Akan tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas, dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yang menerjang dari kanan kir!
Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
“Kau.... kau siapa?”
Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri!
“Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tempat tinggal lopek?”
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata,
“Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.”
“Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.”
Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia menggenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
“Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?” Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
“Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada hubungannya antara mereka dengan Suhu,” Han Ki berkata lirih.
“Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!”
Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki.
Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang curam. Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, Ia berkata,
“Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
“Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat.” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya.”
Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan “mode” bagi mereka!
Ketika mereka melihat Han Ki dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.
“Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,” demikian Si Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
“Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?”
“Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini,” jawab Si Nelayan Gundul.
“Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.”
Orang-orang yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab,
“Kami sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?”
Han Ki terheran-heran.
“Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun temurun terus berada di sini?”
Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak.
“Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.”
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki.
Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
“Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!”
Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki!
Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerakan asli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
“Srattt!”
Tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru.
“Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!”
Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh!
Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru
“Pemuda ini adalah keluarga sendiri!”
Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya kembali dan menjura.
“Locianpwe, maafkan kekurang ajaranku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiat dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku.”
“Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu”,
Kata kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong.
“Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?”
Kakek itu mengangkat pundak.
“Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.”
“Locianpwe, sukakah Locianpwe menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?”
Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
“Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turan-temurun menjadi nelayan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya. Kau boleh tinggal disini selama kau dan sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?”
Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.
Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu,
“Kakek, tempat apakah itu yang kau sebut tempat keramat?”
Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus,
“Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!”
Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki dan dua orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula.
Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anak-anak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada meraka.
Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau itu.
Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak bernama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini.
Maka tinggallah dia bersama kedua orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhunya.
Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya, sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai berenang.
Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
“Kau.... kau siapa?”
Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri!
“Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tempat tinggal lopek?”
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata,
“Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.”
“Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.”
Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia menggenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
“Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?” Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
“Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada hubungannya antara mereka dengan Suhu,” Han Ki berkata lirih.
“Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!”
Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki.
Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang curam. Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, Ia berkata,
“Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
“Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat.” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya.”
Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan “mode” bagi mereka!
Ketika mereka melihat Han Ki dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.
“Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,” demikian Si Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
“Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?”
“Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini,” jawab Si Nelayan Gundul.
“Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.”
Orang-orang yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab,
“Kami sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?”
Han Ki terheran-heran.
“Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun temurun terus berada di sini?”
Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak.
“Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.”
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki.
Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
“Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!”
Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki!
Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerakan asli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
“Srattt!”
Tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru.
“Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!”
Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh!
Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru
“Pemuda ini adalah keluarga sendiri!”
Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya kembali dan menjura.
“Locianpwe, maafkan kekurang ajaranku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiat dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku.”
“Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu”,
Kata kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong.
“Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?”
Kakek itu mengangkat pundak.
“Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.”
“Locianpwe, sukakah Locianpwe menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?”
Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
“Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turan-temurun menjadi nelayan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya. Kau boleh tinggal disini selama kau dan sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?”
Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.
Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu,
“Kakek, tempat apakah itu yang kau sebut tempat keramat?”
Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus,
“Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!”
Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki dan dua orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula.
Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anak-anak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada meraka.
Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau itu.
Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak bernama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini.
Maka tinggallah dia bersama kedua orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhunya.
Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya, sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai berenang.
**** 051 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar