara ini.”
“Heh? Kemana Ibumu?”
“Ibu.... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”
“.... puteriku? Siapa....?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.
“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan Si Mutiara Hitam?”
Berdebar jantung Ratu Yalina. jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?
“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.
“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”
“Ceritakan semua...., lekas ceritakan semua, anakku!”
Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam. Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!
Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata,
“Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang diantara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi....”
“Untung mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?”
“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”
Ratu Yalina mengangguk-angguk,
“Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”
“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apalagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siulam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi!”
Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biarpun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. Kasihan Enci Sian Eng. Demikian keluh hatinya.
“Lanjutkan, anakku.” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.
“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira.... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya.... uuh-huk-huk.... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.
Ratu Yalina menjadi terheran.
“Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”
“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”
“Aahh...., begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”
“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”
Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti.... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.
“Kau.... kalah olehnya? Bukankah kau suhengnya?”
“Sumoi lihai sekali, dan saya.... saya tidak tega untuk melawannya....”
Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian.... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.
“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.”
Ratu Yalina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami kesengsaraan.
Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada disana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan.
Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya dimana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja.
Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan Istana, di sebelah kiri dimana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya.
Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena Istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga. Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin.
Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan.
“Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri....!”
Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok. Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai.
Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok, diruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga emas yang aneh bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata.
Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling pandang dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!
Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalikkan tubuh.
“ eh, kau.... Mutiara Hitam....!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.
Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap,
“Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu....? Mari kuantar kau menghadap....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar